Mohon tunggu...
M Iqbal M
M Iqbal M Mohon Tunggu... Seniman - Art Consciousness, Writter, and Design Illustrator.

Kontak saya di Instagram: @mochmad.iqbal.m

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tinjauan Utilitas Efektif-Tidaknya Terminologi Feminis Terhadap Kelangsungan Sosiologis Kita

6 Oktober 2021   20:57 Diperbarui: 8 Oktober 2021   22:43 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ontologi Bahasa Sebagai Rumah-Kemenjadian.
Bicara soal ontologi, kita tidak bisa lepas dari pembahasan mengenai “bahasa sebagai rumah da-sein” meminjam term Heidegger. Jadi, saya akan memulai tulisan ini dari mempersoalkan relevansi terminologi feminis — yang secara historis sampai saat ini dipakai untuk menyimbolkan pemikiran/gerakan emansipasi gender demi keadilan gender — terhadap dampak sosiologis yang dihasilkan oleh terminologi tersebut.

Bila kita mencecapi korpus-korpus post-strukturalis mulai dari Heidegger sampai Camus, maka sekiranya kita mengenal metode genealogis, rumah-kemenjadian, dan semesta-variabel. Seperti misalnya proyek dekonstruksi Derrida bisa kita gunakan untuk melihat dengan jernih sesuatu, dalam hal ini ialah suatu terminologi (différance-temporisasi-komunikasi). Setelah itu kita akan dapat menimbang suatu terminologi tersebut secara utilitas, lebih tepatnya utilitas dalam kelangsungan sosiologis kita seperti yang akan saya bahas dalam sub-bab dibawah ini.

Meninjau Efektif-Tidaknya Utilitas Terminologi Feminisme Terhadap Kelangsungan Sosiologis Kita.
Kita tahu, bila term feminis dilihat dari kaca-mata historikal, maka kita bisa mengartikannya sebagai term untuk mendefinisikan gender yang ditindas, didominasi, dipinggirkan, atau disubordinasi. Kemudian, bila term feminis dilihat dari kaca-mata konseptual, maka kita bisa mengartikannya sebagai term untuk menarasikan perjuangan suatu gender dalam memperjuangkan keadilan suatu gender tersebut dengan gender lainnya.

Akan tetapi, bila term feminis tersebut masuk/dimasukkan kedalam medan sosiologis kita, maka definisi feminis dalam artiannya secara historis maupun konseptual tersebut akan mudah luntur dengan sendirinya. Sebab sebuah “tanda” mempunyai semesta makna bila “tanda” tersebut ditafsir oleh publik secara luas. Itu artinya, nasib sebuah “tanda” bergantung oleh individu yang menafsirnya.

Itulah mengapa sejauh ini masih bisa kita temukan term-term yang cukup bias didalam diskursus gender, misalnya macam term; feminis-laki-laki (male-feminist), yakni laki-laki — katakanlah subjek — yang mengafirmasi adanya ketimpangan gender dan mendukung keadilan gender (adopt etics of care / justice of contruction), bukan dalam artiannya sebagai laki-laki yang feminin. Inilah contoh betapa bias dan sulitnya term-term semacam itu dalam merepresentasikan sesuatu sehingga berpotensi besar akan tergelincir kedalam “semesta makna” bila berada ditengah medan publik secara luas.

Sebetulnya tentu persoalan mengenai term tidak sebegitu perlu diperhatikan, akan tetapi pembahasan mengenai term ini akan menjadi suatu pembahasan yang cukup krusial bilamana publik kita sejauh ini cenderung masih banyak yang tergesa-gesa dalam menafsirkan sesuatu, sehingga adanya/mencuatnya sebuah “tanda” akan dengan mudah ditafsirkan secara sempit dan semena-mena. Entah itu lantaran memang murni ketergesa-gesaan, tidak mampu menafsirkan secara jernih, maupun tidak sempat menggali lebih dalam mengenai “tanda” tersebut lantaran tidak punya waktu untuk menggalinya lebih lanjut (akibat disibukkan oleh kesibukannya sehari-hari).

Dampak dari penafsiran semena-mena dan tidak jernih tersebut akan menjadi cikal bakal timbulnya masalah baru di dalam sosiologis kita, yang sebetulnya masalah tersebut tidak akan timbul apabila kita mau/sempat untuk mempelajari/menafsir tanda tersebut secara mendalam. Itu artinya, term tersebut berperan besar dalam menimbulkan polemik bahkan kekacauan diranah sosiologis kita alih-alih mengupayakan keadilan bagi seluruh subjek (construction of justice).

Lain halnya dengan kita yang cukup bergumul dengan diskurus gender yang dilihat dari kaca-mata ontologi beserta ontologi-bahasa sebagai rumah-kemenjadian yang sekiranya tentu saja kurang/tidak sepakat dengan penggunaan utilitas terminologi feminisme terhadap kelangsungan publik/sosiologis kita secara luas. Dan juga sudah pasti tidak sepakat/tidak akan menggunakan term-term reduksionis semacam label feminis, label maskulinis, ibu bumi, bapak bumi, dan term-term biner seterusnya, lantaran kaitannya dengan “semesta makna” yang membuka peluang untuk dikooptasi/diokupasi oleh barikade para konservatif, pragmatis bahkan fasis (outputnya seringkali dibungkus secara simulakrum), bukan lagi sebagai term progresif (setidaknya sebagai naration for justice) yang hendak mengkonstruksi kebebasan-keharmonisan sosiologis secara luas-holistik-autentik.

Analisis linguistik ini seperti halnya analisis fisio-psikis gender dari Erich Fromm yang menunjukan bahwa: “setiap dikotomi tidak selalu bersubstansi dikotomik, sebab banyak dikotomi yang menipu analisis kita. Maka, kita hendaknya tidak mudah terbawa oleh narasi yang tidak holistik-autentik”. Selain itu, bahkan Dora Mersden (editor New Freewomen, advokat untuk perempuan sepanjang hayatnya, disamping kritikus suffragisme dan feminisme tanpa henti) menanggalkan label feminisnya, lantaran tidak menghendaki disposisi reaktifnya. Berikut secuil diktum darinya; “kebebasan dan kemampuan yang ‘diakui’, adalah privilese yang menurut kami tidak berguna” — Dora Marsden. Atau mengutip diktum Judith Butler mengenai gender sebagai; “aparat“, lalu dilanjutkan oleh diktum Alyson Escalante; ”Jika dimensi sosial mengakar pada yang diciptakan oleh aparatus ini, maka pekerjaan kita adalah menuntutnya untuk dibakar habis”.

Itulah fakta silogisme-linguistik dari terminologi feminis yang terlalu bias. Tentu saja silogisme-linguistik ini berbeda dengan terminologi-terminologi emansipasi lainnya, misalnya kita ambil contoh term “Black Live Matter” yang juga hendak menarasikan emansipasi. Perbedaannya ialah “Black Live Matter” sudah solid secara silogisme-linguistik sebab ia mengikutkan diksi Live Matter kedalam bangunan narasinya perihal ras/subjek berkulit hitam (subjek yang kerap menjadi subjek-subordinatif), berbeda dengan term feminis yang hanya menggunakan term Feminist bukan “Feminist Live Matter” (salah satu contoh bila terlepas secara ontologis, tapi setidaknya solid secara silogisme-linguistik).

Dengan demikian, sekiranya kita patut mempersoalkan mengenai dampak utilitas yang dihasilkan oleh terminologi tersebut ketika mencuat diranah publik/sosiologis kita secara luas, disamping mempromosikan maupun memberikan edukasi mengenai sisi historikal dan konseptualnya; yakni yang diartikan sebagai term dalam arti narasi ketidakadilan, subordinasi, perjuangan kebebasan-diri, dan seterusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun