Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pantun, Puisi Yang Indonesia Banget

1 Mei 2011   10:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:11 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebanggaan semu.  Kenapa?  Walau yang bikin orang Indonesia asli, tapi kalau dilirik secara cermat sedikit, maka kebanggaan tersebut akan terlihat semu.  Karena tak punya asal muasal dari negeri tercinta ini.  Hanya sebuah pengekoran saja dari bangsa Eropa yang katanya selangkah lebih maju itu.  Haruskah kita bangga kalau bukan hanya sebuah kebanggaan semu?

Apa maksudnya?

Puisi.  Siapa yang tak kenal puisi?  Dari siswa SD sampai aki-aki juga tahu yang namanya puisi.  Tapi, tahukah mereka semua kalau asal muasal puisi itu bermula dari negara yang terlalu jauh jaraknya?  Tidak!  Maskudnya banyak yang tahu tapi sedikit yang menyadarinya.

Lebih mengerikan lagi saat puisi dinyatakan dan dikatakan sebagi simbol kemodernan.  Sedih deh hati ini.  Haruskah kita selalu kalah?  Selalu menganggap sesuatu yang datang dari "yang lain" sebagai penanda kemodernan?

Tak!!!

Kalau kita tak mau menjadi bangsa yang kalah, stop untuk menjadi pengekor dan pengagum orang lain.  Mulailah melihat diri sendiri.  Pelajari sejarah.  Perjelas identitas.  Tak pernah ada identitas diri tapi dicuri dari tetangga.  Tak pantas.  Maka sudah saatnya kita berubah.  Untuk apa?

Untuk menjadi Indonesia.

Bagaimana caranya?  Tentu dengan mengumandangkan segala yang Indonesia banget.  Dalam konteks perpuisian nasional, kita perlu lebih menghargai pantun.  Pantunlah puisi yang paling Indonesia.  Indonesia banget, gitu lho!

Pantun hilang dari tanah airnya.  Terusir dan entah bagaimana nasibnya.  Janganlah kita jadi bangsa yang tak becus merawat.  Warisan budaya yang harusnya dirawat kok malah disia-siakan.  Eh, malah mengagung-agungkan punya orang.

Siapa pantunis Indonesia?  Jangankan rakyat biasa, guru sastra dan para penyair pun akan kelimpungan mencari jawab untuk pertanyaan yang satu ini.  Pantun yang ada saat ini merupakan pantun lama.  Yang sudah pasti usang dan tak menggairahkan.  Mungkin lebih tepat masuk musium saja karena bahasa yang dipakai pun bahasa yang sudah punah dan tak dipakai di dalam kehidupan bermasyarakat bahkan tak ada pula dalam kamus bahasa indonesia yang terbaru sekali pun.

Aneh kan?

Beda dengan pencipta puisi yang bertebaran di setiap koran, baik cetak maupun online.  Pantun tak pernah ada kolomnya di mana pun.  Bahkan dalam pembelajaran di sekolah pun seakan terlupakan.

Lalu, bagaimana generasi muda akan tahu tentang pantun?

Jangankan tahu tentang pantun, mendengar pantun pun tak akan dialaminya lagi jika pantun tak lagi kita rawat sebagai salah satu warisan budaya nusantara.  Tak akan ada lagi yang peduli dengan pantun.  Tak masyarakat, tak pemerintah.  Terus siapa lagi?

Jangan sampai warisan budaya ini justru berkembang di negara seberang.  Yang akhirnya kita haus belajar dari sana untuk mengerti akannya.

Sekali lagi, mari kita rawat pantun.  Puisi yang Indonesia banget.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun