Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

3 Hati dalam Gelas (26)

11 April 2016   17:02 Diperbarui: 11 April 2016   18:53 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kematian.

Betulkah kematian hanya sebuah gerbang?  Gerbang menuju keabadian.  Gerbang menuju surga atau neraka.  Diah sering muak dengan pemuka-pemuka agama yang kalau ngomong seperti sudah pasti akan masuk surga.  Diah juga suka muak dengan para penjaja ayat-ayat Tuhan demi sahwat sendiri.

Anggaplah ISIS.  Orang Islam yang mengaku paling Islam.  Orang yang tega membunuh demi Tuhan.  Orang-orang yang tunduk pada dogmatisme.  Dogamtisme yang juga berarti totalitarialisme.  Apa kata pemimpin adalah kebenaran mutlak.  Padahal, mereka hanyalah para penafsir.  Penafsir ayat-ayat Tuhan yang justru sangat mungkin berbeda dengan kemauan Tuhan itu sendiri.  Tapi, tafsir mereka sudah menjadi kebenaran.  Dan tak boleh dilawan.

Ketika membaca Kompas, Diah tersenyum sendiri.

Ternyata model ISIS bukan model Islam tapi lebih pada model libido paling purba manusia tengil.  Kenapa?  Karena, menurut seorang kolumnis dalam tulisan di Kompas itu, hal yang serupa, menundukkan setiap musuh bahkan dengan cara memperkosa para perempuan lawan-lawan tafsirnya telah lahir di Jerman pada abad ke-15.  Juga dengan memanggul ayat-ayat Tuhan yang ditafsir dengan dogmatisme totalitarianisme.

Agama telah menjadi perebutan mencapai kekuasaan. 

Padahal, agama seharusnya menjadi sebuah revolusi sosial.  Setiap agama lahir di tengah masyarakat yang sakit.  Masyarakat yang telah kehilangan ruh kemanusiaan.  Agama hadir untuk mengembalikan ruh tersebut.  Mengembalikan kemanusiaan pada sisi paling berkemanusiaan.  Sisi kemanusiaan diletakkan pada garda depan, bukan disisipkan dan bahkan malah dikorbankan.

Kematian.

Akankah menjadi jalan pembebasan?  Entah.  Tapi, semua manusia atau bahkan semua makhluk hidup memang pasti akan mati.  Tinggal menunggu gilirannya saja.

Lalu, untuk apa begitu banyak berebut surga?  Tuhan toh telah menyediakan surga dengan begitu luasnya.  Seandainya seluruh manusia harus masuk ke dalam surga, surga masih tetap mampu menampungnya.  Tanpa harus ada yang iri atau ada yang masih ingin sendiri.

Seandainya hal seperti ini menjadi kesadaran bersama umat manusia, pasti taka ada perang.  Pasti tak akan ada pengungsi-pengungsi yang nasibnya mengiris hati.  Agama benar-benar menjadi alat perdamaian.

Tapi sayang, manusia memang terkadang lebih iblis dari iblis itu sendiri.

Ibu tertidur.  Diah hanya memandangi wajah yang seperti damai.  Seperti.  Karena baru saja ibu mengeluh tentang dosa.  Tentang kesalahan.

Mungkinkah wanita yang tak pernah protes ini telah melakukan pembangkangan paling purba?

Kita memang tak boleh menilai sesuatu hanya dari kulitnya.  Banyak koruptor yang santunya tak alang kepalang.  Banyak koruptor yang satu menit sebelum tertangkap sedang berpidato tentang begitu kejamnya koruptor terhadap negeri ini.  Banyak koruptor yang saat menyumbang masjid atau gereja terbanyak jumlah rupiahnya.

Hanya saja, perempuan yang selalu lebih banyak diam dan mengalah ini, mungkinkah ia melakukan pengkhianatan?

Malam semakin larut.

Diah beranjak untuk mengerjakan tahajud.  Diah ingin menyapa Sang Pemberi Hidup.  Diah ingin memasrahkan diri dan hidupnya.  Tak ada yang bisa menghimpun segala kesahnya kecuali Dia.

Ada ketenteraman yang selalu menyelusup ke balik hatinya seuasai salat.  Entah itu murni atau hanya khayali.  Hanya saja, Diah selalu menikmati ketenangan itu sebgai pemberian yang paling indah.

"Nduk..!"

Ibu terbangun.  Suaranya lemah.

"Iya, Bu."

"Tolong ambilkan minum.  Tenggorokan ibu haus sekali."

Banyak orang bilang kalau saat-saat maut datang memang rasa haus tak tertahankan.  Mungkinkah ini saat yang seperti itu?  Diah tak ingin berpikir melayang.  Diah ambilkan minum dalam gelas dan ibu menghabiskannya.  Kemudian terlihat mulai memejamkan matanya kembali.  Dalam ketenangan.

Diah menggelar sajadah.

Memusatkan hati.  Menuju Yang Ilahi. 

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun