"Ibu menamakannya Hartoyo."
Kemudian ibu menerawang entah ke mana. Â Sorot matanya jelas sekali kosong. Â Seakan ada penyesalan yang menggantung begitu berat. Â Dan ibu hendak membagi beban berat itu dengan Diah. Â Ibu mungkin tak ingin ada yang terlewat dalam sejarah anak-anaknya. Â Ibu juga tak ingin anak-anaknya mendengar cerita dari orang lain. Â Cukup lama ibu menunggu waktu yang tepat.
Bulir-bulir itu jatuh meleleh di pipi ibu.
Diah mendekat. Â Memeluk ibunya. Â Ingin membantu ibunya agar jangan terberati beban itu sendirian.
"Ceritakan tentang kakakku, Bu," kata Diah.
"Ibu tak kuasa melawan bapakmu, Nduk. Â Dia terlalu kuat untuk ibu lawan. Â Ayahmu juga terlalu luka. Â Ayahmu terluka karena harapannya sendiri yang terlalu tinggi."
Ibu diam agak lama. Â Di luar tak ada suara apa pun. Â Benar-benar sunyi.
"Kakakmu terlahir buta, Nduk. Â Dan ayahmu tidak mau menerima kenyataan itu. Â Ayahmu menginginkan anak laki-laki yang kuat dan perkasa. Â Tapi ... anak laki-laki yang dijumpainya justru seorang anak laki-laki yang buta."
Tangis itu semakin menyesakkan dada ibu. Â Diah memijit-mijit tangan ibu yang sudah mulai terlihat kurus. Â Air mata Diah juga mulai menderas.
"Kakakmu dibawa entah ke mana. Â Ibu juga tidak tahu. Â Ibu hanya mendengar samar-samar kalau kakakmu diserahkan ke panti. Â Di mana letak pantinya juga ibu tak pernah tahu hingga hari ini."
***