Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Bersama Gerimis Senja

29 Oktober 2019   15:56 Diperbarui: 29 Oktober 2019   16:19 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiba-tiba saja aku ingin kembali ke rumah itu.  Rumah berdinding putih bersih. Menghadap ke timur, seperti sedang menyambut matahari yang memberinya pagi.  Rumah yang pas di depannya berdiri pohon mangga yang kokoh.  Sedang buahnya mulai ranum.  Di bawah pohon itu ada sebuah kursi antik tempat perempuan itu selalu duduk.

"Ia memang selalu duduk di sana.  Sendiri," kata orang yang pernah aku tanya tentang perempuan itu.

Aku sendiri bukan laki-laki yang di lahirkan di dusun itu.  Aku hanya memiliki aliran darah dari dusun kecil itu.  Nenekku.  Ia dulu tinggal dan dibesarkan di dusun itu.  Sebelum akhirnya dibawa pergi oleh laki-laki yang sangat mencintai dan dicintainya.  Kakekku.  Seorang tentara yang selalu melanglangkan langkah-langkahnya untuk menjaga negeri ini.

Sekarang aku ada di dusun ini hanya untuk mencari tali darah yang sekian lama telah putus.  Dan kata nenekku, aku disuruh ke dusun ini. Menemui saudara sepupunya.  Aku tinggal di rumah saudara sepupu nenek saya.

Dan mengenai perempuan yang sering aku lihat duduk di depan rumahnya, di bawah pohon mangga yang rindang, di sebuah bangku yang sepertinya sudah sangat akrab dengan tubuh perempuan itu, aku bukan siapa-siapanya.  Aku hanya merasa ada sesuatu yang mesti aku tuntaskan bersama perempuan itu.  Dan ini hanya aku yang tahu.

Maka aku ingin lebih lama tinggal di dusun ini.

"Namanya Suritiawati," kata orang mengenai nama perempuan itu.  Perempuan yang tergolong masih setengah muda.  Mungkin di antara tuga puluan tahun.  Sebetulnya usia matang bagi perempuan.  Kata temanku usia paling enak untuk dimakan ketika pagi, siang, ataupun malam.  Usia paling menggairahkan.  Usia di area puncak sebelum kemudian mulai berjalan menuruni tangga usia berikutnya.

Perempuan itu selalu memakai kebaya rapi.  Seperti orang keraton.  Langkahnya juga teratur, saat aku mencoba memperhatikannya dengan seksama, di suatu sore yang terang.  Perempuan itu memang selalu dan selalu duduk di depan rumahnya, di bawah pohon mangga yang rindang, dan di bangku yang sepertinya sudah mengenal lekuk-lekuk tubuh perempuan itu, pada waktu sore.  Pernah aku pagi dan siang ke rumah putih itu tapi aku tak menemui siapa-siapa kecuali pohon mangga yang rindang dan bangku yang bengong termangu.

Di sore yang terang itu, perempuan itu tak lama duduk di bangku itu.  Hanya beberapa menit setelah menatap lurus ke arah timur, dia memang lebih senang menatap ke arah timur walaupun di sore hari, perempuan masuk kembali.  Dan sore ini, aku sudah datang, duduk di sebuah pos ronda yang letaknya tak jauh dari rumah putih tempat tinggal perempuan itu tinggal.

Senja saat ini tidak terlalu terang. Sejak pagi sudah terasa panas seakan tinggal menunggu waktu untuk turun hujan.  Sudah lama tak hujan.  Kemarau kali ini memang cukup panjang.  Bulan Oktober belum juga datang hujan.  Padahal biasanya, di bulan Oktober sudah mulai muncul berita banjir di mana-mana.

Dan betul, mulai rintik-rintik itu turun.  Di atas atap seng pos ronda terdengar sekali suaranya yang ritmis.  Suara gerimis yang juga sering aku lihat selalu dinikmati nenek.  Kata nenek, suara gerimis adalah suara nyanyian alam.  Suara yang hanya bisa dinikmati oleh hati-hati yang bening.  Aku jadi melo juga mengenang nenek yang sekarang entah sedang apa di Semarang sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun