Apa sih enaknya naik kereta berdesak-desakan cuma buat lebaran di kampung?Â
Pertanyaan itu terlontar dari mulut temanku yang asli Betawi di hampir setiap akhir Ramadhan ketika kami, mahasiswa asal kampung, mulai bergerak ramai-ramai pulang kampung dengan kereta api yang waktu itu masih harus berebut, bahkan kadang masuk gerbong lewat jendela.Â
Pulang kampung bukan sekedar pulang kampung seperti hari biasa. Pulang kampung sebelum lebaran atau lebih di kenal dengan mudik juga sebuah ritual penuh makna. Itulah jawaban ku yang sok falsafi karena sudah pernah buka buku pengantar filsafat karangan Pak Yuyun Suriasumantri. Mudah mudah an tak salah menyebut nama dosenku.Â
Setiap tahun, saya, dan seluruh manusia kampung yang numpang hidup di ibukota berbondong-bondong mudik. Â Kalau tidak mudik, malah dibilang sombong, tak tahu asal usul alias muasal.Â
Hingga tahun kemarin pun masih pulang kampung. Â Sekarang, tentunya sudah bersama keluarga. Sekarang, tentunya sudah tidak berdesakan berebut pintu kereta.Â
Terus datang lah korona.Â
Virus kecil yang mampu menggemparkan dunia hingga ke pelosok-pelosok nya. Â Tuhan betul betul sedang mengejek kesombongan setiap manusia.Â
Kemungkinan tahun ini akan ada larangan pulang kampung. Korona terlalu riskan untuk dibagikan di kampung kampung halaman, jika mudik tetap diperbolehkan.Â
Bahkan Gubernur Ridwan Kamil sudah mengeluarkan ancaman untuk mereka yang nekad mudik lebaran tahun ini. Â Semua memang harus mengerti. Virus korona tak bisa diajak main main. Sekali diajak main main oleh pejabat yang cengengesan, langsung membludak menebar teror nya yang paling kejam.Â
Tak apalah tahun ini tak mudik. Â Asal semuanya selamat. Â Asal semuanya sehat. Negara juga tak kerepotan lagi karena masih banyak urusan yang harus diselesaikan.Â