Mohon tunggu...
M Iqbal M
M Iqbal M Mohon Tunggu... Seniman - Art Consciousness, Writter, and Design Illustrator.

Kontak saya di Instagram: @mochmad.iqbal.m

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tinjauan Utilitas Efektif-Tidaknya Terminologi Feminis Terhadap Kelangsungan Sosiologis Kita

6 Oktober 2021   20:57 Diperbarui: 8 Oktober 2021   22:43 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh: M.Iqbal.M

“Marilah kita mulai dengan yang tak-mungkin” — Jacques D.

“Adalah subjek untuk melampaui subjek” — M.Iqbal.M

Untuk mengantipasi kekeliruan dalam membaca atau menginterpretasi tulisan ini (mis-reading), saya menegaskan atau sangat perlu digaris bawahi bahwa dalam tesis ini saya berfokus kepada elaborasi saya mengenai terminologi-feminisme sebagai term definitif biner (bila kita lihat memakai kaca-mata analitik-silogisme mengenai “keterlemparan” sebuah bahasa-terminologis), bukan kepada artiannya secara historikal/konseptual — yang singkatnya — sebagai narasi emansipasi (kebebasan-diri bila kita memakai term Mersden) suatu serangkaian karakteristik yang membedakan maskulinitas, femininitas dan seterusnya. Karakteristik tersebut dapat mencakup jenis kelamin, hal yang ditentukan berdasarkan jenis kelamin, atau identitas gender (mencangkup bermacam kuk). Lebih tepatnya, saya akan membahasnya dari segi utilitas-terminologis (tentu utilitas secara harfiah, bukan dalam arti konseptual macam utilitarian Jeremy Bentham). Jadi, tulisan ini bukan soal relevansi feminisme dalam arti historikal atau konseptual, melainkan soal efektif atau tidaknya relevansi terminologi-feminis secara utilitas untuk kelangsungan sosiologis kita (dampak signifikan setelah terlempar diranah publik luas).

Disamping itu, saya akan sedikit mengikutkan pembahasan — boleh dikata memberikan hipotesis (atau sekedar catatan) — mengenai kritik konseptual feminisme maupun posisi ontologis feminisme. Tentu dengan hanya saya bahas secara singkat lantaran cakupannya yang terlampau luas, mungkin dilain kesempatan akan saya bahas lebih detail. Untuk sementara ini, tulisan ini lebih banyak meninjau utilitas terminologi feminis yang sekiranya, sejauh ini kurang dibahas dalam diskursus filsafati, diskursus gender, maupun diskursus etiks. Selebihnya, sekiranya pula tesis saya ini dapat menambah kontribusi dalam literatur gender-ontologis. Tidak seperti Lenin yang justru menyerukan untuk tidak memperbanyak literatur mengenai hal ini (sedikit gambaran kecil mengenai kebusukan kredo atomis komunitarian yang patut untuk kita berangus).

Pendahuluan.
Bicara soal gender atau topik apapun, bagi saya — dan juga para “begawan” post-strukturalis — tidaklah bisa lepas dari suatu keberangkatan ontologis. Suatu keberangkatan dari seluruh praksis seluk-beluk kelangsungan hidup, yakni biasa diistilahkan sebagai “kebertubuhan”, istilah ini lebih kompatibel sebagai penyebutan suatu keadaan ontologis yang kompleks, dan berbeda dengan istilah-istilah klaim ontologis lain entah itu metafisik, conatus, libidinal, atau formulasi yang diklaim oleh “begawan-begawan” ontologi yang masih terjebak oleh paradigma biner maupun universal, semacam realis dan anti-realis, kontinental dan analitik, romantik dan tragik, imperatif-kategoris, dan seterusnya.

Pada tulisan ini pula, saya akan sering menggunakan term “kebertubuhan” tersebut untuk menguliti atau menelisik sesuatu yang menimbulkan suatu gerak atau praksis yang diterapkan oleh suatu subjek yang terteritorialisasi (meminjam term Deleuze), yang dalam hal ini ialah praksis paradigma feminisme (tentunya pembahasan paradigmatik secara singkat).

Jadi, alur dalam tulisan ini adalah; Pertama, saya akan memberi sedikit kritik konseptual (catatan hipotesis) untuk paradigma feminis (paradigma dalam arti idea fixed yang berkembang di kalangan diskursus gender, entah itu ditataran teori maupun praksis). Kedua, menguak bermacam contoh landasan ontologis timbulnya subjek yang mengklaim dirinya pendukung keadilan gender, namun pada nyatanya (secara teori pun praksis) ia tidak mendukung keadilan gender, melainkan mendukung sentimen personalnya sendiri, mendukung pola berpikirnya sendiri yang oposisioner tanpa jernih melihat fenomena faktual (berujung misandris, misoginis, dst), mendukung glorifikasi dan pengkultusan gender sepihak (matriarki, kripto-matriarki maupun kripto-patriarki, dst), dan seterusnya. Ketiga, saya akan mulai menelisik soal terminologi feminisme beserta utilitasnya terhadap kelangsungan sosiologis kita.

Implikasi Diskursus Gender dan Relevansi Diskursus Ontologi.
Bagi saya, diskursus gender hanyalah berupa dialektika tukar-tambah “keterlemparan-kebertubuhan” dari berbagai subjek entah itu subjek yang berangkat dari argumen yang bercorak silogisme dan empiris, atau dari kepentingan reaksi sentimen belaka. Jadi, saya sama sekali tidak tertarik membahas topik tersebut dari kacamata historis diskursus gender entah itu dari periode diskursus gender gelombang pertama sampai gelombang keempat (kontemporer). Saya lebih tertarik membahasnya dari kaca mata ontologis, sebab setiap da-sein mempunyai selubung keunikannya masing-masing dalam “keterlemparan-keberketubuhan” (meminjam term ontologis para "begawan" Stirnerite-Nietzschean), entah itu feminin, maskulin, dan berbagai gender seterusnya. Hal macam ini agaknya juga disepakati oleh “begawan” post-feminism/lebih kompatibelnya ialah post-structuralism sekaliber Alyson Escalante (dengan magnum opusnya berjudul Penghapusan-Gender/Gender-Abolition).

Mengapa demikian?, sebab bagi saya, jika term gender merupakan kata sifat untuk katakanlah mewakili subjek, maka otomatis term gender tersebut menjadi term yang sangat abstrak bila kita implikasikan kepada suatu subjek, lantaran bagi saya, suatu ekspresi atau variabel-variabel yang diproduksi oleh suatu subjek tidaklah bisa direduksi menjadi suatu sifat yang menyelubunginya tanpa membongkar ke-diri-an sang subjek dibalik selubung varibel-variabel, jika dilihat dari kaca mata “rumah-kemenjadian” ala Deleuze dan Heidegger. Dan para “begawan” post-feminist/lebih kompatibelnya ialah post-structuralism sekaliber Dora Marsden (editor New Freewomen, advokat untuk perempuan sepanjang hayatnya, disamping kritikus suffragisme dan feminisme tanpa henti), Emma Goldman (penulis anti-hierarki yang terinspirasi dari Stirner dan Nietzsche), Alyson Escalante, dan seterusnya, juga akan sepakat dengan ini.

Dengan kata lain, jika kita bicara soal subjek, maka kita bicara soal suatu “kebertubuhan” yang teramat kompleks sekaligus dinamis sesuai autentikasi “keterlemparan-kebertubuhan”, temporal dan spasial, sehingga tidak bisa dilekatkan predikat-predikat yang bersifat reduksionis bahkan dikotomis, trikotomis atau seterusnya. Jadi, bagi saya, lebih relevan membawa diskursus gender menjadi diskursus ontologi, dibandingkan sekedar berkutat ditataran epistemologis dan aksiologis antara ketimpangan, dominasi, maupun subordinasi salah satu gender dengan gender lainnya, mau itu dari tataran segi diskrepansi upah secara ekonomi, ketidakadilan sosio-politis, ketidakadilan habitus secara fisio-psikis, maupun ketidakadilan sekaligus ketidakpersamaan hak (index equality injustice) seterusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun