Kamu pasti meragukan niatku.
Tak apa. Â Aku memahami semua itu. Â Aku tak akan marah sama kamu. Karena kamu melarangku karena rasa sayang mu padaku. Aku yakin. Seyakin yakinnya.
Aku cuma berharap kamu bisa memahami kenapa aku ngotot pengin pulang.
Ibu sakit.
Dan urusan ibu, bagiku adalah segalanya. Â Ibu bagiku adalah prioritas. Â Termasuk jika dibandingkan kamu.
Dua puluh tahun lalu aku pergi meninggalkan rumah. Â Meninggalkan ibu. Â Karena aku tak sudi melihat bapak kawin lagi. Â Dengan Isah. Â Pembantu di rumahku.
Entah setan apa yang memasuki nuraninya. Â Upayaku menghalangi niatnya mengawini Asih menjadi pertengkaran paling sengit antara aku dan bapak.
Karena Bapak tak mau mendengar omongan ku sama sekali, aku yang pergi. Â Dan harus kehilangan ibu.
Ibu sekarang sakit.
Dan aku harus pulang. Â Tapi, ada bapak di situ. Â Dia masih bugar. Â Cuma sekarang dia tak punya apa apa. Â Dan ditinggal Asih kawin lagi.
Istri ku merasa pasti akan terjadi perang baratayuda jika aku ketemu bapak. Â Dan aku memang masih menyimpan amarah yang tak pernah berkurang satu inci pun.
Aku selipkan pisau lipat dalam tasku. Â Istri ku tak tahu. Â
Kepulangan ku kali ini memang untuk melunasi hutang itu.
Aku tak peduli.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H