Malu bertanya sesat di kuburan.
Penderitaan itu pun datang. Tak tahu aku bagaimana nasib tulisanku. Sampai akhirnya ada teman yang salah satu keluarga besarnya langganan majalah itu membaca tulisanku.
"Kamu nulis di majalah ya?" tanyanya.
Kontan aku terlonjak kaget. Sudah enam bulan lebih menunggu, baru tahu kalau tulisan masuk majalah.
"Kok, aku dikiriman honornya, katanya kalau tulisan dimuat ada honornya," bisikku dalam hati.
Untung temanku yang suka nulis itu bilang walau aku tak tanya, "Kalau kita tinggal di Jakarta, honor tulisan memang harus kita ambil, bukan dikirim. Honor akan dikirim kalau kita tinggal di luar kota."
Bareng-bareng, aku ke alamat majalah itu. Kalau tak salah di jalan Sangaji. Pas sampai di sana, kabar baru kami terima. Kata petugas paling depan dari kelompok majalah itu bilang bahwa majalah yang kami maksud sudah tutup sebulan yang lalu.
Bagaimana dengan honor?
Bapak itu tak tahu. Dan kami pulang dengan tanpa honor. Itulah honor pertama tulisanku. Tak apalah, dengan dimuatnya tulisanku saja sudah hebat. Sudah menjadi motivator paling dasyat. Lebih dasyat dari Oom Mario.
Aku pun mengirim puisi ke Harian Pelita. Dan 2 puisiku dimuat pada saat itu. Ketika aku ambil honornya, ternyata satu puisi dihonori 3500 rupiah. Jadi aku dapat honor 7000 rupiah untuk dua puisi yang dimuat. Aku buat makan dua temanku. Waktu itu masih bisa untuk beli makan tiga mangkok mie ayam. Bahkan masih bisa untuk naik bis lagi. Wong ongkos bis juga masih 100 rupiah je.
Mantap....!