[
Hujan hampir usai. Â Tinggal rintik yang ritmik mengiringi langkah Diah. Â Dan cowok yang dari tadi mengiringi jalan Diah. Â Waktu itu, tebu masih belum tua benar. Â Masih setinggi dada Diah. Â Sedang ranum-ranumnya. Â Orang di kota kelahiran Diah sering menganggap tebu dalam usia itulah yang paling enak dimakan. Â Bukan dimakan sebetulnya, tapi diisap sarinya. Â Tebu tak pernah dimakan, diisap sarinya dan dibuang ampasnya. Â Setiap isapan akan melambungkan hayalan. Â Lebay ya?
Dodo nama cowok itu. Â Diah tahu kalau dodo menyukainya. Â Diah sering memergoki mata Dodo yang sedang meliriknya. Â Kadang-kadang Diah membiarkan ta[i kadang-kadang Diah menegurnya. Â Diah merasa persahabatan lebih indah daripada cinta. Â Model apa pun cinta itu.
Namun Dodo sendiri beda. Â Dodo sering menganggap Diah sebagai cewek yang beda dari cewek-cewek lainnya. Â Diah memang hanya pakai rok saat sekolah. Â selebihnya selalu pakai celana. Â Gaya jalannya juga beda. Â Kalau kalian tak tahu lebih dulu jika Diah itu cewek, maka kalian akan tersesat dan menganggap Diah itu cowok. Â Dan Dodo memang suka cewek yang tak terlihat lemah.
"Kenapa orang selalu menganggap cewek itu lemah ya, Di?" tanya Dodo saat mereka jalan bersama. Â Tangan Dodo yang mencoba meraih tangan Diah pun segera ditepis. Â Dodo hanya meringis karena ketahuan gayanya.
"Karena ceweknya juga sering merasa senang berada atau dianggap sebagai lemah," jawab Diah.
"Kok gitu?"
"Karena kelemahan cewek itulah kekuatannya, Do."
"Tambah gak ngerti aku," Dodo berlagak geleng-geleng kepala.
"Kamu pernah lihat cowok yang mati-matian menolong cewek yang melemahkan diri sendiri, Do?"
"Sering."