Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

3 Hati dalam Gelas (4)

16 Maret 2016   16:53 Diperbarui: 16 Maret 2016   17:52 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hai ... Ibu!"

"Ada apa lagi, Ra?" tanya Diah.

"Ada yang ketinggalan, Bu."

"Apa?"

"Ucapan terima kasih.  Ibu telah memberikan sesuatu yang lebih dari segalanya," kata Rara bangga.

Diah hanya tersenyum.

"Bu ...."

"Apa lagi, Ra?" Diah mulai merasa ada kemanjaan dalam diri Rara.  Kemanjaan yang mungkin sudah sekian lama dipendamnya.  Diah membiarkan itu.  Diah ingin selalu melihat senyum terlukis di bibir Rara sepanjang hari. 

Kasihan anak ini, kata Diah dalam hati.

"Boleh, gak ... aku ...," Rara seperti ragu mengatakannya.

Diah tersenyum.

"Mau apa, sayang?" kata-kata itu begitu saja meluncur dari bibir Diah.  Wajah Rara pun berbinar mendengar sapaan sayang itu.  Lalu ... Rara langsung memeluk Diah dengan erat.  Mencium pipinya dengan semangat.

"Jangan kelamaan, nanti ibu pingsan."

Barulah Rara melepas pelukannya.  Rara menangis.  Tapi Diah yakin seyakin-yakinnya kalau tangisan Rara kali ini merupakan tangisan bahagia.  Bukan hanya Rara, Diah juga tak bisa lagi membendung air matanya.  Juga karena bahagia. 

Seandainya.  Ya.  Seandainya Diah menikah seusai kuliah, mungkin anak Diah juga segede Rara kini.  Tapi ... hingga kini, Diah masih sendiri.  Paling-paling berteman sepi.  Ah, kayak penyair saja.  Selalu bergelut dengan sepi.  Bahkan memuja sepi.

Langkah Rara tak seceria tadi.  Diah tahu kalau Rara enggan pergi dari rumahnya.  Rara seperti sudah menemukan rumah untuk hatinya.  Dan Rara tak mau kalau harus meninggalkan rumah yang baru ditemukannya itu.

"Besok kamu bisa ke sini lagi.  Pintu rumah ibu selalu terbuka," kata Diah mencoba menguatkan hati Rara.

"Jangan, Bu!" timpal Rara mengagetkan.

"Kenapa?"

"Nanti maling masuk dong, Bu."

Mereka berdua tertawa.  Renyah.  Secerah hati berdua.

Diah menutup pintu.  Untuk kembali pada dunia awal manusia dibuat.  Dunia yang sepi.  Dunia yang sendiri.  Tapi, dunia sepi itu dulu dijalani Adam.  Lalu Adam pun kabarnya minta teman agar tidak kesepian.  Tuhan menciptakan Hawa untuk mengusir rasa sepi Adam.  Dan rasa sepi pun hilang.  Namun kemudian muncul tawa-tawa bayi.  Hingga kini.

Tok...tok...tok!

Belum juga Diah sempat duduk.  Pintu sudah ada yang mengetuk lagi.  Pasti Rara, pikir Diah.  Kalau memang benar Rara, Diah akan menyuruhnya tinggal saja di rumahnya.  Nginep paling tidak satu malam.  Kalau ada Rara, malam pun pasti akan beda.

"Kau...!"

Diah mundur.  Mukanya pucat.  Ternyata bukan Rara.  Tapi seorang laki-laki yang sedang berdiri di depan pintu.  Diah malu karena Diah sedang tak memakai hijab.

"Tunggu sebentar."

Diah mencari hijab.  Dan kembali menemui tamu yang tak diundangnya itu.

"Ada apa, Pak?" tanya Diah dengan bahasa yang formal.

"Main saja.  Sudah lama tak mampir ke sini.  Kebetulan tadi ada acara yang tak jauh dari sini, jadi pulangnya mampir."

Laki-laki itu adalah Tri.  Tri Supriyohadi.  Guru muda yang mengajar olahraga.  Dia masih lajang.  Dan Dia sepertinya ada hati dengan Diah.  Semua guru-guru tahu itu.  Diah juga tahu.

Cuma.  Sebetulnya bukan cuma tapi memang mereka tak mungkin bersama.  Usia Tri terlalu muda bagi Diah.  Selisihnya 7 tahun.  Bukan perbedaan yang biasa.  Semua orang pasti akan menerima itu sebagai tembok untuk sebuah cinta.  Tapi Tri memang bodoh.  Masih juga berharap pada hati Diah.

Berkali-kali Diah sampaikan kalau mereka tak mungkin menyatu.  Cinta yang tak normal pasti akan menuai banyak hambatan.  Apalagi pernikahan di negeri ini kan bukan pernikahan antara dua orang.  Pernikahan di negeri ini selalu menjadi pernikahan antara dua keluarga besar.  Maka segalanya pun harus normal kalau tak ingin terganjal begitu banyak rintangan.  Dan cinta Tri kepada Diah pasti bukan cinta yang normal.  Mohon maaf kalau nanti harus menghadapi cibiran banyak orang.

"Biarlah," kata Tri dengan kenekadannya.

"Tidak bisa biarlah.  Cinta juga butuh rasionalitas, Tri."

"Apa benar begitu.  Atau kamu memang tak menyukaiku?"

"Aku tak ingin berdebat.  Carilah perempuan lain yang lebih cocok denganmu," kata Diah dalam setiap percakapan dengan Tri yang hingga kini masih juga tak mau peduli.

"Aku akan menunggumu."

"Asal jangan patah hati."

Diah sendiri bingung.  Bagaimana mengakhiri semua ini.  Akhirnya, Diah hanya pasrah.  Kalau dia nanti pergi, biarlah.  Kalau dia masih betah menanti, masa bodohlah.

"Aku ingin mengajak ibu nonton," kata Tri agak ragu.  Sudah berkali-kali mengajak Diah nonton tapi selalu saja berakhir dengan tolakan demi tolakan.  Mungkin kali ini juga akan mengalami hal serupa.

"Nonton film apa, Pak?"

"Jingga.  Mau?  Film garapan Lola Amaria.  Bagus lho!" pertanyaan Diah bagaikan bintang jatuh yang sudah begitu lama diharapkan Tri.  Hingga dia bersemangat sekali menjelaskan film yang hendak ditontonnya.

"Ceritanya tentang apa?"

"Orang buta."

Wajah Diah berubah.  Merah padam.  Kata-kata Tri barusan seperti percikan api pada bensin.  Langsung membakarnya.  Kata-kata Tri telah membuka sebuah lembaran sejarah Diah.  Dan Diah sudah lama ingin melupakan sejarah kelam itu.  Tapi ... Tri barusan membukanya.  Bahkan memercikan api pada bensin sejarah Diah.  Wajar bila wajah Diah langsung berubah.

Tri menyesali kata-kata yang baru diucapkannya.  Tapi Tri sendiri tak tahu kata apa yang telah membuat Diah berubah.  Tri hanya tahu ada sesuatu yang begitu dasyat.

"Ke ...,"

"Sebaiknya Pak Tri Pulang saja.  Kepala saya mendadak sakit.  Aku perlu istirahat," kata Diah. 

Dengan masih menggotong sejuta pertanyaan, Tri meninggalkan Diah.  Dan luka lama itu ...

(Bersambung)

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun