Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

3 Hati dalam Gelas (22)

6 April 2016   12:57 Diperbarui: 6 April 2016   13:20 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir saja Diah terperana melihat sosok yang ada di depannya.  Orang yang berdiri tak jauh dari batu kuda itu memang sangat mirip dengan Dodo.  Dan Diah ingat sekali kalau Dodo sering ke tempat batu kuda.  Sebetulnya batu biasa.  Tak ada tanda-tanda batu itu mirip kuda.  Hanya Diah dan Dodo yang menyebutnya batu kuda.  Karena tak jarang mereka berdua duduk di atas batu itu sambil membayangkan sedang mengendarai seekor kuda.

"Ada apa, Bu?" tanya orang yang dari tadi terlihat duduk menghadap ke arah timur seakan sedang melahap matahari pagi yang begitu indahnya dilihat dari atas batu kuda.

"Oh, tak apa, saya pikir ..." Diah agak kelabakan juga.

"Pasti ibu menyangka saya sebagai Masa Dodo," katanya dengan senyum khas yang juga hanya dimiliki Dodo.

"Sedang apa, Mas?" tanya Diah.

"Banyak orang yang salah sangka.  Dikiranya saya ini Mas Dodo.  Terutama untuk mereka yang baru pertama melihat saya," kata laki-laki itu sambil membetulkan tustelnya.  Mungkin laki-laki itu seorang fotografi atau penggemar fotografi.

Diah jadi ingat keinginan untuk membeli tustel DSLR.  Hanya saja sampai detik ini, uangnya selalu saja raib sebelum sampai ke toko tustel.  Selain hobi menulis di blog, Diah juga ingin meningkatkan kemampuan fotografinya.

"Saya penggemar fotografi, Bu.  Saya keponakan Mas Dodo.  Tidak tinggal di sini.  Kadang-kadang ke sini untuk sekedar mencari matahari paling indah dari atas batu ini," kata laki-laki itu sambil pamit pergi.

Kini Diah menatap lekat-lekat pada batu itu.

"Ada apa, Bun?" tanya Rara yang masih bingung melihat kelakuan Diah.

"Ah, tidak apa-apa, Ra."

Matahari pagi memang benar-benar indah. 

***

Ibu belum juga memberitahu hal itu.  Padahal sudah bertahun-tahun Diah menyimpan berita itu dengan rapi dalam hati.  Diah tak ingin menanyakannya kepada ibu.  Diah ingin ibu yang menyampaikannya sendiri.  Entah kapan ibu mau menyampaikannya.  Namun Diah tetap mencoba untuk bersabar.

Diah sendiri mendengar berita yang sebetulnya sangat mustahil dari Yu Karti.  Yu Karti sahabat baik ibu.  Seingat Diah, sejak Diah mulai memiliki ingatan, Yu Karti sudah menjadi sahabat ibunya.

Tidak mungkin Yu Karti hanya ingin memfitnah ibu.  Tak mungkin.

Sekeras-sekeras hati Diah, tetap saja dia meradang.  Bertahun-tahun Diah tak mau pulang juga karena hal ini.  Karena ibu belum juga mau menyampaikan kebenarannya.  Padahal berita ini sangat penting bagi Diah.  Sebuah akar kehidupannya.  Sebuah titik mula.  Sebuah keberangkatan.

Titik keberangkatan yang salah akan berakibat pada akhir yang tak benar.  Walaupun tidak selalu seperti itu.  Kadang ada juga penyimpangan.  Hanya saja, sebagai manusia biasa, hukum umumlah yang harus dipegang erat-erat untuk menapaki setiap langfkah kehidupan.  Tanpa itu, mungkin saja akan tersesat.

Suatu sore.  Saat Diah sedang ingin berkunjung ke rumah Yu Karti.  Dan kebetulan Yu Karti ada di rumah.  Sendiri.  Suaminya sedang pergi.  Dan memang lebih sering seperti itu.  Kata beberapa orang, suami Yu Karti malah sudah kawin lagi.  Entah.

Yu Karti tak punya anak.  Benar.  Kalau sebab dari hal itu ditimpakan kepada Yu Karti juga sebetulnya tak adil.  Kalau mereka berdua tak punya anak, bisa aja yang mandul suaminya.  Tapi dunia memang sudah dari sononya miring.  Jadi, perempuanlah yang harus selalu menjadi korban.  Dunia sering dianggap sebagai milik para lelaki, sedang perempuan hanya berhak mendampinginya.

(Bersambung) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun