Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

3 Hati dalam Gelas (18)

31 Maret 2016   08:58 Diperbarui: 31 Maret 2016   09:35 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senyum itu masih juga renyah.  Senyum itu masih seperti dulu.  Bertahun-tahun Diah merindukan senyum itu.  Senyum yang selalu menentramkan hati Diah segalau apa pun Diah.

Senyum ibu.

Ibu berdiri di teritis rumah.  Rupanya sudah dari tadi menunggu Diah.  Turun dari Andong, Diah langsung menghambur ke tangan renta itu.  Tangan yang tak ada bandingannya di dunia ini.  Tangan yang pelukannya terus-menerus menebar ketentraman.

"Ibu..." kata Diah dalam derai air mata yang tak mungkin dibendung lagi.

Diah mendekap wanita yang semakin kelihatan tua dengan banyak keriput kulit.  Erat.  Erat sekali.  Pelukan yang sekian tahun tertahan.  Ibu hanya diam.  Air mata yang hendak jatuh tampak sekali ditahannya. 

"Kamu sehat, Nduk?"

Selalu pertanyaan itu yang menjadi pertanyaan pembuka.  Ibu tak pernah menanyakan apa pun selain kesehatan.  Bagi ibu kesehatan anak-anaknya adalah berkah paling berharga.

Diah mengangguk.

Ibu membimbing Diah masuk ke ruang tamu.  Ruang tamu yang tak jauh berbeda dengan waktu Diah meninggalkannya dulu.  Ruang tamu yang hanya berisi beberapa kursi yang nyaris reyot.  Untung saja suami Afra bisa sedikit ilmu pertukangan sehingga kursi-kursi yang sudah mulai lapuk dimakan waktu masih mampu menyanggu tubuh di atasnya.

"Ibu juga?"

Ibu mengangguk.  Dengan senyum yang selalu terlihat tulus.  Senyum yang juga selalu menggugurkan amarah Diah.  Amarah Diah selalu saja kalah dan menyerah.  Saat amarah itu bertubrukan dengan senyum ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun