Anjing memejamkan mata. Â Tidak tidur. Â Seperti sedang mendengar kesah nenek pengemis yang mengelus dirinya sebagai timbal kebaikan.
PENGEMIS : Mereka kira, kita takut pada dua bedebah itu. Â Padahal, coba kamu perhatikan dengan cermat. Â Dua manusia botal yang mengaku intel itu selalu sembunyi dari kejaran kesalahan-kesalahan dirinya. Â Hidup dan kesalahan mereka berdua, jika diperbandingkan, maka akan lebih panjang kesalahan-keslahannya. Â Kamu tahu siapa yang lebih takut kan kalau sudah seperti ini?
Anjing mengangguk.
PENGEMIS : Â Mereka berdua bahkan sering merasa kuat hanya karena telah menjadi pengikut iblis. Â Padahal, iblis telah masuk ke dalam dirinya. Â Mereka berdua sebetulnya hanya seekor iblis yang terbelah. Â Segalanya sama. Â Kecuali hidungnya. Â Karena yang satu dulu pernah rajin salat.
Lalu angin bertiup.
PENGEMIS : Kemarin aku lempar mereka dengan batang kayu. Â Lari terbirit-birit. Â Tapi coba lihat saat mereka menghadapi rakyat kecil. Â Terlihat beringas dan perkasa.
Anjing tertidur. Pulas.
PENGEMIS : Aku bosan hidup di negeri ini. Â Seandainya aku bisa mati saat ini dan di sini. Â Alangkah indahnya.
Lalu nenek pengemis itu terkulai. Â Anjing terbangun. Â Menciumi nenek itu. Â Dengan kasihnya. Â Seperti anak yang merasa akan ditinggal ibu untuk selamanya. Â Ada air mata melesat di pipi anjing itu.
Anjing menengadah. Â Seperti hendak protes kepada Tuhan. Â Tapi kemudian dia urungkan.
ANJING : Â Masih ada Tuhan kah di negeri ini?