Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Husssss!

12 Juli 2015   05:52 Diperbarui: 12 Juli 2015   09:54 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sevi mendadak terbangun.  Ada suara.  Suara ketukan.  Ya, seperti ada orang yang mengetuk pintu.  Padahal malam sudah larut.  Sevi menyalakan lampu.  Diliriknya jam dinding.  Jarum jam menunjuk pada angka dua.  Masa ada tamu malam-malam begini?  Hati Sevi kecut.  Takut.    

“Siapa malam-malam begini mengetuk pintu?” tanya Sevi.  Tentunya hanya dalam hati.

Sevi keluar kamar.  Dengan keberanian yang tak seberapa itu.  Plastik yang tak sempat dibereskan terantuk kaki Sevi.  Hampir saja Sevi berteriak, tapi langsung diurungkan.  Sevi menyalakan lampu ruang tamu.  Berjingkat ke jendela.  Mengintip lewat jendela.  Tapi tak ada siapa-siapa di luar.  Hanya sepi yang memang menemani keremangan malam. 

Sevi kembali ke kamar.  Hatinya sudah tak menyimpan takut lagi.  Sudah kabur rasa takut itu.  Sevi pun memutuskan untuk tidur kembali.  Mungkin hanya mimpi, kata Sevi dalam hati.

Baru saja hendak memejamkan mata.  Sevi tergeriap bangun.  Sepertinya ada orang yang sedang bicara.  Tapi siapa?  Tapi di mana?  Hati Sevi mulai dag dig dug.  Menyelusup kembali rasa takut itu.  Jangan-jangan orang yang tadi mengetuk pintu sudah berhasil masuk rumah.  Suaranya terdengar begitu dekat.  Atau jangan-jangan, ada perampok yang sudah masuk rumah.  Ah, tak mungkin!  Kata Sevi dalam hati hanya untuk menenangkan diri.

Kalau sudah begini, Sevi jengkel juga sama adik semata wayangnya.  Oca.  Si adik tak pernah terbangun saat ada suara apa pun.  Jangankan cuma orang berbisik, orang berteriak di kupingnya pun belum tentu adiknya itu terbangun.

Pernah ada kucing berantem di sebelah kamarnya saja dia tidak peduli.  Padahal suaranya sudah sampai ke mana-mana.  Sampai Sevi menyumpal kupingnya dengan kapas terus ditambah bantal pun masih tertembus suara berisik kucing berkelahi itu.  Tapi si manusia yang satu ini justru masih ngorok saja.  Tak mendengar apa pun.

Sevi ingin keluar kamar dan membangunkan Oca.  Tapi rasa takut menyergap hati Sevi.  Sehingga dibatalkan niat itu.  Sevi hanya pura-pura terpejam.

“Krek!”

Ada suara orang hendak membuka pintu kamar.  Tak berhasil.  Pintu kamar memang tadi sudah dikunci oleh Sevi.  Untung saja.  Kalau tadi lupa mengunci pintu, pasti akan lain lagi ceritanya.  Mendengar ada orang yang hendak membuka pintu,  Sevi semakin ketakutan.  Hatinya hampir saja copot.  Apalagi saat mendengar bisik-bisik pula.  Pasti perampoknya lebih dari satu.  Pasti wajahnya seram-seram. Pasti ....

Sevi tak berani meneruskan apa yang ada di dalam pikirannya.

Kalau sudah begini, Sevi baru ingat berdoa.  Sevi pun berdoa.  Doa Sevi khusuk sekali.  Sambil berlinangan air mata.  Dan dia juga teringat Oca.

“Kak, kakak!” ada suara memanggil Sevi. 

Jelas, jelas sekali kalau itu suara Oca.  Tapi di mana dia?  Tentu bukan di kamar Sevi.  Karena pintu kamar Sevi memang sudah dikunci dari tadi.

“Jangan-jangan tuh anak sudah ditangkap sama perampok!” pikir Sevi.

“Kak, kakak!”  panggil Oca kembali.

Sevi mencoba memasang telinganya baik-baik.  Ternyata suara itu terdengar dari arah pintu.  Wah berarti betul, dia sudah ditangkap sama perampok.  Pasti dia sedang menangis.  Pasti dia sedang ketakutan.  Kasihan sekali dia.  Tapi, apa yang bisa dilakukan Sevi?

“Hah...!” Sevi mendesah.  Mencoba memeras otaknya.  Mencari cara menyelematkan adiknya.

“Kakak, buka pintunya!” pinta Oca.

“Perampoknya ada berapa?” bisik Sevi.

“Apa?” tanya Oca.

“Perampok,” ulang Sevi.

“Perampok?” tanya balik Oca.

“Iya, Ca.  Kamu ditawan perampok?”

“Mana ada perampok?” tanya Oca.

“Gak ada perampok?” Sevi bingung sendiri.

“Gak ada siapa-siapa.”

Pasti bohong.  Pasti dia sedang diancam.  Pasti di leher Oca sedang dikalungi pisau.  Kasihan, kasihan, kasihan!

 “Terus kamu ngapain?” tanya Sevi.

“Anterin aku!” teriak Oca.

“Anterin ke mana?” tanya Sevi lagi. 

“BAB,” kata Oca sambil terus berlari.

“Halah, masa ke kamar mandi saja takut?” Sevi terpaksa mengikuti dari belakang.

“Cepetan, ntar keburu keluar!” teriak Oca lagi.

“Iya.  Ayo duluan!”

 “Cepat, Kak!”

Sevi tambah gugup.  Jalan keluar belum ditemukannya.  Otaknya justru mentok.  Tak ada pikiran yang sekedar mampir lewat di otaknya.  Otaknya betul-betul kosong.  Melompong.  Jengkel juga Sevi.  Otaknya ternyata tak mau diajak kerja sama.  Otaknya seperti memberontak.  Mungkin otaknya berharap sudah tidur.  Sudah istirahat.  Setelah seharian dipakai untuk mikir.

“Kakak!” teriak Oca lagi.

“Iya, Ca.”

Tanpa pikir lagi, Sevi membuka pintu.  Dilihatnya Oca sedang memegang perutnya.  Ada apa?  Jangan-jangan perutnya sudah sobek dan berdarah.

“Aku kebelet BAB.”

“Perampoknya mana, Ca?” tanya Sevi.

“Perampok apa?”

“Bukannya tadi ada perampok, Ca?”

“Tidak lihat.”

“Terus kamu?”

“Ya pengin BAB aja. Takut anterin dong!”

Halah.  Ternyata tak ada apa-apa.  Cuma si Kriting saja yang sedang kebelet.  Sedang ketakutan.  Sevi pun mengantarnya.  Menunguinya.  Agak jauh.  Itu pun juga aromanya masih tercium.

Mereka berdua tertawa.

Coba kalau ada Ayah dan Bunda.  Pasti dia akan terbahak juga.

Ini semua karena Sevi terlalu banyak menonton film horor.  Akibatnya, Sevi selalu menganggap ada setan di mana-mana.  Atau ada orang jahat yang hendak merampok di rumahnya.

“Makanya, jangan suka nonton film murahan!” ledek Oca.

Sevi hanya tersenyum.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun