Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

3 Hati dalam Gelas (20)

1 April 2016   11:34 Diperbarui: 1 April 2016   11:36 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu belum juga mengucapkan satu kata pun.  Suasana jadi begitu menegangkan.  Apa ibu juga masih ragu untuk mengatakannya?  Entahlah.  Ada sedikit gurat ragu itu memang.  Terbayang dari sorot mata ibu yang terkesan melayang.

"Ehm..."

Afra dan Diah bahkan tak berani menggerakkan tubuhnya.  Seakan terpaku pada hal penting yang hendak dikatakan ibu.  Tapi, ibu justru yang tidak biasa.  Biasanya ibu selalu teguh dalam banyak hal.  Tapi kenapa sekarang ada kesan rapuh?

"Kakakmu  ..."

Ibu belum juga meluncurkan kata kecuali satu kata itu.  Lalu berhenti agak lama.  Menarik nafas.  Dan matanya menatap langit-langit ruang.

"Kakakmu masih hidup, Nduk.  Beberapa waktu lalu, dia tiba-tiba saja datang ke sini.  Bertahun-tahun dia mencoba mencari akar tumbuhnya.  Bertahun-tahun dia mencari sejarah dirinya.  Lalu, dia temukan ibu dan adiknya.  Kakakmu ingin sekali bertemu denganmu.  Tapi, menurut ibu, lebih baik kalau kamu yang menemuinya, Nduk."

Ada berkas sinar kebahagian di mata Diah.  Walau kabar itu baru sepotong saja, tapi setiap kali mendengar ada talian saudara, Diah selalu bahagia.  Kakak laki-laki itu yang mungkin suatu saat akan menikahkannya.

Bukan hanya itu, sudah lama sekali, Diah ingin sekali punya labuhan untuk berbagi.  Sebetulnya bisa saja Diah berbagi dengan Afra, tapi entah kenapa Diah merasa ada jarak yang tak pernah terlihat yang menghalanginya untuk berbagi cerita dengan Afra.  Sedang dengan kakak yang tak pernah dikenalnya, Diah bahkan sudah merasa ada sambungan yang mengeratkan.

"Kakak tinggal di mana, Bu?" tanya Diah.

"Tinggal di Bandung.  Alamat lengkapnya ada di Afra.  Nanti kamu catat saja."

"Bagaimana kabarnya?"

"Dia sudah punya istri dan anak.  Kemarin dia datang ke sini bersama istri.  Anak-anaknya tak diajak.  Kalau sudah ketemu, nanti baru akan mengajak anak-anaknya."

"Istrinya cantik.  Pakai jilbab panjang.  Bahkan pakai penutup  muka juga," tambah Afra.

"Maaf, Bu.  Istri kakak nggak buta?" tanya Diah hati-hati.

"Normal.  Ibu juga tidak tahu kenapa kakakmu bisa mendapatkan istri secantik itu," kata ibu sambil tersenyum.  sepertinya bangga juga.

"Diah bisanya kalau liburan semester nanti ya, Bu."

"Kapan saja.  Ada juga nomor telepon kakakmu.  Telepon saja kapan-kapan, Nduk."

"Ah, nggak enak, Bu.  Teleponnya nanti saja kalau sudah ketemu muka."

Karena malam semakin larut.  Mata juga mulai ngantuk.  Diah pamit tidur.  Diah pengin tidur berdua ibu.  Di kamar ibu.  Afra hanya tersenyum.

***

Perasaan baru memejamkan mata, saat terdengar azan subuh dari masjid.  Di luar memang sudah ramai.  Dulu, waktu Diah kecil tak ada suara azan subuh.  Masjid belum punya spiker.  Azan masih dikumandangkan dengan suara asli.  Tak terdengar hingga rumah Diah.  Sekarang spiker masjid sudah bagus.  Suaranya sudah mencapai rumah paling jauh.  Lagian juga di setiap mushola sudah ada spikernya.  Jadilah suara azan Subuh itu saling bersautan.

Perbedaan yang mencolok memang sikap keberagamaan.  Subuh sudah ramai orang ke masjid.  Dulu sih hanya bisa dihitung dengan jari.  Hanya orang-orang tua yang sudah bau tanah yang rajin ke masjid.  Sekarang, anak segede Hanif juga sudah beramai-ramai solat Subuh di masjid.

"Diwajibin sama guru ngajinya, Mbak," jelas Afra saat melihat pertanyaan yang menggantung di pelupuk mata Diah.

"Ada pengajian juga?"

"Pengajiannya tak henti-henti, Mbak.  Kalau pagi sehabis subuh biasanya untuk ibu-ibu.  Setelah itu, untuk anak yang sekolah siang.  Sorenya pengajian untuk anak yang sekolah pagi.  Malamnya untuk bapak-bapak," jelas Afra.

"Semoga saja sikap keberagamaannya nyambung dengan etika hidupnya," kata Diah agak bergumam. 

Diah memang sering memperhatikan sikap hidup sosial dan keagamaan tak nyambung terutama di kota.  Orang yang terlihat rajin ke masjid bahkan ketua partai agama malah ditangkapi KPK.  Padahal seharusnya merekalah yang tak korupsi karena ajaran agama jelas-jelas telah mengharamkannya.

Masjid memang ramai saat Subuh.

"Diah?" tanya seorang ibu yang duduk di samping Diah.

"Iya."

"Kapan pulang?"

"Kemarin."

"Sama suami?"

(Bersambung)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun