Mohon tunggu...
M Iqbal M
M Iqbal M Mohon Tunggu... Seniman - Art Consciousness, Writter, and Design Illustrator.

Kontak saya di Instagram: @mochmad.iqbal.m

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Membayangkan Kehidupan Skala Kecil dengan Peralatan Sabotase Ontologis (Bagian 1)

25 Juli 2021   01:30 Diperbarui: 25 Juli 2021   12:46 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh: M.Iqbal.M

Sulitnya Genealogi Personal yang Hidup Ditengah Tradisi Komunal.

Salah satu cara menentramkan (kosmos) dunia ialah mengurangi manusia, dan menggiatkan pendidikan seefisien dan sefektif mungkin, sehingga yang ada ialah masyarakat manusia berskala kecil yang berkualitas. 

Dan pendidikan tersebut harus erat dengan diskursus ontologis yang tidak statis. Sehingga manusia dapat mengetahui betapa dinamis dan carut-marutnya dunia ketika manusia tidak memasuki ruang-ruang hening dan asketis yang merupakan salah satu unsur diskursif kedalaman ontologis.

 

Bisa dikatakan bahwa uraian determinis (lebih tepatnya sebuah peninjauan secara "sistem penutup" dalam korpus Roy Bhaskar;1976) saya diatas menyiratkan kesimpulan bahwa regenerasi ialah tindakan tradisi yang dijalankan oleh orang-orang yang berkebalikan dengan apa yang telah saya sebut diatas; orang-orang yang entah memang sudah tercuci prinsipnya oleh tradisi.

Orang-orang yang tidak mempunyai keberanian untuk menerima konsekuensi penderitaan-isolatif (boleh dikata anomie) akibat telah bertindak sebaliknya terhadap tradisi, maupun orang-orang yang terpaksa menjalankan tradisi lantaran tidak mengetahui alternatif lain untuk hidup tanpa tradisi tersebut.

Sedangkan, orang-orang yang hendak melakukan transvaluasi nilai, sabotase mikro-ontologis, atau geneaologi hegemoni ideologi komunal yang diteritorialisasi kepada individu-individu,-yang notabene berskala kecil-seringkali mendapat tekanan yang hebat oleh masyarakat komunal yang lekat dengan regenerasi dekadensif. Sehingga individu-individu yang berskala kecil tersebut tidak mempunyai kekuatan untuk menangkis tekanan (teritorialisasi-reteritorialisasi) yang dipaksakan (kerap kali dilakukan secara halus dan buram) oleh masyarakat komunal tersebut.

Padahal jika kita berpikir secara subjek (baca: kebertubuhan dalam terminologi hermeneutik ala Nietzschean) deteritorial sekaligus historis mengenai regenerasi dan kuantitas spesies manusia, kita dapat mengetahui bahwa historisitas regenerasi dari era primitif merupakan upaya spesies manusia yang secara nature masih berskala kecil untuk menguatkan koloninya agar bisa bertahan hidup ditengah ganasnya belantara. Itu sebabnya spesies manusia meregenerasi dirinya hingga menjadi sebuah culture. Dan itu artinya, tradisi regenerasi merupakan tradisi yang erat dengan unsur epistemologis daripada unsur etiks-ontologis.

Dengan demikian, anggapan masyarakat komunal modern (pun primitif) mengenai kewajiban tradisi regenerasi serta keputusan-keputusan ontologi bisa dikatakan sebagai anggapan yang ahistoris dan serampangan, bahkan tidak bermoral apalagi bila ditinjau secara holistik semacam penyelidikan dari Benatar dengan formula asimetrisnya. 

Sebab, era modern ialah era spesies manusia skala besar dengan segala macam meta-narasi dan simulakrumnya yang ketika regenerasi dijalankan terus-menerus apalagi dengan kualitas ontologis yang jauh dari ruang-ruang hening dan asketis--- atau bahkan sekedar hidup bermodal epistemologis (Zuhandenes) entah itu menggunakan peralatan antroposentris maupun theosentris--- maka ketentraman biosfer hidup seluruh manusia tidak akan bisa tercapai atau setidaknya akan sangat sukar diwujudkan sekalipun telah disiasati sedemikian rupa.

Lucunya lagi, orang-orang yang mendaku sebagai pegiat seni/budaya (dalam tanda kutip) ataupun aktivis pergerakan (percaya dengan predikat aktivisme, patron dan gerakan sosial humanisme universal) dan berteriak revolusi komunal secara makropolitik-dasman hanyalah merupakan sebuah bualan tukar-tambah hasrat atau birahi yang menjadi modal mereka untuk menghidupi banyaknya variabel keremeh-temehan optimistik-ontologis beserta rokok dan alkohol yang mereka tenteng ditambah dengan vitalitas-sensual upahan dari para feminis dan groupis (dalam tanda kutip maupun tidak dalam tanda kutip yang tidak memperhatikan temporisasi-komunikasi), lalu percaya diri bahwa gaya hidupnya berbeda dari standar orang pada umumnya, serta melakukan provokasi massa untuk membenci makro-birokrasi sebagai makanan hariannya sembari teteap menjalankan sikap dekaden.

Dalam hal ini, sebuah pengakuan atau predikat yang berkaitan dengan terminologi sosiologis semacam tadi tidak melulu timbul dari dorongan diri atas pemenuhan terhadap kesenangan ontologis, melainkan juga bisa timbul dari dorongan sosial-komunal yang  mengkonstruk prinsip orang-orang teritorial-reteritorial tersebut, hingga mereka menormalisasi dan menganggap tindakan-tindakan yang mereka lakukan itu relevan diterapkan ditengah masyarakat secara ontologis-komunal, dengn kata lain; bagi yang tetap bersikap komunalis sekaligus bersembunyi dibalik kekuatan komunalisme akan sulit untuk melakukan evaluasi atau keluar dari logika komunal yang dekaden. Singkatnya, antagonisme The Other yang diproduksi komunal akan kembali bermuara kepada horizon arena komunal yang sudah menjadi doxa the real (meminjam term Bordieu dan Zizek), kondisi inilah yang saya menyebutnya dengan istilah  sirkulasi moda produksi antagonisme komunal (entah itu kodifikasi moda produksi watak-watak fasistik, komunistik, maupun sosialistik sekalipun).

Genealogi Subjek dan Spiritus yang Melampaui Entitas Dikotomik.

Kendati uraian saya diparagraf-paragraf sebelumnya cenderung deterministik, tapi saya tidaklah sepakat dengan determinisme ataupun freewill, saya sepakat dengan konsep kompatibilis Whitehead yang melihat sesuatu tidak secara dikotomis. Sebab secara ontologi, ketentraman manusia tidak ditentukan oleh dikotomi, melainkan oleh unsur spiritus yang akan muncul dari sehat atau tidaknya metode determinisme atau freewill sekalipun.

Konsep spiritus inilah yang menjadi jawaban sintesis dari kewajiban dikotomik-paradoksal yang ditemukan oleh para begawan post-modernisme; dengan cara memadukan kedalaman imajiner sesosok subjek deteritorial dengan keketatan dan kerapian metode yang bersifat matematis. Konsep spiritus inilah yang akan melampaui dinamika probematik dari pelbagai varibale dikotomik sekaligus abusrditas-paradoksal. Dan munculnya konsep ini untuk pertama kalinya dan cukup konkrit bisa kita runut dan telisik dari korpus post-metafisik yang disusun oleh begawan bernama Haidegger.

Perlu diketahui bahwa teramat besar ketidak sepakatan saya dengan komunisme atau atom-atom dari isme-isme lainnya--- seperti halnya proyek Foucaultian---, namun jika dalam diskursus filsafati wajar untuk dikatakan bahwa tidak ada marxisme yang an sich, maka saya bisa menafsir marxisme menjadi semacam narasi post-ideologis yang mutakhir terlepas dari terminologi komunisme utopis ala marx, ala primitifis, dan seterusnya, seperti yang mencoba ditilik oleh penulis buku Marxisme Seni Pembebasan.

Saya mulai dari Manuskrip Paris, Marx menyebut kepemilikan privat membuat orang "begitu dungu dan satu sisi" karena menganggap sebuah "komoditi" hanya jadi bagian dari diri kita bila kita langsung memilikinya--- entah ketika ia jadi modal kita maupun ketika langsung memakannya, meminumnya, mengenakannya, menghuninya. Pendek kata, bila ia kita pergunakan. Dalam proses itu, seluruh hasrat kapasitas manusia, seluruh kesadaran dan perasaannya, digantikan dan jadi asing oleh kesadaran akan "punya".

Maka, membebaskan diri dari hubungan milik yang eksklusif dan kekuasaan itulah sebenarnya tujuan komunisme. Marx melihat komunisme sebagai "tindakan mengatasi secara positif kepemilikan privat". kata "positive Aufhebung", yang dalam bahasa Inggris seing diterjemahkan sebagai "positivie transcendence", tidak mengacu ke pembasmian atau peniadaan. Ia mengacu kepada suatu laku yang mengambil jarak yang cukup dari, atau mengatasi, "komoditi" sebagai objek kekuasaan. Atau kepada kekuasaan itu sendiri.

Namun suatu jarak tersebut  menurut saya masihlah abstrak sebab tanpa upaya pencarian akan spiritus mikro-ontologis, maka setiap "jarak" atau berbagai macam relasi akan tetap bersifat destruktif dan serampangan. Singkatnya, kita membutuhkan penyingkapan diri dari selubung atomisme-atomisme kodifikasi dekaden yang sudah sedemikian rupa diproduksi sekaligus dihidupi oleh masyarakat-komunal.

Dengan penafsiran dekonstruktif diatas dan penambahan saya, maka saya dapat memunculkan diktum; adalah marxis untuk tidak lagi menjadi marxis, adalah komunis untuk tidak lagi menjadi komunis. Dan dengan demikian, seperti halnya Stirner, Marx sesungguhnya tidak memulai proyek ontologinya hanya dari basis yang menentukan superstruktur---atau overdeterministik yang dikemukakan oleh Althusser---melainkan Marx hendak menelisik variabel-variabel lain yang mendasari adanya basis dan superstruktur. Tafsiran semacam inilah yang oleh Bhaskar disebut sebagai "sistem tertutup" dan "sistem terbuka" dalam membicarakan perihal ontologi Marx.

Itu artinya, paradigma Marx dapat kita lihat bukan sebagai pelopor katarsisme tertentu sehingga perlu memberikan kultus kepada satu tokoh atau ideologi apapun, sebab yang terpenting ialah spiritus asketis yang autentik dengan "kebertubuhan" sebagai sintesis "berada-di-dunia" dari segala macam nilai-nilai imanen maupun transenden tanpa terkungkung oleh pemakaian praktis-instan atas instrumen bau terasi semacam naturalisme-antroposentris maupun idealisme-theosentris (baca: "spooks" dalam term Stirner).

Dan semacam inilah yang membuat saya sepakat dengan komentar-komentar Lewiss Call terhadap para begawan post-strukturalis seperti Foucault yang hendak mengkritisi rasio atau irasio dalam elaborasinya mengenai korpus post-modern non-hierarkis, ataupun seperti Derrida yang sangat berkontradiksi dengan korpus Cartesian sehingga ia mempostulatkan metode differance untuk mengantisipasi timbulnya kepercayaan semu terhadap keagungan subjek universal. Dengan kata lain, spiritus ialah perwujudan cair dari dari kekakuan rasio pun kekakuan irasio, materi pun imateri, yang akan menghantarkan manusia kepada ketentraman yang autentik secara berkelanjutan.

Tentu saja, ketentraman yang saya maksud ialah sebuah kosmos intersubjek. Namun tentunya pula kosmos tersebut tidak akan bisa tercipta atau sukar terealisasi apabila kita semua tidak merenungi sekaligus mencecapi genealogi individu skala kecil serta ontologi asketistik sebagai pembuka gerbang menuju kedalaman relung-relung spiritus yang menentramkan, atau melakukan sabotase mikro-ontologis yang autentik dengan unsur-unsur spiritus tersebut bila memang sangat diperlukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun