“Kok bisa begitu, Bun!” protes Sevi.
“Bisa saja.”
“Kenapa, Bun?”
“Karena Bunda tak mau ada perang di perjalanan.”
“Kok perang, Bun. Maksudnya apa, Bun?” Sevi terus saja melancarkan protes. Tapi Bunda juga tetap pada pendiriannya. Tak mungkin berubah. Dan tak akan berubah. Tak mungkin menyerah. Dan tak akan menyerah.
“Pokoknya, kamu di rumah saja. Bunda cuma sebentar, kok,” kata Bunda menutup rapat-rapat protes Kak Sevi.
Dengan muka cemberut, Kak Sevi pun menyerah kalah. Tak protes lagi. Muka dimasukkan ke dalam bukunya. Telinganya disumbat lagi dengan radionya.
Si kriting pun muncul lagi. Memakai kaus warna merah menyala. Memakai celana jeans. Memakai kacamata hitam segala. Seperti bintang Bollywood, si ganteng Sang Rukan, eh Sahrukan. Kalau saja rambut keritingnya tidak dipakai, pasti tak ada yang percaya kalau dia si Mocsya.
“Ayo!” kata Bunda yang sudah siap di mobil.
“Ayah sama Kak Sevi tidak ikut?” tanya Mocsya.
“Sekali-kali kita berdua saja. Boleh kan?” kata Bunda.