Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

3 Hati dalam Gelas (21)

1 April 2016   16:09 Diperbarui: 1 April 2016   16:15 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertanyaan itu yang paling ditakuti Diah.  Pertanyaan yang selalu menjadi teror bagi hari-hari Diah.  Kenapa harus ada pertanyaan seperti itu? 

Kenapa orang lebih suka pertanyaan tentang perkawinan?  Bukankah perkawinan merupakan persoalan yang bersifat pribadi?

Tapi inilah Indonesia.

Di negeri ini, usia perempuan lajang sepertinya dibatasi hanya sampai 25 tahun.  Berani melebihi usia normal, maka akan segera datang aneka cibiran.  Dan Diah sudah lebih dari itu.  Bahkan lebihannya tak bisa dihitung dengan jari tangan yang hanya ada sepuluh itu.  Hari-hari pun akan menjadi sebuah teror.

Di Jakarta masih mending.  Tak banyak orang yang masih terkungkung dengan hal-hal begituan.  Sekarang Diah ada di kota kecil, bahkan bisa juga disebut sebagai kampung nan udik.  Sehingga Diah memang harus siap kuping siap malu menghadapi pertanyaan seperti itu.

Diah hanya tersenyum.

"Sama anak juga?" tanya ibu itu lagi.

Sialan, bisik hati Diah.  Perempuan ini sepertinya memiliki mulut comel.  Tak bisa ditutup kalau tak digampar.  Muka Diah sudah berubah semu merah.

Untung iqomat dikumandangkan.  Diah diselamatkan dari pertanyaan teror tersebut.  Tapi, sampai kapan?  Bagaimana kalau seusai salat, perempuan itu menanyakan lagi hal itu?

Diah cepat bergegas seusai salat.  Diah tak mau dipermalukan di depan orang banyak.

"Fra, siapa sih ibu-ibu yang rambutnya agak kusut itu?" tanya Diah sesampainya di rumah.

"Yang tadi ngobrol sama Mbak Diah?"

"Iya."

"Bu Vera.  Mbak belum tahu cerita tentang Bu Vera, ya?"  Afra semangat ingin memberitahu tentang sejarah Bu Vera.

"Gimana saya tahu, Fra?"

"Oh. Iya yah.  Bu Vera itu setres berat.  Gara-garanya, suaminya ditangkap kejaksaan.  Sekarang masih dipenjara.  Saat menjadi pejabat di pemda, ia korupsi banyak banget.  Kabarnya buat masukin anaknya yang jadi pilot.  Walaupun anaknya pinter banget, tapi kalau gak pakai uang pelicin katanya gak bakalan diterima."

"Anaknya jadi pilot, Fra?"

"Itulah, Mbak.  Anak satunya yang selalu dibanggakan ke mana-mana karena bisa menjadi pilot ternyata pesawatnya menabrak gunung.  Anak Bu Vera meninggal di tempat.  Sekarang ia hidup sendiri.  Sekali-sekali menengok suaminya yang penjara.  Tapi pulangnya sering nyasar karena linglung.  Berapa kali dia dianterin oleh orang desa sebelah karena ditemukan sedang kebingungan sendiri."

Diah memang sering melihat bagaimana cara Tuhan mengadili orang-orang serakah di dunia ini.  Banyak sekali keluarga para koruptor berantakan karena suami yang begitu mudah mendapatkan uang korupsi mendadak kawin lagi dengan perempuan muda yang hanya suka dengan harta bendanya.  Banyak anak-anak koruptor yang terjerat narkoba hingga over dosis, mati di lapangan tak ketahuan.

Sayang, masih banyak orang di negeri ini yang belum juga sadar akan hukuman Tuhan di dunia kepada para pengikut iblis tersebut.

"Sekarang agak mendingan, Mbak.  Kalau setresnya lagi kumat, kadang telanjang di jalanan."

"Hah, segitunya?"

"Emang Mbak Diah ditanya apa?"

"Nggak apa-apa," jawab Diah yang tak mau memperpanjang teror yang sudah mengganggu hidupnya itu. "Ra, kamu mau jalan-jalan ke kebun tebu?"

"Mau, mau."

Diah mengajak Rara menyusuri jalan kecil di tengah perkebunan tebu.  Tak ada yang terlihat di depan atau samping karena tertutup tebu.  Hanya langit yang kelihatan biru cerah.

Hingga sampai di sebuah gubuk.  Diah mengajak Rara untuk istirahat di gubuk itu.

"Bun, kita naik ke bukit itu saja.  Kalau dari atas bukit itu, matahari terbit bagus untuk selfi."

"Ayo kita naik ke sana!"

Diah dulu juga sering naik ke bukit itu.  Bukan untuk melihat matahari terbit.  Bukan untuk selfi.  Tapi untuk menghilangkan kesedihan.  Di atas bukit itu ada pohon asem.  Dulu, pohonnya masih kecil.  Diah memanjatnya.  Berdiam diri di atas.  Tidak menangis.  Kalau menangis dan bekasnya ketahuan bapak, maka Diah akan ditamparnya.  Sakit banget tamparan bapak.  Apalagi karena Diah merasa sedih memiliki bapak seperti itu, rasa tamparan menjadi berkali lipat.

Dodo yang kadang datang menemani.  Diah sering tidak tahu kalau Dodo akan datang menemaninya.  Tapi, Dodo selalu ada dan menemani Diah yang sedang berada di atas pohon membuang sedihnya.

"Do ...."

(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun