Mereka setuju mengarak alat drum tidak keluar dari wilayah RW 02.
Saya ingat betul sewaktu Saya dahulu masih duduk di bangku SD di tahun 1984 hingga 1990, tradisi turun temurun berkeliling kampung membangunkan sahur dengan alat sangat seadanya.
Saya teringat dengan kreatifitas saat masih kanak-kanak, kami membuat alat tabuh menggunakan kaleng biskuit dan kertas semen kemudian diberikan lem dari sagu yang lantas dijemur dengan panas matahari agar suaranya lebih nyaring.
Selanjutnya kami juga berkeliling kampung dengan menggunakan mobil-mobilan dari kayu peti telur yang kami taruh sebatang lilin sebagai penerang, mengingat di tahun 80'an penerangan jalan masih sangat minim.
Namun di zaman yang serba canggih, remaja cilik bisa membeli alat drum di toko musik ataupun bisa membeli bedug kulit kambing yang sudah jadi di bilangan Kebon Kacang, Tanah Abang.
Di era digital sekarang ini, masyarakat jauh lebih praktis untuk tidak telat bersahur. Ada perangkat gadget dengan fasilitas alarm, siaran televisi yang 24 jam beroperasi juga sebagai pengingat sahur dan alat penanak nasi elektrik yang dapat meringkas waktu jauh lebih cepat.
Ada sebuah pesan filosofis dari tradisi ini adalah semangat kebersamaan dan kekompakan yang masih terjaga dari dahulu hingga kini.
Semoga saja tradisi positif ini  tak akan lekang dimakan waktu.
#THRKompasiana #Ramadhan #thrkompasiana22 #samberthr
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H