Di taman. Â Malam penuh. Â Bulan merah darah. Â Tinggal separuh. Â Ada dua bangku. Â Saling berhadapan. Â Seperti sedang bercakap. Â Dalam bisu.
Seorang nenek datang. Â Mengelilingi taman. Â Lalu duduk di bangku sebelah kanan. Â Bajunya sudah menunjukkan kalau dia memang pengemis. Â Wajahnya terlihat penuh beban kehidupan. Â Matanya sayu. Â Terpejam.
Terdengar dengkurnya.
Darang seekor anjing. Â Yang juga lusuh. Â Mungkin dia juga anjing pengemis. Â Berputar-putar di taman itu. Â Lalu duduk di bangku sebelah kiri. Â Merebahkan badannya. Â Lalu terpejam matanya. Â Terdengar dengkur.
Malam terus berlari. Â Terlihat dari bulan yang semakin condong. Â Lalu bersembunyi di balik pohon taman.
Pengemis terbangun.
PENGEMIS : Haaaaahhhhhhh....!
Berjalan mendekati  anjing yang tertidur pulas.  Mengelusnya.  Anjing terbangun.
ANJING : Â Guk....Guk.....Guk....!
Seakan sebuah salam perkenalan. Â Nenek pengemis terus mengelusnya. Â Dan anjing itu berhenti menggonggong sambil menikmati setiap usapan nenek pengemis. Â Seperti anak yang menikmati kasih sayang ibunya yang sudah lama pergi menjadi TKW.
PENGEMIS : Aku yang kemarin melempar dua orang botak yang sering mangku intel. Â Sebetulnya, mereka berdua memang bukan intel tapi selalu mengaku intel. Â Hanya untuk menakut-nakuti kita.
Anjing memejamkan mata. Â Tidak tidur. Â Seperti sedang mendengar kesah nenek pengemis yang mengelus dirinya sebagai timbal kebaikan.
PENGEMIS : Mereka kira, kita takut pada dua bedebah itu. Â Padahal, coba kamu perhatikan dengan cermat. Â Dua manusia botal yang mengaku intel itu selalu sembunyi dari kejaran kesalahan-kesalahan dirinya. Â Hidup dan kesalahan mereka berdua, jika diperbandingkan, maka akan lebih panjang kesalahan-keslahannya. Â Kamu tahu siapa yang lebih takut kan kalau sudah seperti ini?
Anjing mengangguk.
PENGEMIS : Â Mereka berdua bahkan sering merasa kuat hanya karena telah menjadi pengikut iblis. Â Padahal, iblis telah masuk ke dalam dirinya. Â Mereka berdua sebetulnya hanya seekor iblis yang terbelah. Â Segalanya sama. Â Kecuali hidungnya. Â Karena yang satu dulu pernah rajin salat.
Lalu angin bertiup.
PENGEMIS : Kemarin aku lempar mereka dengan batang kayu. Â Lari terbirit-birit. Â Tapi coba lihat saat mereka menghadapi rakyat kecil. Â Terlihat beringas dan perkasa.
Anjing tertidur. Pulas.
PENGEMIS : Aku bosan hidup di negeri ini. Â Seandainya aku bisa mati saat ini dan di sini. Â Alangkah indahnya.
Lalu nenek pengemis itu terkulai. Â Anjing terbangun. Â Menciumi nenek itu. Â Dengan kasihnya. Â Seperti anak yang merasa akan ditinggal ibu untuk selamanya. Â Ada air mata melesat di pipi anjing itu.
Anjing menengadah. Â Seperti hendak protes kepada Tuhan. Â Tapi kemudian dia urungkan.
ANJING : Â Masih ada Tuhan kah di negeri ini?
Hingga matahari menampakkan diri, anjing masih enggan meninggalkan nenek pengemis yang telah memberi seuatu yang belum pernah diterimanya hingga kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H