Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Drama Artikel Utama

Seekor Anjing dan Seorang Nenek Pengemis

2 April 2015   12:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:38 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di taman.  Malam penuh.  Bulan merah darah.  Tinggal separuh.  Ada dua bangku.  Saling berhadapan.  Seperti sedang bercakap.  Dalam bisu.

Seorang nenek datang.  Mengelilingi taman.  Lalu duduk di bangku sebelah kanan.  Bajunya sudah menunjukkan kalau dia memang pengemis.  Wajahnya terlihat penuh beban kehidupan.  Matanya sayu.  Terpejam.

Terdengar dengkurnya.

Darang seekor anjing.  Yang juga lusuh.  Mungkin dia juga anjing pengemis.  Berputar-putar di taman itu.  Lalu duduk di bangku sebelah kiri.  Merebahkan badannya.  Lalu terpejam matanya.  Terdengar dengkur.

Malam terus berlari.  Terlihat dari bulan yang semakin condong.  Lalu bersembunyi di balik pohon taman.

Pengemis terbangun.

PENGEMIS : Haaaaahhhhhhh....!

Berjalan mendekati  anjing yang tertidur pulas.  Mengelusnya.  Anjing terbangun.

ANJING :  Guk....Guk.....Guk....!

Seakan sebuah salam perkenalan.  Nenek pengemis terus mengelusnya.  Dan anjing itu berhenti menggonggong sambil menikmati setiap usapan nenek pengemis.  Seperti anak yang menikmati kasih sayang ibunya yang sudah lama pergi menjadi TKW.

PENGEMIS : Aku yang kemarin melempar dua orang botak yang sering mangku intel.  Sebetulnya, mereka berdua memang bukan intel tapi selalu mengaku intel.  Hanya untuk menakut-nakuti kita.

Anjing memejamkan mata.  Tidak tidur.  Seperti sedang mendengar kesah nenek pengemis yang mengelus dirinya sebagai timbal kebaikan.

PENGEMIS : Mereka kira, kita takut pada dua bedebah itu.  Padahal, coba kamu perhatikan dengan cermat.  Dua manusia botal yang mengaku intel itu selalu sembunyi dari kejaran kesalahan-kesalahan dirinya.  Hidup dan kesalahan mereka berdua, jika diperbandingkan, maka akan lebih panjang kesalahan-keslahannya.  Kamu tahu siapa yang lebih takut kan kalau sudah seperti ini?

Anjing mengangguk.

PENGEMIS :  Mereka berdua bahkan sering merasa kuat hanya karena telah menjadi pengikut iblis.  Padahal, iblis telah masuk ke dalam dirinya.  Mereka berdua sebetulnya hanya seekor iblis yang terbelah.  Segalanya sama.  Kecuali hidungnya.  Karena yang satu dulu pernah rajin salat.

Lalu angin bertiup.

PENGEMIS : Kemarin aku lempar mereka dengan batang kayu.  Lari terbirit-birit.  Tapi coba lihat saat mereka menghadapi rakyat kecil.  Terlihat beringas dan perkasa.

Anjing tertidur. Pulas.

PENGEMIS : Aku bosan hidup di negeri ini.  Seandainya aku bisa mati saat ini dan di sini.  Alangkah indahnya.

Lalu nenek pengemis itu terkulai.  Anjing terbangun.  Menciumi nenek itu.  Dengan kasihnya.  Seperti anak yang merasa akan ditinggal ibu untuk selamanya.  Ada air mata melesat di pipi anjing itu.

Anjing menengadah.  Seperti hendak protes kepada Tuhan.  Tapi kemudian dia urungkan.

ANJING :  Masih ada Tuhan kah di negeri ini?

Hingga matahari menampakkan diri, anjing masih enggan meninggalkan nenek pengemis yang telah memberi seuatu yang belum pernah diterimanya hingga kini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun