Seandainya ketika itu, Sukarno dkk., tidak memedulikan persoalan identitas rakyatnya sebagai pribumi yang tertindas mungkin bangsa Indonesia tidak pernah ada dan merdeka.
Artinya, politik identitas itu adalah segala atribut yang disematkan kepada suatu golongan politik dan atau gerakan sosial untuk membedakan ia dengan yang lain diluar dirinya.
Bukan gerakan yang digunakan untuk meluapkan kebencian.
Justru tanpa identitas, gerakan itu tidak dikenali atau bahkan bisa saja tak punya tujuan yang jelas. Karena yang tak beridentitas itu hanyalah gerombolan.
Semenjak kontestasi politik di pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun 2017, khususnya di DKI Jakarta yang dimenangkan oleh pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dengan partai pengusung koalisi Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), pembicaraan tentang politik identitas mengemuka ke publik, bahkan hingga hari ini.
Mereka dianggap memainkan 'politik identitas', sehingga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful serta pasangan Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni ketika itu kalah.
Semakin meruncing saat pemilihan presiden (pilpres) 2019 di mana Joko Widodo dan Ma'ruf Amin menang mengalahkan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Lantas, kok bisa para pendukung mereka yang kalah menuding mereka yang menang menggunakan politik identitas? lalu politik identitas sebagai biang keladi kekalahan?
Berawal dari ketidakpuasan itulah, wacana politik identitas terus bergulir dan dipahami sebagai ajang adu kekuatan untuk menggebuk lawan politik yang memiliki identitas berbeda.
Alih-alih perbedaan pandangan secara ideologis justru jadi alat membenci etnis dan agama tertentu, sehingga yang terjadi adalah 'perang' antar agama dan etnis yang berbeda.
Maka tidak heran, pernyataan 'kadrun', 'kampret', 'cebong' hingga 'ayat dan mayat' bertebaran di ruang publik dan dirawat sampai hari ini.
Mereka yang tak terlibat dukung-mendukung justru kena imbas dari praktek kotor para pengusung kebencian ini.