Belum Subuh.
Masih jam tigaan. Saat ribut ribut di pos ronda. Kebetulan rumahku tak jauh dari pos ronda, hanya selang satu rumah, sehingga suara dari pos ronda akan langsung tembus ke gendang telinga.
Terpaksa bangun.
Ada apa? Tanyaku. Dan langsung dijawab, ada maling pak erte.
Ketangkep? Tanyaku lagi. Iya, pak erte, jawabnya.
Beberapa orang memberi jalan agar aku sebagai ketua erte bisa masuk pos ronda dan melihat sendiri wajah malingnya.
Mana?
Tuh! Ada yang nunjuk orang yang sedang ketakutan.Â
Maling apa?
Ayam pak Agus. Tuh ayamnya.
Orang yang datang makin banyak. Â Sampai akhirnya ada yang teriak: bunuh! Bakar!
Beberapa orang sudah menghunus kelewang. Â Ada yang lari hendak ambil bensin.
Siapa namamu? Tanyaku.
Novanto, jawabnya lirih.
Siapa namamu! Bentakku.
Novanto, jawabnya agak keras sehingga terdengar oleh semua yang ada di pos.
Mendengar nama maling ayam itu, satu per satu warga pergi meninggalkan pos ronda. Orang yang tadinya galaknya sudah diujung kesabaran pun langsung minggir dan pulang ke rumahnya.
Sampai akhirnya tinggal aku sebagai erte dan  si Aris sebagai keamanan lingkungan ku.
Siapa namamu? Ulangku penasaran.
Novanto, Pak. Jawabnya tegas. Seperti sudah merasa di atas angin.
Sialan juga. Mendengar nama itu untuk yang ketiga kalinya, si Aris pun mau ngeloyor pergi, padahal dia keamanan lingkungan.
Mau ke mana, Ris.
Dia tidak salah, pak. Ayam jago ini yang salah. Â Biar saya sembelih jagonya, pak.
Aris langsung pergi. Aku tinggal berdua. Berdua dengan orang yang memiliki nama sakti.
Masa sih, sudah jelas dia yang maling ayam, masa ayamnya yang salah?
Aku jadi ingat nama lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H