Mohon tunggu...
MOCHSALMAN AL FAUZI
MOCHSALMAN AL FAUZI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ganteng Kali

Ganteng Banget

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Runtuhnya dari Beberapa Kendala dan Krisis Ekonomi yang Dihadapi oleh Yugoslavia

17 Desember 2021   00:02 Diperbarui: 17 Desember 2021   00:09 3761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Runtuhnya Yugoslavia tidak bisa dihapus dari kematian Presiden Joseph Broz Tito. Dalam buku "European History: From Ancient Europe to Modern Europe" (2012) karya Wahjudi Djaja, Josep Broz Tito adalah sosok yang mampu menandingi Pemimpin Yugoslavia yang naik ke puncak kejayaan. 

Selama pemerintahan Broz Tito, Yugoslavia menjadi negara yang kuat tanpa bantuan blok Barat atau Timur. Lebih tepatnya, salah satu kejatuhan Yugoslavia adalah krisis ekonominya, sehingga ada beberapa sumber yang mendukungnya.(Henri, 2018)

Harga komoditas berlipat ganda setiap 34 jam. Runtuhnya kepemimpinan Soviet juga melemahkan peran internasional Yugoslavia, Yugoslavia dulunya merupakan peserta geopolitik penting di Barat dan Timur. 

Perang multietnis Bosnia dan Herzegovina di Yugoslavia meninggalkan bekas berupa krisis politik dan ekonomi yang berkepanjangan. Salah satu dampaknya adalah hiperinflasi terparah sepanjang sejarah.

Disintegrasi Uni Soviet menyebabkan penurunan peran internasional Yugoslavia sebagai pemain kunci yang menghubungkan Timur dan Barat. Partai Komunis Yugoslavia yang berkuasa juga berada di bawah tekanan. Kondisi tersebut menyebabkan terpecahnya Yugoslavia menjadi beberapa suku bangsa. Selain itu, perang yang melibatkan berbagai entitas politik telah terjadi selama bertahun-tahun.(Henri, 2018)

Dalam proses pembagian, perdagangan antara bekas Yugoslavia runtuh, dan kemudian sektor industri turun tajam. Pada saat yang sama, embargo internasional memukul ekspor Yugoslavia dan membuat sektor ekspornya berantakan. 

Dibandingkan dengan negara-negara terpecah lainnya seperti Serbia dan Kroasia, Republik Federal Yugoslavia yang baru dibentuk mempertahankan sebagian besar birokrasi yang membengkak yang ada sebelum pembagian, yang menyebabkan defisit federal. Untuk mengurangi defisit, Bank Sentral Yugoslavia kehilangan kendali atas pencetakan uang dan menyebabkan hiperinflasi.

Untuk mengatasi defisit anggaran Yugoslavia, pemerintah terus mencetak uang untuk mendanai tingkat inflasi tahunan hingga 25%. Ini memungkinkan pemerintah untuk terus mengandalkan pencetakan uang untuk mendanai operasi keuangan negara. 

Pencetakan uang yang tidak terkendali akhirnya menyebabkan hiperinflasi. Untuk mengatasi hiperinflasi yang semakin memburuk, pemerintah kemudian menciptakan serangkaian toko rantai yang menjual barang-barang murah.

Sayangnya, apa yang dibutuhkan masyarakat sulit ditemukan di sana. Bahkan beberapa SPBU milik pemerintah ditutup dan hanya bisa digunakan di tempat-tempat tertentu. Karena mahalnya harga bahan bakar pada saat itu, banyak pemilik mobil memutuskan untuk menggunakan transportasi umum. Namun, hanya tersisa 500 dari 1.200 bus yang beroperasi normal.

Bus yang ada tidak sesuai dengan kapasitas penumpang yang tersedia serta tidak sesuai dengan ekspetasi. Tak hanya kendaraan pribadi saja, truk pengiriman, ambulan, mobil pemadam kebakaran dan mobil pemungut sampah juga tidak mendapatkan bahan bakar yang disediakan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun