Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(MyDiary) Honor Tulisan Pertamaku

14 April 2016   11:19 Diperbarui: 14 April 2016   11:27 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Udah dari SMP kali ya, keinginan untuk menorehkan buah pena di koran atau majalah. Perasaan keren aja kalau nama kita dibaca orang. Apalagi kalau ada honornya pula.

Tapi, kehidupan di kampung tak mungkin mencari tahu caranya. Belum ada mbah Google pula. Hingga keinginan itu dipendam saja.
Lalu, waktu mulai kuliah di Jakarta (Gak usah disebutin tahunnya ya, soalnya takut ketahuan tuwirnya gue), hasrat itu muncul kembali. Bahkan sudah masuk pada taraf menggebu-gebu. Apalagi kebetulan diterima di jurusan bahasa dan sastar Indonesia IKIP Jakarta (sekarang UNJ).

Kebetulan pula, ada temen satu kelas yang udah biasa nulis sejak SMA-nya. Dapet durian runtuh bener, ane. Langsung saja kesempatan itu aku manfaatin buat belajar cara mengirim naskah ke koran atau majalah, terus tulisan-tulisan model apa yang biasanya dimuat.

Dasar otak agak cerdas (agak nyombong dikitlah), dalam tempo sesingkat-singkatnya, aku dapat memahami seluk beluk penulisan di koran atau majalah dari sohib aku tersebut. (Semoga dia selalu dirahmati Allah SWT). Dan mulailah utak atik tulisan.

Emangnya punya mesin tik?

Waktu itu memang belum ada komputer. Jadi nulisnya pake diketik saja sudah hebat dibanding waktu di kampung pernah nyoba ngirim tulisan pake tulisan tangan, dan pasti tulisan itu kalau nyampai ke redaksi juga paling langsung dibuang karena bapak redakturnya empet ngeliatin tulisanku yang rada-rada genit menari-nari kiri kanan pakai potong bebek angsa pula.

Tapi, nah itu dia, masalahnya tidak punya mesin tik. Akhirnya, tuh tulisan mesti aku tulis dulu rapi jali di kertas, baru aku silaturami ke rumah sodara yang agak kaya, artinya dia punya mesin tik, terus pura-pura ada tugas kuliah yang mesti diselesaiin dan harus diketik pula sehingga aku perlu sekedap meminjam mesin tik yang lebih sering ngendon di lemari karena tak ada yang memakainya itu.

Sebuah perjuangan, memang.

Lalu, tulisan-tulisan itu pun lahir dari rahim otakku dengan lancar dan terkendali. Sambil nunggu kiriman uang dan nyisipin dikit buat beli prangko, ahirnya tuh tulisan bisa dilayangka ke sebuah majalah, nama majalahnya majalah "KELUARGA". Bukan tulisan keren yang aku kirim tentunya, tapi cerita lucu yang biasanya nyempil di pojokan halaman. Aku yakin, sangat jarang orang membacanya atau sekedar tahu tempatnya.

Hal ini justru yang membuatku untuk mengirim tulisan sejenis itu. Dalam pemikiranku, kalau yang baca aja agak jarang atau bahkan mungkin jarang sekali, pasti yang nulis hal-hal beginian akan lebih lebih jarang lagi. Kemungkinan tulisanku dimuat akan semakin terbuka lebar kali panjang.

Bodohnya, aku tak tanya ke temanku yang udah biasa nulis, bagaimana tahu kalau tulisan kita itu ditayangkan di koran atau majalah yang kita kirimin. Sebenarnya bukan bodoh sih tapi rasa maluku yang besar sehingga enggan tanya hal begituan takut dibilang kampungan banget.

Malu bertanya sesat di kuburan.

Penderitaan itu pun datang. Tak tahu aku bagaimana nasib tulisanku. Sampai akhirnya ada teman yang salah satu keluarga besarnya langganan majalah itu membaca tulisanku.

"Kamu nulis di majalah ya?" tanyanya.

Kontan aku terlonjak kaget. Sudah enam bulan lebih menunggu, baru tahu kalau tulisan masuk majalah.

"Kok, aku dikiriman honornya, katanya kalau tulisan dimuat ada honornya," bisikku dalam hati.

Untung temanku yang suka nulis itu bilang walau aku tak tanya, "Kalau kita tinggal di Jakarta, honor tulisan memang harus kita ambil, bukan dikirim. Honor akan dikirim kalau kita tinggal di luar kota."

Bareng-bareng, aku ke alamat majalah itu. Kalau tak salah di jalan Sangaji. Pas sampai di sana, kabar baru kami terima. Kata petugas paling depan dari kelompok majalah itu bilang bahwa majalah yang kami maksud sudah tutup sebulan yang lalu.

Bagaimana dengan honor?

Bapak itu tak tahu. Dan kami pulang dengan tanpa honor. Itulah honor pertama tulisanku. Tak apalah, dengan dimuatnya tulisanku saja sudah hebat. Sudah menjadi motivator paling dasyat. Lebih dasyat dari Oom Mario.

Aku pun mengirim puisi ke Harian Pelita. Dan 2 puisiku dimuat pada saat itu. Ketika aku ambil honornya, ternyata satu puisi dihonori 3500 rupiah. Jadi aku dapat honor 7000 rupiah untuk dua puisi yang dimuat. Aku buat makan dua temanku. Waktu itu masih bisa untuk beli makan tiga mangkok mie ayam. Bahkan masih bisa untuk naik bis lagi. Wong ongkos bis juga masih 100 rupiah je.

Mantap....!

Hingga sekarang aku suka pusing kalau gak nulis sehari saja! Mungkin cuma buat ngeluarin sampah di otak saja sih, tapi ternyata juga bisa buat obat hati.

Wis...!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun