Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

3 Hati dalam Gelas (6)

17 Maret 2016   15:53 Diperbarui: 17 Maret 2016   16:00 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[

Matahari sudah mulai mengintip.  Sinarnya begitu indah.  Diah duduk di beranda.  Kepalanya agak pusing.  Entah kenapa.  Tadi sudah menelepon Pak Latif, wakil kepala sekolah.  Izin tidak masuk, sakit. 

"Libur, Bu?" sapa tetangga yang baru pulang dari pasar.

"Meliburkan diri, Bu.  Agak sakit kepala," jawab Diah.

"Sudah minum obat?"

"Sudah, Bu."

Perut agak lapar.  Tapi di dapur tak ada apa-apa.  Diah memilih tiduran.  Mudah-mudahan setelah tidur akan kembali bugar.  Hingga akhirnya terdengar ada seseorang yang mengetuk pintu. 

"Raraaaaa.....!" 

"Iya, Bu.  Kata Bu Rini, ibu sakit.  Jadi saya ijin untuk menemani ibu."

"Jam berapa sekarang?"

"Setengah sebelas.  Ibu sudah makan?"

Ada getar bahagia yang tingginya tak terhingga.  Perhatian dari seorang anak kecil bernama Rara ini begitu menyentuh hati Diah paling ujung.  Mungkin bukan perhatian Rara yang menyentuh relung Diah, tapi lebih pada ketulusan Rara.

"Belum."

"Ibu masak?"

"Belum."

"Berarti ibu belum makan, dong?"

Diah hanya tersenyum.  Perutnya memang agak melilit.  Tadi pagi hanya makan pisang untuk minum obat.  Kepala Diah sudah agak ringan tapi perutnya yang kelaparan.

"Rara beliiin ya, Bu?"

"Beli apa?"

"Nasi padang depan, mau?"

"Boleh deh."

Dengan langkah burung prenjak yang lincah, Rara meninggalkan Diah yang terus memandanginya hingga belokan.  Seandainya aku punya anak segede Rara?  kata Diah dalam hati.  Kalau sakit begini ada yang bisa memperhatikannya.  Tidak sampai kelaparan.  Tapi ... ah, lupakanlah!

"Sudah minum obat?"

"Sudah anakku sayang."

"Boleh Rara ikut makan?  Rara juga laper, Bu," kata Rara sambil langsung mengambil nasi di depan Diah.  Diah senang melihat kelakuan manja Rara.  Diah juga yakin kalau Rara menyukai dirinya.

"Kapan mau menginap?" tanya Diah.

"Sekarang.  Rara udah bilang sama ayah, kok."

"Boleh?"

"He-eh," jawab Rara sambil menganggukkan kepala. "Ayah malah pengin ketemu ibu.  Tapi nanti kalau ibu sudah smbuh saja.  Ayah Rara ganteng lho, Bu," cerocos Rara.

Dug!  Ada yang menghantam hati Diah.  Jangan-jangan Rara terlalu berharap padanya.  Jangan-jangan Rara akan menjodohkan Diah dengan ayahnya.  Bagaimana kalau betul seperti itu?

Diah mencoba untuk membuang jauh-jauh prasangka itu.  Diah ingin menikmati keakrabannya dengan Rara tanpa harus dibebani kemungkinan-kemungkinan yang juga belum mungkin.

"Sudah bawa pakaian?"

"Tadi sudah minta tolong Oom Gondo untuk mengantarkannya."

Diah jadi tersenyum sendiri.  Diah jadi ingat laki-laki yang membuatnya ketakutan setengah hidup itu.  Waktu pertama kali datang ke rumah Rara.  Diah kira laki-laki itu gila.  Ternyata dia laki-laki baik. 

"Kalau ketemu Oom Gondo jangan takut ya, Bu?" kata Rara seakan tahu apa yang sedang dipikirkan Diah.

"Sekarang sudah tidak takut lagi," jawab Diah.

"Oom Gondo itu dulunya tidak begitu, Bu.  Entah kena sakit apa, sekarang jadi seperti orang tidak normal.  Kalau sama Rara, Oom Gondo itu baik sekali," jelas Rara.

"Oom Gondo itu adik ayahmu, Ra?"

"Bukan.  Adik bunda Rara."

Ada mendung yang seakan-akan mendadak datang dan menghadang keceriaan Rara.  Mungkin Rara ingat bundanya. 

"Bawa buku buat besok?" Diah mencoba mengalihkan pembicaraan.  Diah tak ingin melihat mendung seujung kuku pun menghinggapi wajah Rara.

"Sudah, Bu.  Rara sudah mengantisipasinya.  Tadinya pengin sekalian bawa baju juga, tapi kelihatannnya kayak mau mengungsi," jawab Rara bercanda.

"Boleh aku pijiti ibu?" tanya Rara.

"Gak usah, Ra?"

"Iseng saja, Bu," kata Rara yang langsung duduk di belakang Diah dan memijit-mijit pundak Diah.  Enak juga.  Ada peregangan otot saat dipijit.  Terasa betul.

"Belajar mijit di mana, Ra?"

"Ah, Rara cuma asal mijit kok, Bu."

"Tapi terasa enak."

"Kalau enak, ibu harus bayar."

"Iya.  Jangan khawatir. Kamu udah nonton film Zootopia?"

"Belum."

"Kalau begitu, kita nonton Zootopia.  Di Pondok Gede lagi diputar, Ra."

"Mantap."

Lama mereka bercakap berdua.  Hingga kelupaan waktu salat.  Tak disangka kalau jarum jam sudah merangkak hingga angka dua.

"Salat dulu, Ra."

"Iya, Bu.  Tapi Rara gak bawa mukena."

"Ibu punya dua.  Pakai punya ibu saja."

Mereka berdua pun salat berjamaah.  Khusuk banget.  Dua orang itu sepertinya sedang sama-sama memanjatkan syukur karena sudah dipertemukan.  Dua-duanya seperti sendok dan garpu.  Saling melengkapi.  Dan saling mengisi.  Karena dua manusia itu ternyata memiliki ruang kosong di hati masing-masing.  Ruang kosong yang selama ini lebih sering diisi dari satu kesepian menuju kesepian yang lainnya.

Ada dunia yang indah.  mereka telah menemukannya.  Dan mereka tak ingin melepaskannya.  Paling tidak, untuk saat ini.

Dan senja mulai bangkit di ufuk barat.

(bersambung)

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun