Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

3 Hati dalam Gelas (31)

18 April 2016   16:55 Diperbarui: 18 April 2016   17:04 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masa petualangan. 

Itulah masa-masa Rara.  Seperti dulu Diah juga pernah memimpikannya.  Ingin mengenal banyak dunia.  Ingin merasakan sebuah teka-teki.  Dan sudah mulai tahu dunia laki-laki.

"Bun, tadi Farhan nelepon lagi," kata Rara.

"Siapa Farhan?"

"Anak kelas sembilan, Bun.  Anaknya perhatian.  Kece pula," jawab Rara penuh rasa bangga.

Seandainya dulu Diah bisa sebebas Rara untuk mencintai laki-laki, pikir Diah.  Ah, sudahlah!  Tak perlu menyesali masa lalu.  Masa lalu toh akan tetap menjadi masa lalu.  Hanya sejarah.  Kita tak bisa mengubahnya.  Apalagi kalau harus menyalahkan orang lain pula.

"Kamu nggak pengin pulang?" tanya Diah.

"Emang Bunda dah mau pulang?"

"Belum sih, nunggu ibu agak sehat dulu."

"Berarti kita masih laam tinggal di sini?"

"Bisa iya, bisa tidak."

"Iya saja deh.  Bosen sekolah mulu."

Itulah anak-anak sekarang.  Sekolah malah bosen.  Dulu Diah sekolah tak pernah bosan.  Sekolah malah menyenangkan.  Terbebas dari laki-laki yang menjengkelkan itu.

Anak-anak sekarang kalau main game pasti tak kenal waktu.  Kalau baca buku, matanya pasti akan langsung terlihat sayu.  Diah sering memperhatikan mata-mata mungil itu saat sedang mewajibkan anak muridnya membaca buku apa saja selama lima belas menit sebelum masuk.  Lima belas menit seperti sebuah siksaan yang terjadi ratusan tahun.  Huruf-huruf seperti pisau tajam yang hendak merajang-rajang tubuhnya.  Mereka mengeja huruf-huruf itu dengan sorot kengerian tak terperikan.

"Emang gak kangen, siapa tadi namanya ... ?"

"Farhan genit, Bu.  Fitri juga pernah dirayunya.  Laki-laki emang suka gitu ya, Bun?"

Belum sempat Diah menjawabnya, tahu-tahu Kak Juli dan Kak Dini sudah menyusul ke arahnya.

"Ini yang namanya Rara?" tanya Kak Dini.

"Iya, Tante," jawab Rara.

"Dari suaranya, saya yakin wajah Rara pasti cantik," tambah Kak Juli.

"Ah, bisa saja, Oom."

"Putri juga sebaya Rara.  Rara kelas berapa?" tanya Kak Dini.

"Tujuh."

"Oh, berarti putri lebih tua setahun.  Putri kelas delapan."

"Siapa putri, Tante?" tanya Rara.

"Anak tante."

"Ohh."

"Bagaimana kalau kita jalan ke depan, siapa tahu ada yang jual sarapan," usul Kak Juli.

"Baiklah," jawab Diah.

Mereka berempat menyusuri jalan aspal yang beberapa bagiannya sudah terkelupas.  Sudah bolong-bolong.  Kata Tri Supriyohadi, itulah bolong-bolong korupsi.  Setiap bolong ada catatan namanya.  Ada nama camat.  Ada nama lurah.  Ada nama bupati. Ada nama pemborongnya.

Ah, kenapa ingat laki-laki yang selama ini bertepuk sebelah tangan itu?

Tangan Tri sebetulnya dua, tapi sayang yang satu tak digerakkan sehingga bertepuk hanya sebelah tangan.  Diah tak pernah mempedulikan cinta Tri.  Diah tak mau dikatain sebagai pemangsa daun muda.  Terlalu jauh jarak usianya.  Cinta juga punya logika.  Kalau buta banget kan bisa terperosok-perosok.

Semoga dia bisa menemukan perempuan yang lebih layak.  Amin.

"Tuh, ada yang jual bubur ayam!" tunjuk Kak Dini.

Tanpa komando lagi, kami beramai menuju ke arah pedagang yang ditunjuk Kaka Dini.  Tak disangka, peminatnya banyak banget, sehingga harus antre.

"Diah, ya...?" sapa seorang ibu.

Diah memperhatikan sebentar.  Mengembalikan ingatan masa lalu.  Tapi rupanya ingatan Diah tak mau bersekutu.  Benar-benar lupa. 

"Siapa ya...?" tanya Diah.

"Masa lupa.  Teman waktu SMP.  Yang dulu suka ngerokok bareng," kata perempuan itu.

Teman SMP.  Suka ngerokok bareng.  Siapa ya?

"Yang dulu disuruh ngebersihin WC ?" perempuan itu terus berupaya mengembalikan ingatan yang sudah terdesak ke dalam memori paling dalam selama puluhan tahun.

"Wiji?" tanya Diah seperti menemukan jawaban TTS.

"Iya.  Tinggal di mana sekarang?" tanya Wiji.

"Di Jakarta."

"Dodo gimana?"

Ah, nama itu disebut lagi.  Sudah puluhan tahun juga Diah tak ketemu.  Tapi teman-teman sekolahnya di SMP dan SMA memang tahu kalau Diah dan Dodo ada hati.  Mana ada sih yang bisa menahan gejolak hati.  Orang jatuh cinta kan selalu kelihatan, bahkan cukup dengan melihat binar di matanya.

(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun