Sebelum mentari tumbuh menerangi harapan pagi, Stasiun Pasar Minggu sudah lebih dulu hidup dari pada-nya. Manusia dari berbagai penjuru sudut Jakarta Selatan sudah memadati peron arah Jakarta Kota, dan lebih lenggang di peron arah Bogor. Tahukah kau ke mana mereka akan pergi? Pikiranku sering sekali melayang memikirkan ke mana tujuan orang-orang hingga memadati kereta yang melintas sepuluh menit sekali, bahkan masih terus padat hingga matahari telah membakar hari.
Aku sendiri, setiap pagi bersama mereka. Menjadi sebiji jagung dalam kaleng popcorn yang tumpah ruah. Tujuanku adalah tempat kerja yang memberiku kehidupan meski tak membuatku kaya. Beberapa kali aku mencoba mengubah waktu keberangkatanku, dari sangat pagi sampai menjelang siang. Dan sama saja, KAI Commuter masih dipadati dengan manusia yang sedang menebus takdir sehari-harinya di sana. Menjemput rizki mereka, bahkan masa depan yang terus mendekat setiap detik.
Dalam perjalanan singgah di stasiun demi stasiun, dalam proses mencari posisi paling nyaman di antara sesaknya manusia, mataku singgah menyambangi perwujudan para manusia di dalamnya. Pikiranku menjawab sendiri tanpa perlu pembenaran tentang kebenarannya.
Ada seorang dengan pakaian sangat rapi enggan berdesakan dan memilih bersandar di ujung pintu, barang kali dia sedang menuju sebuah tempat yang mengundangnya untuk seleksi sebuah pekerjaan setelah sekian lama dia menganggur atau mendapat banyak penolakan. Aku berdoa semoga dia bisa melewati semua tahapan seleksinya.
Seorang lagi membebankan tubuhnya pada kedua tangan yang digantung pada Hand Strap seakan harapan telah hilang darinya. Jika dia telah melakukan kesalahan dalam pekerjaannya kemarin sehingga membuat karirnya terancam, aku harap kesempatan kedua datang padanya.
Beberapa orang tak ingin terpisah dari lainnya dan terus Saling berbisik seakan padatnya KAI Commuter adalah tempat menyusun strategi. Mungkin saja mereka segrombolan orang yang telah mendapatkan pekerjaan idaman dengan rekan kerja satu frekuensi dan atasan yang baik. Semoga mereka selalu menikmati hari-hari yang indah.
Seorang memakai kemeja biru tua lusuh dengan lengan digulung tertidur pulas di kursi paling ujung, kepalanya tersandar pada dinding kereta dan bergoyang mengikuti hentakkan jalannya KAI Commuter. Semoga saja dia bukan orang yang sedang melarikan diri dari rumah karena malu tak memiliki pekerjaan.
Sekumpulan anak sekolah juga sedang mengejar impian mereka bersama kami. Berdesakan di dalam rangkaian dengan memeluk tumpukan buku hingga tangannya tak bisa lagi berpegangan. Semoga impian mereka segera terwujud.
Bapak-bapak paruh baya dengan gulungan besar berwarna hitam yang dia panggul dari stasiun hingga ke dalam kereta. Dia tak hanya sedang memanggul dagangannya, namun juga memikul tanggung jawab keluarganya. Semoga apa pun isi dagangannya, bisa laku keras dan kembali memberi harapan keluarga.
Itu hanya sebagian kecil bukan? Masih banyak beribu manusia lainnya. Yang melaju bersama KAI Commuter untuk menebus takdir mereka setiap hari.
Saat akhir pekan tiba, aku masih pergi menuju Stasiun Pasar Minggu. Tidak untuk pergi bekerja tentu saja. Aku sering menghabiskan waktu di Perpustakaan Kota atau dengan sengaja ingin melamun di dalam kereta yang sangat nyaman saat ditinggalkan para pekerja.
Dalam perjalanan akhir pekanku di dalam KAI Commuter menuju Jakarta Kota atau Bogor, aku melihat cerita yang berbeda. Aku selalu memasang earphone dan memutar lagu-lagu favoritku untuk membayangkannya.
Pasangan muda sedang mengenalkan kereta pada anaknya yang baru berusia tiga atau empat tahun. Menunjuk pemandangan sepanjang jalan agar anaknya bersuka ria.
Seorang perempuan membawa beberapa tas berisi penuh. Sepertinya dia dalam perjalanan menuju pulang. Seorang perantau dari pinggiran Jakarta yang merindukan masakan ibunya, atau sekedar ingin bermalam di kamarnya yang telah lama dia tinggalkan semenjak bekerja di Ibu Kota.
Sepasang remaja dimabuk cinta duduk sangat dekat saling menggenggam tangan. Sepertinya mereka takut kereta akan terbelah dan memisahkan mereka di antara dua sisi yang berbeda atau mereka takut kekasihnya akan berpaling ketika melihat orang lain di dalam kereta.
Beberapa pemuda dengan gaya kasual pergi menuju Bogor. Aku tahu, mereka sedang dalam perjalanan liburan. KAI Commuter tentu saja menjadi pilihan transportasi yang tepat karena murah dan cepat. Mereka akan sampai tepat waktu dan menikmati lebih banyak waktu luang.
Seseorang sedang mengusap pundak temannya yang duduk menunduk berpegangan pada koper besar di hadapannya. Barangkali dia telah memutuskan untuk meninggalkan Ibu Kota karena suatu alasan. Semoga keputusannya adalah yang terbaik.
Aku sendiri, menikmati setiap perjalananku di dalamnya, dan menjadi bagian darinya. Saat sunyi dan tenang, atau saat riuh dan padat. Kadang aku menjadi lebih tenang dari kegelisahan hidupku karena aku merasa tak sendirian. Ribuan orang bersamaku sedang memperjuangkan hidup masing-masing. Setiap hari, kami menebus takdir kami sendiri dengan berusaha keras.
Dalam perjalanannya, kereta selalu berhenti pada sebuah stasiun yang dilewatinya. Saat itu, orang-orang bergantian turun dan naik. Saat itu pula, orang telah menyelesaikan perjalanannya dan memulai perjalanan baru. Begitu juga denganku, aku selalu yakin dengan apa yang akan kulalui di depan. Karena aku dan kita semua, lebih hebat dari apa yang kita pikirkan.
Salam dariku pejuang kereta Ibu Kota. KAI Commuter, untuk manusia-manusia di dalam Kereta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H