Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tiga Hati dalam Gelas (34)

19 April 2016   17:16 Diperbarui: 19 April 2016   17:25 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak semua orang yang menjadi guru karena idealisme.  Banyak orang menjadi guru karena gagal ke mana-mana.  Itulah generasi yang sudah agak sepuhan.  Berdasarkan cerita mereka, mereka tak pernah diuji apa-apa saat mendaftar menjadi guru.  Pada saat itu, tahun 70-an, pemerintah banyak membangun gedung sekolah tapi pemerintah tidak mungkin serta merta mencetak gurunya.

"Siapa yang datang, asal bawa ijazah PGSLP, langsung dapat SK," kata Bu Rusyati yang sudah hampir pensiun.  Tinggal menunggu bulannya saja.

"Karena guru memang tak ada gajinya," sambung B u Rusyati sambil tertawa ngakak.

Guru pada saat itu memang identik dengan kaum papa.  Orang-orang yang kumal atau pun kalau pakai baju safari, guru-guru jadul memang paling suka banget model baju safari, seakan-akan kalau sudah memakai safari baru menjadi seorang guru yang asli, maka dompetnya pasti kosong. 

"Gak ada yang mau punya menantu seorang guru," tambah Bu Rohmah yang juga nyaris pensiun berbarengan dengan Bu Rusyati.

"Habis kalau wakuncar pakainya motor dok dok dok dok dok alias pespa," sambung guru yang lain.

Iya.  Kalau kita lihat film-film lama yang dibintangi Rano Karno atau Jamal Mirdad pasti Pak Gurunya pakai pespa butut yang suka ngadat di tengah jalan, eh di pinggir jalan deh.

"Penderitaan itu begitu lama kita derita," kata Pak Rustam sambil bergaya seperti seorang penyair.

Keluhan-keluhan guru itu sering begitu nyaring terdengar.  Namun hanya di ruang guru.  Karena, kalau kita membaca di koran, yang terjadi saat ini adalah ancaman demi ancaman terhadap guru.

"Kalau tidak lulus uji kompetensi guru, maka guru yang bersangkutan akan dihapus sertifikasinya," tulis sebuah koran.

"Guru harus mengajar linear dengan sertifikat sertifikasi dan gelar sarjananya.  Kalau tidak, sertifikasi guru yang bersangkutan akan ditinjau ulang," tertulis di koran lainnya.

"Guru yang tak bisa IT, akan dijadikan tata usaha," tertulis di koran lainnya lagi.

Guru mana yang tak muak dengan ancaman-ancaman itu.  Sertifikasi kan baru beberapa tahun, sedangkan penderitaan guru yang harus hidup dengan gaji yang tak cukup sebulan sudah berlangsung puluhan tahun.  Toh guru tak mengeluh. 

Diah sering sedih kalau membaca aneka ancaman dari para pejabat terhadap guru-guru yang baru saja mengecam manisnya sertifikasi.  Apalagi untuk guru-guru tertentu hanya akan mendapat manisnya sertifikasi untuk beberapa bulan ke depan.  Pejabat-pejabat itu justru pejabat-pejabat di dinas pendidikan atau di kementerian pendidikan yang seharusnya melindungi dan mengayomi para guru.

Jangan bicara tentang PGRI.

Sekarang guru memang mendapat sertifikasi. Itu pun lebih sering telat dari waktu yang seharusnya.  Bahkan di beberap tempat, masih harus dipotong oleh pejabat dinas pendidikan.  Alangkah kasihannya guru-guru itu.

Memang telah lahir guru generasi baru pula.  Guru yang berani bersifat kritis.  Guru yang tak mau diam kalau dirinya atau temannya diperlakukan tidak adil.  Guru yang sudah dapat berkomunikasi dengan koran sehingga bisa bersuara lantang memperjuangkan keyakinan dan ideologinya.

Semoga di tangan guru-guru muda ini akan lahir pendidikan yang lebih baik.

"Sudah panggil orangtua, Dikri?" tanya Pak Latif selaku wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.

"Wah, belum, Pak," jawab Diah.

"Kalau sudah hilang capai ibu, tolong panggil orangtua Dikri.  Tercatat tiga hari berturut-turut tidak hadir tanpa keterangan," jelas Pak latif.

"Terima kasih, pak."

Diah memanggil ketua Estu, kelas 7.G.  Diah ingin tahu persis apa saja yang terjadi di 7G selama Diah tak masuk ngajar.  Estu membenarkan berita yang sudah Diah peroleh dari Pak Latif.  Bahkan Estu menambahkan kalau dua hari terakhir, Dikri terlihat di warnet dengan tetap memakai seragam sekolah.

"Oh, gitu.  Makasih, ya, Es."

(Bersambung)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun