Meskipun hanya merupakan kesepakatan dan bentuk pernyataan sikap dari kedua puluh dua tokoh nasional dan bukan merupakan organisasi, MANIKEBU memiliki pengaruh yang dapat dikatakan besar bagi keseimbangan poros paham dunia seni dan sastra di Indonesia.Â
Naskah ketikan Wiratmo Soekito yang dibawa oleh Goenawan Mohamad dalam diskusi dan sidang yang ia pimpin ini mampu mengubah kiblat seni dan sastra yang sebelumnya berporos kiri menjadi seimbang kembali dan hal ini tentu bukan hal yang diinginkan oleh LEKRA.
Oleh karena itu, para sastrawan yang berafiliasi dengan LEKRA pun mulai menyerang para penandatangan naskah MANIKEBU. Goenawan Mohamad tidak lagi dapat menggunakan nama dirinya untuk menulis karya, H.B. Jassin dipecat dari jabatannya sebagai dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI). Bahkan, Presiden Soekarno pun pernah menyebut MANIKEBU sebagai manikebo atau sperma kerbau.
Kondisi ini bertahan sekitar dua tahun. Persaingan para sastrawan LEKRA dan MANIKEBU terus berlanjut hingga adanya Gerakan 30 September 1965 (G30S) yang dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Keporakporandaan PKI pada tahun itu juga membuat LEKRA melemah dan MANIKEBU menguat.Â
Posisi dan keadaan saat itu cukup terbalik dari yang terjadi pada 1963. Orang-orang yang terkait dengan PKI ditangkap, dibuang, dan dibunuh. Para tokoh LEKRA juga mendapatkan perlakuan yang sama, seperti Pramoedya Ananta Toer yang dibuang ke Pulau Buru bersama ribuan orang lainnya.Â
Situasi politik yang berbalik ini membuat Goenawan Mohamad dan para sastrawan MANIKEBU memiliki kekuatan yang lebih tinggi jika dibanding dengan LEKRA. Kendati demikian, GM dan tokoh-tokoh MANIKEBU lainnya tak serta merta 'membalaskan dendamnya' akan persekusi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh LEKRA.Â
GM justru menampung beberapa penulis eks tapol di majalah yang dia pimpin. Ia mengatakan bahwa MANIKEBU adalah pernyataan sikap yang dilakukan untuk memperbaiki esensi nyawa dari seni dan sastra. Maka dari itu tidak perlu ada pembalasan dan semacamnya, terlepas dari konsekuensi yang selama ini telah ia terima.
Goenawan Mohamad dan para tokoh MANIKEBU lebih berfokus untuk menjaga 'kesehatan' seni dan sastra serta mengawal dunia kesusasteraan Indonesia.Â
Hingga saat ini GM masih aktif dalam menulis dan meng-influence para penulis dan budayawan muda. Kegigihannya dalam menjaga nilai yang ia tanam terus-menerus ia buktikan.
Keterbukaanya pada kemajuan dan globalisasi juga membuatnya makin dikenal dan diperhitungkan. Bahkan, pada tahun 2015 ia ditunjuk menjadi pembicara dalam konferensi pers Frankfurt Book Fair di Jerman dan Director of the Guest of Honor Committee untuk FBF yang akan dilakukan di Indonesia pada tahun yang sama.Â