Mohon tunggu...
MOCHAMAD ROZIKIN
MOCHAMAD ROZIKIN Mohon Tunggu... Human Resources - Senior Staff Human Resources and General Affair

Saya sedang giat menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Sendu

29 Oktober 2023   18:00 Diperbarui: 29 Oktober 2023   18:09 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tahu itu akan memudahkan pekerjaanya karena tidak harus mencari dua tempat tinggal dalam satu waktu. Aku langsung setuju saja. Begitu juga dengan Teguh yang menjawab dengan mengangguk beberapa kali. Dia terlihat kalem dan sopan. Sepertinya kami akan cocok jika menjadi teman seperjuangan sampai empat tahun mendatang. Akhirnya dibawalah kami menuju sebuah apartemen tak jauh dari kampus, setelah staff kampus Bernama Nisida tersebut mengajak kami makan di restoran Jepang. Tentu saja dengan makanannya yang tak bisa tercerna dengan baik di dalam lambungku.

Aku selalu mengingat pesan Bapak dan Ibu. Jadilah baik di mana pun kita berada. Begitu kan? Jika aku tidak salah. Hari pertamaku jauh dari rumah berjalan dengan baik meski aku terus mengepalkan kedua tanganku yang dingin karena sangat gugup. Bagaimana dengan kalian? Bagaimana rasanya hari pertama tanpa anak bungsu di rumah? Aku baru menyadari ketika langkah kita tak searah dan kian menjauh.

 Lambaian tangan Ibu terus menjadi pusat pandanganku hingga pintu pengecekan imigrasi menjadi penghalangnya. Rasanya ingin sekali membatalkan penerbangan kala itu dan berlari mengejar kalian. Aku ingin sekali pulang dan membiarkan diriku tak pernah menjadi apa pun, asal aku bisa selamanya bersama kalian di rumah, hidup dengan sederhana penuh kasih sayang.

"Bagaimana aku bisa hidup tanpa kalian di rumah ini?" Aku teringat kata-kata ibu pada malam Idul Fitri ketika aku berusia delapan atau sembilan tahun. Saat itu Bapak belum pulang dari masjid. Ibu membuka lengan kiri untuk kujadikan bantal dan lengan kanan untuk Mbak Alya. Tak peduli sepanjang apa malam akan berlalu asalkan lengan ibu kujadikan sandaran kepala. Sekarang aku merindukan malam-malam panjang ditemani bulan sabit paling terang di jagat raya ini. Rasanya, ingin sekali kembali pada masa kanak-kanak yang selalu dekat denganmu, Ibu. Di rumah kita yang tak terlalu luas tapi lebih nyaman dari tempat mana pun di seluruh dunia. Begitu katamu lagi padaku dan Mbak Alya untuk selalu bersyukur dengan apa yang kita miliki.

Apartemenku cukup luas untuk ditinggali dua orang. Seluas ruang tengah kita di rumah, tapi dibagi untuk kamar, dapur, kamar mandi, dan toilet. Kasurku empuk berisi bulu angsa asli dan bukan kapuk seperti milik kita di rumah. Teguh tidur di atasku. Ranjang susun dengan kerangka besi ini sudah ada di sini sejak kami datang. Kata Pak Nisida yang mengantarkan kami, mungkin saja itu milik penghuni lama yang sudah lulus dan pulang ke negaranya. Jadi kami tak perlu membeli ranjang baru. Tapi bukan itu yang jadi perhatianku, aku ingin segera lulus seperti orang yang meninggalkan ranjang ini dan pulang ke negaraku, ke rumah kita tentu saja. Dengan membawa apa pun yang aku dapatkan selama hidup di sini.

Aku masih sangat ingat, Bapak mengantarkanku dengan sepeda di hari pertama aku masuk SMP melewati persawahan yang membentang hingga ke ujung kaki bukit barisan yang menghalang-halangi gunung di belakangnya. Bapak menyapa siapa saja yang kami lewati sepanjang perjalanan menuju sekolah baruku. Mbak Alya yang sudah duduk di bangku SMA menyusul dengan sepedanya di belakang, dia mengayuh sambil berdiri agar bisa mengejar aku dan Bapak dengan terus menggodaku dari belakang. Tawa lepas kami terbang dibawa angin sejuk pagi hari.

Aku juga pergi dengan sepeda dari apartemen ke kampus, bedanya tak ada Bapak dan Mbak Alya. Aku dan Teguh selalu saling menunggu jika jadwal belajar kami sama. Dia juga orang yang tertutup dan tak memiliki banyak kawan di sini, hampir sama denganku meski aku sedikit lebih berwarna. Dalam perjalanan menuju kampus, aku melewati jalan besar enam lajur dan dua lajur sepeda di sisi kanan dan kirinya dengan bangunan pertokoan, supermarket, kantor pos, dan perkantoran berbaris di sepanjang tepi jalan. Setelah melewati empat lampu merah dan belok ke kanan, aku masuk jalanan yang lebih kecil dengan barisan kuil berwarna jingga menyala atau merah padam. Kampusku ada di ujung jalan, berwarna ungu gelap dengan tulisan kanji yang artinya "Universitas Kyoto". Bapak sama Ibu, bangga kan? Aku menjadi salah satu mahasiswa Internasional di sini.

Tahukah kalian, banyak hal yang aku pelajari dari orang-orang Jepang tentang adab yang di Indonesia rasanya belum pernah terjadi, atau hanya sebagian kecilnya saja bisa terjadi. Di sini, tak ada orang membuang sampah sembarangan sehingga semua tempat terlihat bersih dan rapi sementara di Indonesia seakan semua tempat adalah tempat sampah. 

Teguh adalah seorang pelupa, suatu hari dia meninggalkan dompetnya di sebuah kasir robot di supermarket. Lalu beberapa hari setelahnya dompet tersebut kembali ke apartemen kami seakan dia kucing peliharaan yang tahu di mana rumah pemiliknya. Dan dengan isi yang masih lengkap seperti saat Teguh meninggalkan dompetnya, termasuk uang. Seseorang yang menemukan dompet itu mengirimkannya melalui pos. Apa menurut kalian itu akan terjadi di Indonesia? Sepertinya tidak akan pernah. 

Satu hal lagi, selain orang-orang sangat tertib dalam menunggu antrian, mobil yang berbaris rapi juga sangat tertib menunggu tanpa menyalip atau membunyikan klakson. Aku sangat kagum dan menyukai budaya mereka hingga aku pernah menatap tanpa berkedip, melihat barisan mobil menunggu antrean lampu merah seakan ada seseorang yang menyusun barisannya. 

Ibu sangat menyukai musim kemarau karena bisa membuat kerupuk sendiri dari nasi sisa semalam. Kata Ibu, kerupuk nasi terasa enak jika ditumbuk dan dijemur sendiri, kau tahu kenapa? Karena kau merasakan sendiri setiap langkah dari sebuah nasi sisa menjadi kerupuk yang renyah. Aku juga sering menemani ibu di teras, menunggu nasi tumbuk yang dicampur ragi dijemur agar tidak menjadi santapan ayam-ayam di kampung. Kadang aku memberi tanda dengan daun bawang pada sekeping kerupuk yang hampir kering dan mencarinya lagi setelah digoreng. Itu sangat mengesankan. Seperti menemukan jarum di antara jerami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun