Kabinet memang seharusnya lima tahun. Walaupun lima tahun juga terlalu cepat untuk usia Menteri Pendidikan.Â
Pada Kabinet Kerja tahun 2014-2019 lalu, tercatat dua nama yang pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Anies Baswedan yang menjabat selama dua tahun dan Muhadjir Effendy selama tiga tahun.Â
Usia dua tahun dan tiga tahun memang tak ada apa-apanya. Pendidikan tetap amburadul dan masih belum menemukan wujudnya yang paling baik. Apa yang sudah dikerjakan Anies selama dua tahun? Tak ada. Apa yang sudah dilakukan Muhadjir Effendy? Tak ada.
Tadinya saya pikir, Jokowi akan meneruskan bangku Mendikbud untuk Muhadjir yang notabene representasi Muhamadiyah. Jika Muhadjir meneruskan duduk di kursi itu, kemungkinan akan ada kenangan yang bisa diberikan Muhadjir pada dunia pendidikan.Â
Namun, sejarah sudah ditoreh. Muhadjir harus naik satu tingkat menjadi Menko, walaupun perannya menjadi kurang atau bahkan tak jelas. Sehingga tak usah mengandai-andai lagi.
Menteri Pendidikan yang sudah ada di depan kita adalah Nadiem Makarim. Mantan pendiri dan bos Gojek. Keberhasilan Gojek sepertinya menarik perhatian Jokowi yang selalu tak puas dengan kebiasaan yang mandeg dan berjalan biasa saja.Â
Jokowi berharap ada perubahan yang signifikan di Kementerian Pendidikan, yang saat ini mendapat kembali limpahan perguruan tinggi setelah lima tahun berpisah, bersama anak muda penuh pemikiran ke depan tersebut.
Sebagai seorang guru yang sudah hampir 30 tahun berkecimpung dalam dunia pendidikan, saya merasa yakin bahwa persoalan pendidikan memang sudah cukup parah di negeri ini.
Pendidikan bukan lagi sebagai inspirasi anak-anak muda untuk menghadapi masa depan yang kian tak menentu. Pendidikan justru sudah menjadi beban masa lalu bagi para penerus bangsa ini, sehingga mereka dapat dipastikan akan memikul kegagalan pada kehidupannya di masa depan.
Pendidikan dikelola dengan jalan yang tak jelas. Ini yang terlihat di tingkat kementerian. Pasti akan lebih parah pendidikan yang ada di daerah-daerah.Â
Maka tak usah heran jika di kementerian sudah ribut dengan Kurikulum 2013, maka masih banyak sekolah dasar yang jangankan sudah memberlakukan kurikulum 2013 bahkan Kurikulum 2006 saja belum pernah dengar. Sekolah pelosok itu masih setia dengan Kurikulum 1994.
Kesenjangan fasilitas masih bisa disiasati. Kesenjangan kemampuan guru, mau dikata apa? Guru tak mungkin bisa disulap. Guru harus disiapkan dengan baik, karena, kurikulum sebaik apapun akan gagal di lapangan jika guru-guru tak bisa apa-apa.Â
Demikian juga sebaliknya, kurikum yang jelek atau bahkan tanpa kurikulum pun, pendidikan akan tetap berhasil di tangan guru-guru kreatif. Sementara untyuk mencari guru saja susah, apalagi mencari guru yang kreatif.
Guru yang terkadang asal karena tak bisa bekerja di tempat lain, diperparah lagi oleh manusia-manusia yang memegang kendali di seluruh dinas di negeri ini. Orang-orang yang diharuskan mengambil kebijakan atau duduk di tempat menentukan di dinas, bukan orang yang tahu pendidikan.Â
Bahkan, pernah ada kepala dinas yang berasal dari dinas pemakaman dan sama sekali tak tahu pendidikan. Sehingga begitu banyak kengawuran yang mengerikan di ruang-ruang kepala dinas tersebut.
Pernah ada seorang kepala dinas dengan lantang menganjurkan guru-guru untuk mencontoh bimbingan belajar. Tak perlu susah-susah, drill saja seluruh siswa dengan soal-soal sehingga nilai UN naik.Â
Kenapa harus nilai UN naik? Ternyata kepala dinas baru itu merupakan mantan tim kampanye bupati dan agar bupati bisa terpilih lagi pada pemilihan berikutnya dengan cara menaikkan nilai UN kabupaten. Itulah, kepala dinas hasil kompromi politik atau balas budi politik seorang bupati.
Terus bagaimana berharap pendidikan bisa maju di tengah otak bolong para kepala dinas?
Akan tetapi, Nadiem tampak sendirian. Paling tidak, jika dilihat dari kondisi para kepala dinas yang rata-rata berotak masa lalu. Belum lagi, hambatan dan tantangan dari dalam gedung yang berdiri mengangkang di Senayan.Â
Pasti banyak otak-otak masa lalu yang akan menolak Nadiem. Apalagi dengan jurus "Anak bawang belum pengalaman".
Tadinya, saya berharap Jokowi memberi Nadiem seorang wakil menteri. Paling tidak, jika ada wakil menteri, Nadiem bisa berkonsentrasi untuk membangun langkah-langkah terobosan yang sangat diharapkan hadir di Kementerian Pendidikan.
Wakil menteri bisa dipakai untuk menghadapi otak-otak kolot yang pasti akan menghambat Nadiem dalam membuat terobosan. Tapi, ternyata toh, tak ada wamen pendidikan.
Sebelum bicara keluar, Nadiem memang harus bersusah payah mengkonter siapa pun yang bermental kolot di dalam kementerian. Inilah pekerjakan yang paling berat. Jika tidak hati-hati, kemungkinan besar malah Nadiem yang akan terpental dari Senayan paling dahulu dibanding menteri kabinet maju yang lainnya.
Sebagai seorang guru yang sudah merasakan beratnya tekanan untuk membangun kreativitas di dunia pendidikan, saya masih berharap Nadiem mampu mengatasi hal tersebut.Â
Berat. Bahkan sangat berat, memang. Karena jumlah siswa, jumlah guru, dan jumlah sekolah yang begitu banyak. Ditambah jumlah perguruan tinggi, baik yang bonafit maupun yang tidak.
Disertai luas wilayah sebaran yang begitu luas hingga ke ujung gunung pula. Maka, harapan itu cukup terselip di sepanjang kegetiran dan kegagalan yang justru begitu besar.
Nadiem, aku berdiri di belakangmu untuk menghajar manusia-manusia kolot yang selama ini telah membelenggu pendidikan sehingga anak-anak kehilangan masa depan mereka.
Maju tak gentar, untuk Indonesia lebih baik. Semoga Nadiem bukan hanya lima tahun, tapi hingga sepuluh tahun bertahta di Senayan. Hingga anak-anak negeri ini bisa tersenyum meloncati masa depannya yang gemilang.
Semoga!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI