"Dia ingin menikah lagi. Â Aku jelas tak setuju. Â Lebih baik aku mati daripada harus dimadu. Â Di, dia bukannya mundur dari hasrat buayanya itu, dia malah mengatakan akan mengabulkan apa yang aku ucapkan. Â Dia betul-betul ingin membunuhku, Di. Â Tolong... tolong aku ya?"
Badan Lina terasa dingin. Â Diah menyuruhnya tidur. Â Kemudian Diah mencoba melihat ke depan rumah. Â Tak ada apa-apa. Â Hanya semburat senja yang sedang bergegas menuju peraduannya.
Saat Diah hendak berbalik, pintu ada yang mengetuknya.
Seorang laki-laki. Â Diah mengintip dari balik gorden yang sudah ditutup Lina. Â Di tangannya ada sebilah pisau yang masih terhunus. Â Hati Diah langsung ciut walau sabuk hitam karate pernah diraihnya.
"Siapa laki-laki itu?" Diah bingung sendiri.
Ketukan terdengar lagi. Â Ketukan kedua terdengar lebih keras. Â Hati Diah seakan hendak copot. Â Untung Lina masih tertidur pulas. Â Kalau Lina terbangun bisa jadi dia akan semakin histeris.
Kemana orang-orang?
Masa masih sesore ini sudah tak ada orang yang lewat? Â Harusnya kan jalan depan rumah masih ramai? Â Ada apa gerangan?
Diah ingat kalau dia pernah menyimpan nomor HP bu Rt. Â Tapi lupa menaruhnya di mana. Â Kalau lagi gugup seperti ini, jalan otak juga pasti tersumbat. Â Diah main bongkar lemari baju saja. Â Tak ada apa-apa. Â Mencoba mencari di bufet. Juga tak ada. Â Hingga ketukan ketiga terdengar semakin keras.
Di saat yang sama, Lina terbangun.
"Tidur lagi saja, Lin," rayu Diah.