Mohon tunggu...
Aly Taufiq
Aly Taufiq Mohon Tunggu... Guru - Pemuda biasa yang selalu bahagia

Pemuda biasa yang selalu bahagia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fenomena Politik Uang dan Keterlibatan Pemuda

9 Januari 2015   09:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:30 5191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

(Study Kasus Pada Pemilu Legislatif 2014 di Bojonegoro)

Oleh : Moch. Aly Taufiq, M.Si.


PENDAHULUAN

Sejak reformasi bergulir enam belas tahun silam, bangsa Indonesia terus berupaya menjaga stabilitas politik, salah satunya dengan mengadopsi sistem politik demokrasi. Meski diakui bukan sistem yang terbaik, demokrasi merupakan sistem yang paling cocok untuk diterapkan dalam negara modern dengan wilayah luas dan penduduk besar. Demokrasi juga diyakini sebagai sistem yang mampu menjaga keberagaman bangsa Indonesia.

Salah satu hal terpenting dalam proses demokrasi adalah proses transisi kepemimpinan, mulai dari kepala desa, bupati/walikota, gubernur, anggota legislatif, hingga presiden.

Dalam kurun waktu lima tahun, masyarakat Indonesia setidaknya melewati empat sampai lima kali pemilihan, yaitu pemilihan kepala desa, bupati/walikota, gubernur, anggota legislatif (DPRD II, DPRD I, DPR RI, dan DPD RI), dan presiden. Berarti selama lima tahun kita melaksanakan 501 kali pemilihan bupati/walikota, 34 kali pemilihan gubernur, dan satu kali pemilihan anggota legislatif dan presiden.

Pada setiap pelaksanaan pemilu negara harus “merogoh koceknya” dengan jumlah yang besar. Misalnya, pelaksanaan pemilihan bupati Tangerang menghabiskan dana Rp60 miliar (Joniansyah, 2012), pemilihan gubernur Jawa Timur Rp800 miliar (Jajeli, 2013), dan pilgub Jawa Tengah Rp746 miliar (Purniawan, 2012). Adapun pada Pemilu 2014 Kementerian Keuangan menganggarkan dana sebesar Rp16 triliun (Satyagraha, 2013).

Pemilihan bupati/walikota setidaknya rata-rata menghabiskan dana sebesar Rp25 miliar dan pemilihan gubernur Rp 500 miliar. Jika dana Rp 25 miliar itu dikalikan 505 kabupaten/kota dan Rp 500 miliar dikalikan 34 provinsi (Kemendagri, 2013), kemudian ditambah biaya Pemilu 2014 sebesar Rp16 triliun, maka dalam jangka waktu lima tahun rakyat harus membiayai pesta demokrasi sebesar Rp 45 triliun lebih.

Jumlah di atas belum termasuk biaya kampanye setiap calon yang jumlahnya tidak kalah besar. Sebagai gambaran, biaya kampanye calon presiden 2014 ditaksir mencapai Rp7 triliun (Rakyat Merdeka, 2013), sementara ongkos kampanye caleg DPR RI mencapai Rp10 miliar (Aco, 2013). Biaya kampanye calon gubernur Jawa Barat ditaksir mencapai Rp175 miliar (Amri, 2012), sedangkan calon gubernur Jawa Timur Rp750 Miliar (Radar Jatim, 2013). Adapun kebutuhan dana kampanye calon bupati Pacitan, Jawa Timur, diprediksi sebesar Rp7 miliar (Kawiyan, 2010). Jika setiap perhelatan pemilihan terdapat minimal dua calon, maka jumlah dana kempanye tersebut bisa jadi lebih besar dari anggaran penyelenggaraan pemilu itu sendiri. Berarti dalam jangka waktu lima tahun dana pemilu dan kampanye mencapai sekitar Rp100 triliun.

Dana besar itu mungkin tidak menjadi masalah jika pemilu diselenggarakan dengan jujur dan bebas dari kecurangan sehingga bisa menghasilkan pemimpin yang benar-benar berkualitas. Kenyataan berkata lain, Tidak semua pelaksanaan pemilu terbebas dari kecurangan (ICW, 2014). Kecurangan-kecurangan pemilu selalu didominasi politik uang (Solicha, 2014). Misalnya pada Pileg 2014, kecurangan terkait politik uang mendominasi (Indikator, 2014). Jumlahnya pada Pileg 2014 meningkat dua kali lipat dibandingkan sebelumnya (ICW, 2014).

Praktik politik uang sangat berbahaya bagi alam demokrasi di Indonesia (Dariyanto, 2014). Dengan demikian, praktik politik uang harus menjadi perhatian semua elemen bangsa. Maka tidak berlebihan jika politik uang dikatakan sebagai tema penting yang harus terus dikaji dan diteliti agar bisa ditemukan solusi.

Pada 9 April 2014, kita telah melaksanakan pemilihan anggota legislatif sebagai wujud implementasi sistem demokrasi kita. Namun sayang, pileg tersebut masih diwarnai banyak kecurangan. Pemantauan ICW (2014) di 15 provinsi menggambarkan masih maraknya pelanggaran berupa politik uang dalam Pemilu Legislatif 2014. Jumlahnya naik dua kali lipat dibandingkan Pemilu Legislatif 2009. Pemantauan yang dilakukan sejak 16 Maret 2014 terhitung sejak kampanye terbuka hingga hari-H pencoblosan 9 April 2014 itu menemukan 313 kasus kecurangan. Pemberian uang menempati posisi pertama dengan 104 kasus. Menyusul kemudian pemberian barang sebanyak 128 kasus, pemberian jasa 27 kasus, dan penggunaan sumber daya negara sebanyak 54 kasus.

Kecurangan pada Pemilu Legislatif 2014 terjadi secara massif. Pelakunya adalah kontestan; petugas pemilu, seperti PPS dan PPK; dan pemilih (Mahfud, 2014). Caleg yang memasarkan ideologi tidak laku. Politik sebagai the art of the possible diberlakukan seperti komoditas, sarat dengan transaksi jual beli (Thohari, 2014).

Maraknya politik uang juga terjadi pada Pileg 2014 di Bojonegoro. Survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada bulan September 2013 menyebutkan bahwa tingkat pragmatisme dan politik uang di kabupaten Bojonegoro adalah tertinggi di Provinsi Jawa Timur. Hasil survei tersebut dikuatkan oleh fakta bahwa sebagian besar warga Kabupaten Bojonegoro memilih tetap bekerja ketimbang datang ke TPS. Mereka mau datang jika diberikan uang pengganti upah kerja. Sebagian besar warga yang umumnya buruh pabrik itu berharap para Caleg memberikan uang sebagai pengganti uang kerja.

Sementara itu, pemuda sebagai generasi penerus bangsa, memiliki peran besar dalam mengawal jalannya pesta demokrasi. Dalam setiap perubahan yang mewarnai negeri ini, pemuda selalu mempunyai andil. Kiprah pemuda setidaknya dimulai pada tahun 1908 dengan berdirinya Budi Utomo, tahun 1928 melalui Sumpah Pemuda, tahun 1945 melalui proklamasi kemerdekaan, hingga pada tahun 1998 lewat gerakan mahasiswa yang akhirnya mempersembahkan perubahan negeri ini lewat gerakan reformasi.

Namun dalam kenyataanya, pemuda justru banyak yang terlibat sebagai aktor politik uang. Hal ini tentu menjadi permasalahan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Generasi yang seharusnya berada pada garda terdepan dalam penanggulangan politik uang malah terjerumus dalam kubangan politik uang yang menganga.

Survei yang dilakukan Indokator menggambarkan bahwa pemuda masih toleran terhadap praktik politik uang. Sebanyak 42 dari 100 responden pemuda berumur di bawah 20 tahun masih menganggap politik uang sebagai sesuatu yang wajar. Kemudian 42 dari 100 responden pemuda berumur 21-25 tahun juga masih memberi toleransi pada praktik politik uang. Kemudian 43 dari 100 responden berumur 26-40 tahun juga bersikap sama. Dalam kesimpulannya, Indikator (2013) menuliskan bahwa pemilih yang terlibat dalam organisasi serta berusia lebih muda lebih berpeluang dijadikan objek praktik politik uang dibanding yang tidak terlibat dalam organisasi dan berusia lebih tua (Indikator, 2013). Untuk lebih jelasnya berikut tabelnya :

Tabel 1.1 : Toleransi Terhadap Politik Uang Menurut Demografi

Teloransi Terhadap Politik Uang Menurut Demografi


Survey di 39 Dapil, Sep-okt 2013



Base

Bisa diterima sebagai hal yang wajar

Tidak bisa diterima, Tidak wajar

Tidak tahu

GENDER

Laki-laki

50.0

40

59

0

Perempuan

50.0

43

57

1

DESA-KOTA

Perdesaan

51.4

44

55

1

Perkotaam

48.6

39

61

0

USIA

<= 20 thn

4.5

42

58

1

21-25 thn

6.8

42

57

0

26-40 thn

38.0

43

57

0

41-55 thn

32.9

41

59

0

> 55 thn

17.8

41

58

1

sumber : Indikator, 2013

Oleh sebab itu, politik uang menjadi tema yang penting untuk dibahas lebih-lebih dikaitkan dengan unsur pemuda yang menjadi tonggak utama pembangunan demokrasi di Indonesia. Tulisan ini membahas fenomena politik uang serta keterlibatan pemuda sebagai agen politik uang dalam konteks pemilihan anggota legislatif di Bojonegoro pada tahun 2014.

PEMBAHASAN

Politik uang sering disebut dengan berbagai macam istilah. Di banyak tempat di Indonesia ia dikenal dengan “serangan fajar”; di Bojonegoro disebut “uang saku berangkat ke TPS” atau “uang ganti waktu kerja”; di perkampungan di Ciputat, Tangerang Selatan, disebut dengan “gerakan jangkrik”; sementara di Papua Nugini dikenal sebagai “malam setan”, di Thailand sering disebut dengan“the night of the barking dogs” (Ika, 2013).

Money politic dalam bahasa Indonesia (1994) adalah suap. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut uang sogok. Menurut Yusril, money politic adalahmempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi (Ismawan, 1999). Secara umum money politic biasa diartikan sebagai upaya untuk memengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan money politic sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan.

Politik uang adalah suatu bentuk pemberian atau janji untuk menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pemberian bisa berupa uang maupun barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader, atau bahkan pengurus partai politik menjelang pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang atau sembako kepada masyarakat dengan tujuan menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan (Wikipedia).

Menurut Fitriyah (2013), politik uang adalah uang yang ditujukan dengan maksud-maksud tertentu, seperti untuk melindungi kepentingan bisnis dan politik tertentu. Politik uang bisa juga terjadi ketika seorang kandidat membeli dukungan partai politik tertentu atau membeli suara dari pemilih untuk memilihnya dengan iming-iming imbalan yang bersifat finansial. Politik uang bisa juga terjadi ketika pihak penyandang dana berkepentingan bisnis maupun politik tertentu.

Money politic adalah semua tindakan sengaja untuk memberi atau menjanjikan uang atau materi lainya kepada seseorang supaya ia tidak menggunakan hak pilihnya, memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu (Saifullah, 2012).

Penyebab Terjadinya Politik Uang

Beberapa ahli memberikan analisis terkait sebab-sebab terjadinya politik uang, di antaranya bisa dibaca di bawah ini:

a.Sistem Proporsional Terbuka

Oleh sebagian kalangan, sistem proporsional terbuka dianggap paling ideal sebagai wujud keterwakilan rakyat. Sistem ini bisa menciptakan kompetisi di antara sesama caleg dalam satu partai—bahkan dianggap lebih demokratis di internal partai,—mengikis sistem oligarki partai, dan bisa menghasilkan calon terpilih yang lebih bertanggung jawab kepada konstituennya. Melalui sistem ini hanya caleg yang meraih dukungan penuh dari rakyat yang bisa duduk di kursi legislatif.

Namun sistem proporsional terbuka justru tidak mendidik masyarakat karena membuka peluang terjadinya praktik money politic dan membuat biaya kampanye semakin mahal. Penerapan putusan MK tersebut menjadikan pemilu 2009 terburuk sepanjang sejarah. Sistem tersebut, menurut beberapa ahli, juga menimbulkan persaingan tak sehat (Effendy, 2012).

Pernyataan di atas sejalan dengan pandangan Muhtadi (2014). Menurutnya, desain kelembagaan yang membuat sistem proporsional terbuka yang berbasis pemilih personal dan kandidat menyebabkan maraknya politik uang (Kumoro, 2014). Persaingan antarcaleg semakin terbuka, kesempatan meraih kursi antara caleg nomor urut 1 dan nomor urut 2 sama. Karena itu, segala daya yang dimiliki caleg dikerahkan untuk memobilisasi dukungan, baik dengan pengaruh ketokohan maupun finansial.

b.Deideologisasi Politik

Thohari (2014) mengulas tentang asal muasal pergeseran politik ideologi ke politik non-ideologi yang berorientasi pemecahan masalah dan pragmatisme. Menurutnya, dulu, untuk menghindari konflik-konflik ideologi yang cenderung keras, seperti yang dominan dalam dua dasawarsa setelah kemerdekaan, diberlakukan kebijakan deideologisasi politik, terutama, antara lain, melalui asas tunggal.

Deideologisasi pada perkembangannya bersifat eksesif dan depolitisasi. Partai-partai politik dilarang menonjolkan ideologi dalam setiap kontestasi transisi kekuasaan, apalagi bersifat ideology-oriented, tetapi harus tampil dengan pendekatan program dan penyelesaian masalah. Kebijakan ini, sekilas memang berhasil. Konflik-konflik keras ideologi hampir tak pernah terjadi hingga Orde Baru tumbang. Namun pada era reformasi, tokoh-tokoh politik baru bermunculan serta berupaya menghidupkan kembali ideologi partai dari kuburnya, meski eksperimen ini gagal. Partai-partai ideoligis justru terlempar di era reformasi. Beberapa partai yang bisa bertahan adalah partai yang mengklaim dirinya terbuka, lintas ideologi, etnis, budaya, dan agama (Thohari, 2014).

Menurut Thohari (2014), pergeseran dari politik ideologi ke non-ideologi ternyata kini jadi eksesif, yaitu berkembangnya pragmatisme politik. Tidak ada lagi perjuangan ideologi dalam politik, tetapi perjuangan kepentingan. Pengertian “kepentingan” mengalami reduksi dan distorsi sedemikian rupa menjadi sekadar kepentingan materi dan uang. Inilah akar politik transaksional yang kini menyelimuti perpolitikan di Indonesia.

c.Semakin Menguatnya Mental Materialisme dan Konsumerisme.

Menurut Firmanzah (2008), politik uang terjadi karena semua elemen yang terlibat dalam urusan politik memandang penting materi. Segalanya harus dapat diuangkan dan dijadikan objek. Hal-hal yang bersifat ideologi, program kerja, nilai, dan norma politik menjadi kurang relevan. Baik pemilih maupun kontestan sama-sama menekankan aspek materi. Pemilih di Indonesia, misalnya, sangat tidak peduli dengan hal-hal yang berbau abstrak ideologis dan program kerja partai. Semangat pragmatisme membuat dunia politik semakin menjauh dari wacana ideologi. Menyadari bahwa ideologi sukar sekali dicerna dan diimplementasikan membuat politikus hanya berkutat dengan hal-hal yang bersifat riil.

Faktor lain yang mengakibatkan tumbuh suburnya politik uang, menurut Firmanzah (2008), adalah merasuknya semangat konsumerisme dalam aktivitas politik. Konsumerisme yang dimaksud adalah suatu sifat dan karakter yang menekankan aktivitas konsumsi.

Saat ini, masyarakat menilai manusia dan individu berdasarkan objek yang dikonsumsi. Semakin mahal dan gemerlap objek yang dikonsumsi, semakin tinggi nilai individu atau manusia tersebut dalam struktur dan interaksi sosial bermasyarakat. Inilah yang sekarang menghinggapi para politikus. Tekanan untuk mendapatkan objek yang bernilai tinggi membutuhkan sumber finansial yang mahal. Akibatnya, berpolitik untuk berkuasa dan mendapatkan akses sumber daya finansial tidak jarang dipraktikkan dalam dunia politik. Sementara itu, nilai dari calon atau kandidat lebih diukur dengan seberapa besar kemampuan finansial mereka. Kemampuan manajerial yang terekam dalam ‘track record’ tidak terlalu diperhatikan, sejauh si calon dan kandidat memiliki kekuatan finansial yang besar (Firmanzah, 2008)

Belakangan ini kita sering melihat calon atau kandidat “menebar pesona” dengan kelebihan harta dan uangnya. Aksi bagi-bagi uang di jalanan dalam beberapa kasus malah menjadi kebanggaan tim sukses dan calon. Justru yang tidak melakukan politik uang dianggap pelit dan tak baik hati.

d.Minimnya Komunikasi Partai Politik kepada Rakyat

Asrinaldi (2014) menengarai maraknya politik uang disebabkan pola komunikasi partai politik dengan masyarakat hanya massif pada saat menjelang pemilu saja. Setelah pemilu usai, masyarakat dibiarkan dan bahkan tidak ada komunikasi sama sekali sehingga masyarakat menjadi alergi dengan ide-ide dan gagasan serta ideologi partai politik.

Partai politik maupun kader partai selama ini tidak pernah membangun komunikasi yang intensif kepada masyarakat sehingga ketika kader politik hadir sebagai caleg, masyarakat tidak mengenal. Karena itulah, pola yang digunakan untuk mobilisasi suara adalah uang. Kondisi berbeda terjadi jika kader partai mempunyai ikatan emosional yang baik dengan masyarakat. Maka secara otomatis masyarakat akan mau memilihnya tanpa ada imbalan tertentu.

Karena tidak ada ikatan psikologis maupun ideologis dengan partai politik atau calon, relasi transaksional dengan partai politik menjadi satu-satunya pendekatan yang digunakan oleh masyarakat. Bisa jadi masyarakat berbuat demikian sebagai kompensasi dukungan yang diberikan. Jika mengharapkan kompensasi program ataupun kemanfaatan jangka panjang, masyarakat seolah lelah dengan penantian-penantian dan bosan dengan janji-janji. Apalagi janji-janji itu keluar dari seseorang yang baru ia kenal dan tak ada rasa saling percaya.

e.Politisi Selalu Menggunakan Uang untuk Memobilisasi Dukungan

Harian Kompas dalam jajak pendapatnya menyimpulkan bahwa salah satu faktor yang memengaruhi maraknya praktik politik uang adalah caleg selalu menggunakan uang untuk memobilisasi pemilih. Dalam catatan harian ini, di Palopo, Sulawesi Selatan, polisi menangkap orang membawa uang pecahan Rp10.000 dan Rp50.000 yang akan dibagi-bagikan menjelang pencoblosan. Hal serupa terjadi di Seruyan, Kalimantan Tengah. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kalimantan Tengah menyebut salah satu tim sukses caleg DPRD Seruyan ditangkap karena membagi-bagikan uang. Dari tangannya diamankan Rp1,5 juta (Yuniarto, 2014).

Berbagai praktik yang berbau politik uang ini, baik yang dilakukan langsung maupun tidak langsung, tersamar atau terang-terangan, membuat politik menjadi mahal. Biaya yang dikeluarkan seorang calon kepala daerah di Jawa, sejak berniat mencalonkan diri hingga pilkada usai, diyakini lebih dari Rp100 miliar. Padahal gaji gubernur, lengkap dengan berbagai tunjangannya, sebulan kurang dari Rp100 juta—atau hanya Rp1,2 miliar setiap tahun. Defisit “investasi” itu bisa memunculkan korupsi dalam jabatan.

f.Lemahnya Regulasi Pengelolaan Keuangan Partai Politik

Di Nigeria, sebab utama terjadinya praktik politik uang secara besar-besaran adalah karena tidak adanya undang-undang yang mengatur secara ketat tentang keuangan partai politik sehingga memungkinkan partai politik dan politisi menggunakan uang untuk memobilisasi pemilih dan meraih sebuah jabatan tertentu (Adetula et al., 2008).

Sebagian besar negara-negara Eropa telah mengambil langkah-langkah untuk mengatur partai politik dan pembiayaan kampanye dengan undang-undang tentang keterbukaan keuangan. Partai diminta untuk melaporkan sumbangan yang diterima, termasuk asal usul sumbangan, jumlah, dan pengeluaran partai. Beberapa negara telah melarang beberapa jenis sumbangan yang dianggap lebih rentan terhadap korupsi, seperti sumbangan dari perusahaan-perusahaan besar. Cara lain ditempuh dengan memperpendek masa kampanye dan memberikan subsidi untuk sosialisasi di media. Hanya dua dari 25 negara yang dinilai tidak memiliki aturan yang mengikat apa pun untuk mengatur sumbangan politik, yaitu Swedia dan Swiss (Mulcahy, 2012).

Beberapa negara Eropa, seperti Belgia, Estonia, Perancis, Hungaria, Latvia, Lithuania, Polandia, dan Portugal telah menerbitkan larangan lengkap tentang sumbangan perusahaan. Meskipun peraturan pembiayaan partai di sebagian besar negara-negara Eropa diperketat, namun tidak semua diikuti dengan penegakan hukum yang efektif. Penilaian nasional mengungkapkan bahwa hukum sering dilanggar dengan imunitas. Agar hukum menjadi efektif, penting dibentuk badan pengawas independen yang diberi wewenang melakukan pengawasan dan memberikan sanksi. Di sejumlah negara, banyak ditemukan lembaga penegak pembiayaan politik melemah. Ini khususnya menjadi masalah di Yunani dan Belanda (Mulcahy, 2012).

Sebaliknya, di Polandia, Komisi Nasional Pemilihan mengendalikan keuangan partai politik. Partai politik akan diberi sanksi berat jika tidak memenuhi kewajiban transparansi. Beberapa partai politik, termasuk Partai Petani Polandia, Partai Demokrat, Serikat Buruh, dan Sosial Demokrasi Polandia, mendapat pelajaran yang menyakitkan tentang ketidakpatuhan ini. Mereka kehilangan hak untuk menerima subsidi publik selama tiga tahun sebagai akibat dari laporan keuangan mereka ditolak (Mulcahy, 2012).

Bailey (2004) menyimpulkan bahwa keterlibatan pihak luar dalam sumbangan dana kampanye politik sangat mengkhawatirkan. Oleh sebab itu, ia pun menyarankan agar terdapat regulasi keuangan politik secara ketat karena sumbangan dari pihak lain akan sangat mampu memengaruhi kebijakan.

Di beberapa negara, termasuk Indonesia, biaya politik sangat mahal. Sebagaimana digambarkan oleh Deny (2006) dalam “Uang dan Politik”, di negara kaya seperti Amerika Serikat, seorang calon tidak dapat membiayai pengeluaran pemilu sendirian. Pemilihan kongres, gubernur, dan presiden sudah sedemikian mahal. Untuk merebut Gedung Putih, biaya yang dikeluarkan Presiden Bill Clinton dan penantangnya, Senator Robert, sebesar US$ 80 juta. Empat tahun kemudian, calon George W. Bush dan Albert Gore menghabiskan US$ 307 juta untuk kampanye pemilihan presiden. Pada tahun 2004 pengeluaran petahana Bush dan lawannya, John Kerry, dijumlahkan lebih dari US$ 550 juta. Angka terakhir ini tidak termasuk pengeluaran oleh kelompok-kelompok advokasi dan partai politik (Stratmann, 2005).

Bagusnya, Amerika Serikat memiliki mekanisme untuk meminimalisasi pengaruh uang swasta di dunia politik. Federal Election Campaign Act of 1974 hanya membolehkan sumbangan pihak swasta kepada politisi dalam jumlah yang sangat kecil. Sumbangan perorangan kepada seorang politikus hanya boleh paling banyak US$ 1.000 (atau sama dengan Rp2,3 juta berdasarkan nilai tukar 1996). Jika menyumbang ke banyak politikus, total sumbangannya tidak boleh lebih dari US$ 25.000 (Rp57,5 juta) dalam satu masa pemilihan. Adapun sumbangan perusahaan kepada seorang kandidat dibatasi US$ 5.000 (Rp11,5 juta) (Fitriyah, 2013).

Di Indonesia, pengaturan tentang dana kampanye tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang juga memuat tentang pembatasan sumbangan dana pemilu. Namun, menurut Badoh (2010), pengaturannya tidak jelas dan mudah sekali disalahgunakan. Lemahnya regulasi ini ikut menyumbang potensi masuknya dana ilegal kepada calon dan terjadinya politik uang dalam pilkada.

Identifikasi Badoh (2010) atas lemahnya regulasi pemilukada, baik soal pengaturan dana kampanye maupun pengaturan politik uang, yang nyata-nyata gagal membentengi pemilukada dari praktik politik uang, dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 2.1 Analisis Regulasi Dana Pemilu

Prinsip-prinsip pengaturan dana politik

Pengaturan

Permasalahan

Sumber dana

Pasal 83 UU 32/2004

Pasal 83 UU 12/2008

Pasal 65 PP 6/2005

Tidak disebutkan sumbangan dari parpol sebagai badan hukum atau perseorangan

Batasan jumlah sumbangan

Pasal 83 UU 32/2004

Pasal 83 UU 12/2008

Pasal 65 PP 6/2005

 Tidak ada batasan jumlah sumbangan dari pasangan calon (paslon)

 Tidak ada batasan sumbangan dalam bentuk bukan cash (in kind) yang diterima/disetujui oleh paslon

 Tidak ada batasan jumlah sumbangan dari parpol pendukung

 Tidak ada ketentuan rinci mengenai apakah sebuah konglomerasi dapat menyumbang lewat induk perusahaan dan anak-anak perusahaan

 Tidak ada ketentuan soal utang

Pencatatan serta pelaporan rekening khusus dana kampanye

Pasal 83 UU 32/2004

Pasal 84 UU 12/2008

Pasal 65 dan 68 PP 6/2005

 Tidak dijelaskan kapan rekening khusus dana kampanye dibuka; yang diatur hanya ketentuan mengenai kapan daftar penyumbang dilaporkan ke KPUD

 Tidak ada ketentuan mengenai saldo awal untuk rekening dana kampanye

 Tidak dijelaskan berapa jumlah rekening dana kampanye yang harus dibuat dan apakah semua penerimaan dana kampanye harus dicatat dalam satu rekening atau ada pemisahan antara rekening partai pendukung, kandidat, dan tim kampanye

 Tidak ada kewajiban pencatatan pengeluaran

 Tidak dijelaskan secara rinci identitas penyumbang (apa saja keterangan penyumbang yang harus dicantumkan) dan kategori penyumbang yang tidak jelas identitasnya

Jumlah Rp2,5 juta sebagai batasan minimum pencatatan penerimaan terlalu besar dan dapat mendorong manipulasi dalam bentuk memecah jumlah sumbangan menjadi bagian-bagian yang jumlahnya lebih kecil dari batasan minimum kewajiban mencatat

Mekanisme akuntabilitas publik

Pasal 83 dan 84 UU

32/2004

Pasal 84 UU 12/2008

Pasal 65, 66 dan 67 PP 6/2005

 Tidak ada sanksi terhadap temuan hasil audit jika bermasalah

 Tidak ada ketentuan mengenai syarat kantor akuntan publik yang dapat ditunjuk oleh KPUD

 Jarak waktu sejak diserahkan hingga diumumkannya hasil audit terlalu lama (23 hari setelah pemungutan suara)

 Tidak dijelaskan mengenai media yang akan digunakan oleh KPUD dalam mengumumkan hasil audit kampanye

Sumber: (Fitriyah, 2013).

g.Persepsi Pemilihan Sebagai Perayaan

Menurut Sutoro (2004), politik uang terjadi karena kuatnya persepsi bahwa pilkada sebagai perayaan, kultur pragmatisme jangka pendek, lemahnya dialektika untuk mencari nilai-nilai ideal dan membangun visi bersama, lemahnya aturan main, dan seterusnya.

Semakin maraknya politik uang membuat sebagian rakyat melihat pilkada bukan sebagai momentum untuk memilih pemimpin yang dapat memperjuangkan kepentingan mereka, namun merupakan saat suara rakyat dibutuhkan untuk mengantarkan seseorang menjadi elit politik. Karena itu, mereka merasa berhak mendapatkan upah atas dukungan yang diberikan kepada (seorang) calon (Susilo & Hernowo, 2008).

Dalam keadaan demikian, pemilih dan yang dipilih sama-sama mengabaikan persoalan moralitas dan hukum. Persoalan apakah menerima uang tersebut melanggar hukum atau tidak adalah nomor sekian; yang terpenting masyarakat mendapatkan manfaat secara pragmatis dan caleg memperoleh dukungan.

Dalam konteks ini, teori Machiavelli menemukan relevansinya. Bukunya, Il Principe, yang ditulis tahun 1500-an Masehi, menginspirasi para petualang politik bahwa kekuasaan bisa diperoleh dengan cara apa pun. Bagi Machiavelli, dunia politik itu bebas nilai. Politik jangan dikaitkan dengan persoalan moralitas. Dalam politik, yang terpenting bagaimana seseorang berusaha dengan berbagai macam cara mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan, meski cara-cara tersebut inkonstitusional atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai moral (Prayitno, 2014).

h.Sikap Permisif Masyarakat pada Politik Uang

Suburnya politik uang tidak lepas dari cara pandang masyarakat pemilih yang permisif terhadap politik uang. Karena dianggap suatu kewajaran, masyarakat tidak peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya karena tidak merasa bahwa politik uangsecara normatif adalah perilaku yang harus dijauhi (Fitriyah, 2013).

Survei yang dilakukan Indikator pada bulan September-Oktober 2013 di 39 dapil di seluruh Indonesia menyimpulkan bahwa toleransi pemilih terhadap politik uang cukup tinggi. Sebanyak 41,5 persen pemilih menilai praktik politik uang sebagai suatu kewajaran dan hanya 57,9 persen yang menilai politik uang tak bisa diterima (Indikator, 2013). Temuan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat masih sangat permisif terhadap politik uang, bahkan sebagian menganggapnya wajar.

Bisa jadi, sikap permisif tersebut muncul karena masyarakat tidak memiliki kedekatan psikologis ataupun ideologis dengan partai politik sehingga masyarakat menggunakan relasi transaksional dengan partai politik. Pemilih menjadikan politik uang dan pendekatan kampanye yang bersifat partikularistik sebagai kompensasi kepada partai politik (Indikator, 2013).

Tingkat pendidikan juga memengaruhi penerimaan masyarakat terhadap politik uang. Semakin tinggai pendidikan masyarakat, semakin kecil kecenderungan penerimaan pemberian. Politik uang lebih mendapat respons pada pemilih yang tingkat pendidikannya rendah, tidak merasa dekat dengan partai, dan pernah mengalami politik uang (ditawari uang atau barang) (Indikator, 2013).

Sikap permisif masyarakat ini sebenarnya bisa dikurangi dengan memberikan pendidikan politik kepada pemilih. Dalam hal ini sosialisasi yang dilakukan oleh KPU harus menyentuh masyarakat bawah dan memuat materi pendidikan politik uang, baik ditinjau dari hukum maupun aspek lain. Penegasan bahwa politik uang adalah pelanggaran hukum sedikit banyak akan menguragi sikap permisif masyarakat terhadap politik uang. Vicente (2007) menjelaskan bahwa pendidikan politik kepada pemilih dapat melawan politik uang. Ia menuliskan:

“However, it was clear before the voter education campaign that vote-buying is a popular phenomenon for the impoverished STP population. In our baseline survey we asked how votebuying was perceived (before the campaign). Although many associated vote-buying primarily with a bad practice on moral or legal grounds, there is a considerable portion who (explicitly) viewed vote-buying in a positive way (representing 22 percent of the answers) – perceiving votebuying as ‘good for the population’ or even for democracy. As a consequence, we included in the campaign’s verbal discussion an emphasis on voting according to one’s judgment about the quality of the politicians, and not according to whoever had bought one’s vote. Hence, the discussion of the leaflet emphasized voting in good conscience, even if still accepting cash from politicians. Despite the fact that the legalistic view was probably taken less strictly with this type of message, stressing the idea of voting in good conscience, even if accepting cash from campaigners, is still fully consistent with the main research questions in our experiment, namely through diminishing the effectiveness of vote-buying”. (h.8).

Peran Pemuda dan Politik Uang

Sejarah mencatat, perubahan mendasar di sejumlah negara di dunia, banyak di antaranya, dipelopori oleh pemuda. Demikian juga bangsa Indonesia, pemuda selalu berperan penting dalam setiap perubahan. Berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908, yang diawali oleh kelompok studi pemuda, memberi inspirasi kepada bangsa Indonesia untuk memperkuat nasionalisme bangsa (Faisal, 2011).

Pada periode berikutnya, Boedi Oetomo memberi inspirasi kepada pemuda di seluruh Nusantara untuk menyatukan semangat nasionalisme yang kemudian diwujudkan dalam komitmen satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Komitmen tersebut kemudian terwujud dalam satu gerakan yang dinamakan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Peran pemuda terus berlanjut. Pada tahun 1966 berbagai gerakan yang dibentuk pemuda, terutama dari golongan mahasiswa, kembali menyerukan semangat perubahan. Jargon Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) menjadi seruan utama. Dengan desakan tersebut pada akhirnya rezim Orde Lama berganti menjadi Orde Baru (Faisal, 2011).

Peran pemuda Indonesia tidak hanya sampai di situ. Pada tahun 1998 pemuda kembali menyuarakan reformasi birokrasi dan menuntut rezim Orde Baru mundur. Gerakan pemuda itu terbukti berhasil menggulingkan rezim otoriter tersebut.

Pasca reformasi 1998, Indonesia kebanjiran para politisi muda yang juga mantan aktivis organisasi kepemudaan. Namun, ternyata tokoh-tokoh muda tersebut terjebak pada praktik-parktik yang dulu ia tentang habis-habisan.

Saat ini banyak pihak yang kecewa dengan sikap pemuda. Generasi yang dianggap dalam posisi terdepan menangkal politik uang justru menjadi aktor di dalamnya. Sabili (2011) sangat prihatin pada generasi muda yang sudah terkontaminasi oleh politik uang. Rasa kecewa juga dilontarkan oleh Marzuki Ali. Ia menyayangkan generasi muda yang sudah pragmatis. Menurutnya, idealisme di kalangan pemuda sepertinya sudah luntur. Politik uang ternyata sulit dibendung. Padahal, kiprah pemuda ke depan sangat diharapkan. Tapi, itu semua buyar karena mereka tak kuat melawan gerbong uang (Endang, 2013).

Indikasi politik uang di kalangan pemuda juga terjadi pada pemilihan ketua KNPI Provinsi Banten. Salah satu anggota Komisi V DPRD mengatakan bahwa pemilihan ketua KNPI Banten diwarnai dengan borong OKP oleh salah satu kandidat (Zey, 2013).

Di samping politik uang yang mewarnai transisi-transisi kepemimpinan organisasi kepemudaan, kita juga sering melihat pelaku korupsi justru masih sangat muda. Misalnya, yang dilakukan oleh Ketua KNPI Sulteng, yang divonis satu tahun penjara karena terbukti korupsi dana hibah rehabilitasi gedung KNPI senilai Rp976 juta (Puji, 2010).

Pemakaian politik uang pada kongres-kongres organisasi kepemudaan sudah menjadi rahasia umum di kalangan aktivis pemuda, terutama organisasi kepemudaan nasional yang cabangnya tersebar di seluruh kota di Indonesia. Pola yang digunakan sangat berbeda-beda, mulai dari pemberian fasilitas hotel dan tiket menuju lokasi kongres, hingga pemberian uang tunai. Dan, sudah menjadi rahasia umum, setiap aktivis yang mencalonkan diri menjadi ketua umum harus berkeliling mencari logistik untuk keperluan hal tersebut.

Selain di arena kongres organisasi kepemudaan, sudah menjadi rahasia umum juga bahwa para pemuda terlibat dalam praktik politik uang pada pemilihan legislatif 2014. Tidak sedikit caleg, baik dari kalangan aktivis partai, pengusaha, maupun tokoh akademisi, yang melibatkan pemuda sebagai tim pemenangan. Mereka tidak hanya terlibat dalam pengerahan massa, bahkan menjadi otak dari distribusi politik uang yang dilakukan oleh caleg. Biasanya, tim sukses yang berasal dari tokoh tua hanya sebagai legitimasi dan memberi akses kepada komunitas tertentu, tetapi para pemuda yang menjadi pelaku utama.

Fenomena Politik Uang di Bojonegoro Pada Pileg 2014 dan Keterlibatan Pemuda

Bojonegoro adalah kabupaten di Jawa Timur bagian barat yang berbatasan dengan Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Terdapat ladang minyak dan gas bumi merentang di dua kabupaten yang terkenal sangat panas itu. Ladang ini disebut oleh Exxon Mobil sebagai “giant oil field” yang diperkirakan memiliki cadangan minyak mentah sebesar 600 juta barel. Daerah ini dikenal dengan Blok Cepu.

Posisi Blok Cepu ternyata membawa dampak pada situasi politik saat pemilihan kepala desa di Bojonegoro. Masyarakat yang sudah terbiasa dengan uang dalam jumlah besar turut serta menjadikan harga dukungan melonjak. Hal ini terlihat saat pemilihan kepala Desa Mojodelik, Kecamatan Gayam, pada tahun 2012. Satu suara dihargai Rp1 juta. Tidak jelas siapa yang terlebih dahulu memasang banderol tersebut. Berita itu santer terdengar dari mulut ke mulut ke seantero perdesaan di Bojonegoro.

Konon, berdasarkan beberapa obrolan di warung kopi, kepala desa mempunyai peran penting sebagai perantara jual beli tanah antara warga dan Exxon Mobile. Selain itu, kepala desa juga berperan dalam menentukan berbagai proyek di sana.

***

Di Bojonegoro dan di beberapa daerah lain, tidak sulit bagi caleg untuk menemukan orang-orang yang bersedia menjadi agen distribusi politik uang. Banyak orang yang mengaku tokoh atau mempunyai anggota dalam perkumpulan tertentu justru berdatangan untuk menawarkan jasa menjadi tim. Pola komunikasi mereka sangat beragam, ada yang secara terang-terangan mempunyai sekian ribu massa dan siap membantu pemenangan jika ada uang untuk pemilih. Ada pula yang awalnya secara sukarela membantu sebagai tim pemenangan, namun pada akhirnya menanyakan keberadaan uang.

Menariknya, agen-agen yang menawarkan jasa ini tidak hanya berasal dari masyarakat biasa, namun juga dari tokoh masyarakat yang dihormati dan dipandang mempunyai kedudukan terhormat. Beberapa pimpinan organisasi keagamaan yang sangat disegani juga secara terang-terangan menjadi tim sukses caleg tertentu. Motifasi agen-agen tersebut sangat beragam. Pemimpin organisasi keagamaan biasanya beroriantasi panjang dalam bentuk program pemberdayaan pasca caleg tersebut menjadi anggota dewan. Namun jika organisasi paguyupan lebih pada pertimbangan pragmatisme.

Pemuda, memang lebih jarang yang menawarkan jasa, mereka biasanya berkenan menjadi tim sukses karena hubungan family, pertemanan atau hubungan senior-junior dengan caleg atau tim sukses caleg, sedikit yang menggunakan pola transaksional. Meskipun demikian, jika pemuda sudah bersedia masuk dalam tim sukses, mereka akan menjadi agen politik uang.

Di Bojonegoro, terdapat beberapa pola praktik politik uang yang digunakan oleh Caleg pada pemilu 2014, di antaranya :

Pertama, “Serangan Fajar”, adalah uang yang diberikan menjelang pemilihan untuk mencoblos caleg tertentu. Besaran “Serangan Fajar” yang beredar dari Caleg DPR RI lebih kecil dari pada dari DPRD, mulai 5 ribu hingga 30 ribu. Sedangkan untuk DPRD mulai 20 ribu hingga 50 ribu. Kedua, uang saku dalam pertemuan ketiga, Sumbangan kepada lembaga dengan komitmen dukungan suara dan keempat, pemberian Mie instan dan Sembako.

Menjelang pileg, banyak gerakan-gerakan yang dimotori oleh pemuda untuk menolak politik uang. Di kancah nasional, misalnya, dilakukan oleh anak-anak muda yang tergabung dalam ICW, Alumni Fakultas Hukum Universitas Andalas se-Jabodetabek, dan gerakan-gerakan lainya. Gerakan tersebut pada awalnya memberikan harapan dan optimisme.

Namun harapan itu belum sepenuhnya bisa terwujud. Pada Pileg 2014 di Bojonegoro, pemuda banyak yang ikut terlibat dalam praktik politik uang. Hampir semua caleg di Bojonegoro merekrut tim sukses dari kalangan pemuda dan rata-rata melakukan politik uang. Setidaknya, dari semua tim sukses caleg di Bojonegoro terdapat minimal satu pemuda yang terlibat dalam praktik politik uang. Pemuda yang sadar akan bahaya politik uang dan berada dalam kelas menangah justru menjadi “broker” politik.

Para pemuda aktif dalam distribusi politik uang, baik dari DPR RI maupun DPRD I dan DPRD II. Ada lebih dari 30 pemuda di Bojonegoro berperan aktif sebagai agen politik uang. Pemuda tersebut ada yang direkrut langsung oleh caleg maupun oleh temannya. Bahkan mereka menempati posisi strategis dalam “serangan fajar”. Banyak di antara mereka yang menjadi koordinator kecamatan dan bahkan koordinator kabupaten.

Pola hubungan beberapa pamuda dengan caleg adalah hubungan patron-klien. Caleg dan tim sukses muda merupakan aliansi dari dua kelompok atau individu yang tidak sederajat, baik dari segi status, kekuasaan, maupun penghasilan, sehingga menempatkan pemuda (klien) dalam kedudukan yang lebih rendah (inferior), dan (Caleg) patron dalam kedudukan yang lebih tinggi (superior). Scott (1983) mengartikan patron adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu klien-kliennya. Pola relasi seperti ini di Indonesia lazim disebut sebagai hubungan bapak-anak buah, di mana bapak mengumpulkan kekuasaan dan pengaruhnya dengan cara membangun sebuah keluarga besar atau extended family. Setelah itu, bapak harus siap menyebarluaskan tanggung jawabnya dan menjalin hubungan dengan anak buahnya tersebut secara personal (Lestari, 2013).Terdapat beragam motif melatarbelakangi pemuda ikut serta dalam praktik politik uang, yang paling kuat adalah motif ekonomi dan eksistensi.

Beberapa pemuda merasa tidak bersalah dengan keterlibatannya dalam politik uang. Haryatmoko menyebut sebagai gejala ‘kebiasaan akan membungkam rasa bersalah’ seperti kata Aristoteles, keutamaan diperoleh bukan pertama-tama melalui pengatahuan, melainkan melalui habitus, yaitu kebiasaan melakukan yang baik. Kebiasaan akan menciptakan struktur hidup sehingga memudahkan untuk bertindak. Orang tidak perlu susah payah berpikir, mengambil jarak atau mengambil makna setiap kali bertindak. Itulah ungkapan kesadaran praktis Giddens (1986). Seperti orang bangun tidur, tidak harus berfikir lagi ketika hendak turun dari tempat tidur. Memang kesadaran praktis memudahkan hidup, tetapi juga membuat malas. Demikian juga dengan kebiasaan politik uang yang dilakukan oleh kontestan politik kepada masyarakat. Karena saking banyak yang melakukan dan begitu sering, sehingga para pemuda yang menjadi tim sukses tidak perlu mempertanyakan makna dari praktik politik uang yang mereka lakukan (Haryatmoko, 2014).

Kenapa para pemuda tersebut tidak merasa bersalah, ini adalah karena banyak orang melakukannya atau suatu bentuk banalisasi politik uang. Kalau banyak orang melakukannya, menjadikan praktik politik uang sebagai hal yang biasa. Seakan-akan kebiasaan itu mendatangkan hak. Dan, kalau satu dituntut, lalu semua harus bertanggungjawab. Kalau “semua bertanggungjawab” bukankah sama saja dengan tak ada yang bertanggungjawab? Persis seperti penjarahan yang dilakukan oleh semua orang. Dengan melakukan secara ramai-ramai, seakan-akan tindakan politik uang sah karena semua juga begitu. Kalau semua terlibat, seakan sama dengan untuk kepentingan umum. Siapa berani melawan kepentingan umum? Alasan “banyak orang melakukannya” dijadikan alibi tanggungjawab pribadi dan banalisasi (menjadikan biasa) kejahatan (Haryatmoko, 2014).

Para pelaku politik uang di Bojonegoro sepertinya menikmati impunitas (tiada sanksi hukum). Kemungkinan ketahuan sangat kecil karena lemah dan tidak efektifnya pengawasan (Haryatmoko, 2014). Seandainya ketahuan, berakibat menyeret banyak orang lain, lebih baik didiamkan. Seandainya tertangkap dan diproses secara hukum, besar kemungkinan lepas dari jerat hukum.

Di Bojonegoro, kendala penindakan politik uang dialami saat panwas memproses hukum di tingkat Gakkumdu (Sentra Penegakan Hukum Terpadu) yang beranggotakan Bawaslu, Kejaksaan, dan Kepolisian. Terkadang semua proses penanganan pelanggaran sudah dipenuhi oleh Panwaslu, namun ketika diproses di Gakkumdu, institusi lain menganggap hal tersebut bukanlah pelanggaran pemilu. Menurut Widodo (2014), kemungkinan seperti ini bisa terjadi karena perbedaan penafsiran terhadap undang-undang. Jika demikian, proses penindakan tidak berjalan efektif.

Dewasa ini, masyarakat sebenarnya semakin menghendaki adanya transparansi dana kampanye politik. Pengaturan tentang dana kampanye tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang juga memuat tentang pembatasan sumbangan dana pemilu. Namun, menurut Badoh (2010), pengaturannya tidak jelas dan mudah sekali disalahgunakan. Lemahnya regulasi ini ikut menyumbang potensi masuknya dana ilegal kepada calon dan terjadinya politik uang dalam pileg.

Menurut Haryatmoko (2014), dalam banyak kasus, proses hukum seperti ini justru berbalik menjadi alat pembersihan diri dan rehabilitasi pelaku politik uang. Karena secara legal tidak terbukti melakukan politik uang, lalu seakan-akan secara moral dibenarkan. Dengan cara ini pelaku politik uang bisa dibebaskan dari rasa bersalah.

Di negera-negara Afrika, buruknya pengelolaan keuangan partai politik menjadi salah satu tantangan demokrasi. Jika partai politik ataupun kandidat tidak sanggup menggunakan ideologi dan visi misi sebagai alat mobilisasi suara, mereka akan menggunakan uang untuk mobilisasi suara sehingga kemampuan partai dalam positioning ideologi menjadi salah satu faktor praktik politik uang (NDI, 2014).

Apa yang terjadi di Bojonegoro mirip dengan di beberapa negara seperti Nigeria, Bangladesh dan Kenya, dalam kontek regulasi dana Pemilu, sama-sama tidak mempunyai aturan yang ketat, sehingga kesempatan praktik politik uang semakin terbuka.

Beberapa caleg pada Pileg 2014 di Bojonegoro telah kehilangan carapositif dan konstruktif untuk meraup dukungan masyarakat, putus asa, dalam posisi ini, mucul cara-cara pintas.

Langkah ini disebut sebagai budaya Shortcut dalam politik.Kuntjoroningrat, menyebut bahwa karakter dasar manusia Indonesia adalah budaya ‘nrabas’ atau jalan pintas (Firmanzah, 2008). Budaya jalan pintas nyaris memasuki setiap aktifitas politik, dari rekrutmen anggota, pencalonan wakil partai dan pemenangkan pemilu. Budaya jalan pintas seringkali dilakukan dengan memperpendek proses dan prosedur yang ditetapkan atau bahkan melanggarnya untuk mencapai tujuan akhir.

Ketika cara-cara normatif tidak lagi bisa digunakan, maka cara apapun akan ditempuh, termasuk melakukan ‘serangan fajar’. Budaya Shortcut politik ini muncul akibat dari pandangan ‘politik sebagai media kekuasaan’ (firmanzah, 2008). Partisipasi politik hanya manifestasi dari keinginan berkuasa. Padahal dalam pengertian idealnya, berkuasa hanyalah media yang menjadi sarana untuk dapat menciptakan tatanan masyarakat ideal, sesuai dengan nilai dan faham yang dianut oleh satu partai politik, namun karena dorongan yang begitu kuat, ‘kekuasaan’ menjadi tujuan akhir berpolitik.

Idealnya dalam berpolitik, Caleg menyampaikan visi misi kepada masyarakat, kemudian terjadi interaksi komunikasi yang memungkinkan keduanya saling mendukung. Namun yang terjadi tidak demikian, dalam setiap pertemuan antara masyarakat dan Caleg, jarang sekali ada penyampaian visi misi. Hal ini disebut Firmanzah (2008) sebagai politik tanpa orientasi, karena memang bagi Caleg, agenda yang terpenting adalah kekuasaan, sedangkan bagi pemilih, agenda terpenting adalah uang.

Jika Caleg menganggap politik sebagai sarana untuk dapat menciptakan tatanan masyarakat ideal, tentu saja mereka tidak akan melakukan budaya Shortcut politik dengan menggunakan uang. Sebab, politik uang tampak jelas merusak tatanan masyarakat ideal.

KESIMPULAN

Politik uang terjadi disebabkan karena beberapa hal, yaitu : Besarnya keinginan Caleg untuk berkuasa, pemilih dan caleg sama-sama menekankan pentingnya aspek material, semua aktifitas politik diukur dengan untung rugi, penerapan sistem proporsional terbuka, lemahnya pengawasan aparat pemilu, sulitnya penindakan pelanggaran pemilu yang berkaitan dengan politik uang dan terakhir lemahnya regulasi pengawasan dan pembatasan dana kampanye.

Banyak pemuda terlibat aktif dalam praktik politik uang serta menjalin hubungan patron-klien dengan caleg. Pemuda seolah-olah mendapat pembenaran atas keterlibatannya, karena politik uang dilakukan secara terus menerus dan bersama-sama dengan berbagai kelompok, baik tokoh masyarakat maupun elit politik.

DAFTAR REFERENSI

Buku dan Jurnal

Acemoglu, Daron, & Robinson, James A. (2012). Why nations fail: The origins of power, prosperity, and poverty. New York: Crown Publishers.

Adetula, Victor A. O., et al. (2008). Money and politics in Nigeria. Abuja: Petra Digital Press.

Badoh, Ibrahim Zuhdhy Fahmi. (Januari 2010). Kajian potensi-potensi korupsi pilkada. Jakarta: ICW.

Bailey, Michael. (2004). The two sides of money in politics: A synthesis and framework. Election Law Journal, 3, 653-669.

Bryan, Shari, & Baer, Denise (Ed.). (2005). Money in politics: A study of party financing practices in 22 countries. Washington, DC: National Democratic Institute for International Affairs.

Haryatmoko. (2014). Etika politik & kekuasaan. Jakarta : Kompas Media Nusantara

Huda, Muhammad Nurul. (2011). Penetrasi kapitalisme dan transformasi sosial di Bojonegoro: Studi kasus proyek migas Blok Cepu. Jakarta: Universitas Indonesia.

Mulcahy, Suzanne. (2012). Money, politics, power: Corruption risks in Europe. Berlin: Transparency International.

National Democratic Institute for International Affairs. (2014). Money in politics: Challenges and strategies for Africa, Washington, DC: Author.

Stratmann, Thomas. (2005). Some talk: Money in politics. A (partial) review of the literature. Journal of Department of Economics, George Mason University, 124, 135-156.

Vicente, Pedro C. (2007). Is vote-buying effective? Evidence from a field experiment in West Africa. Paper presented at Manchester, Oxford, and the Oxford-LSE RPC Workshop.

Makalah dan Surat Koran Cetak

Asrinaldi, A. ( 14 April 2014). Politik uang dan perilaku caleg. Haluan, h. 3.

Effendy, Rusmin. (3 Januari 2012). Proporsional terbuka vs tertutup. Harian Suara Karya, h. 4.

Eko, Sutoro. (Januari 2004). Pilkada secara langsung: Konteks, proses dan implikasi, bahan diskusi dalam expert meeting “Mendorong partisipasi publik dalam proses penyempurnaan UU No. 22/1999 di DPR RI”. Makalah dipresentasikan pada seminar yang diselenggarakan oleh Yayasan Harkat Bangsa, Jakarta.

Thohari, Hajriyanto Y. (16 Juni 2014). Berpolitik yang indah. Harian Kompas, h. 7

Yuniarto, Topan. (28 April 2014). Noda politik uang di pemilu. Harian Kompas, h. 11.

Artikle Online

Aco, Hasanuddin. (2013), Pramono Anung : Biaya caleg dpr bisa capai 20 milyar. 8 Juli 2014. http://wartakota.tribunnews.com/2013/04/23/-pramono-anung-biaya-caleg-dpr-bisa-capai-rp-20-miliar

Dariyanto, Erwin. (21 Maret 2014). Ini bahaya praktik politik wani piro. 12 Mei 2014. http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/03/21/144105/2532925/1562/ini-bahaya-praktik-politik-wani-piro

Endang. (28 Oktober 2013). Marzuki Ali: Pragmatisme rusak karakter pemuda. 6 Juli 2014. http://www.lensaindonesia.com/2013/10/28/marzuki-alie-pragmatisme-rusak-karakter-pemuda-indonesia.html

Faisal. (25 November 2011). Peran pemuda dalam meniti demokrasi Pancasila. 16 Mei 2014. http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Peran%20Pemuda%20Dalam%20Meniti%20Demokrasi%20Pancasila&&nomorurut_artikel=518

Firmanzah. (2008). Mengelola partai politik: Komunikasi dan positioning ideologi politik di era demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Fitriyah. (2013). Fenomena politik uang dalam pilkada. 10 November 2013. http://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/download/4824/4373

Ika. (26 September 2013). Politik uang masih warnai pemilu di Asia Tenggara. 26 Desember 2013. ugm.ac.id/id/berita/8264-politik.uang.masih.warnai.pemilu.di.asia.tenggara

Indikator. (12 Desember 2013). Laporan konpers rilis survey “sikap dan perilaku pemilih terhadap money politics”. 12 Mei 2014. http://www.indikator.co.id/news/details/1/41/Laporan-Konpers-Rilis-Survei-Sikap-dan-Perilaku-Pemilih-terhadap-Money-Politics-

----------. (2 Juli 2004). Politik uang dan pemenangan pemilu. 12 Mei 2014.http://antikorupsi.org/en/content/politik-uang-dan-pemenangan-pemilu-020704

----------. (2014). 313 Kasus politik uang ditemukan dalam pileg 2014. 11 Mei 2014. http://www.antikorupsi.org/id/content/313-kasus-politik-uang-ditemukan-dalam-pileg-2014

Indonesia Corruption Watch. (2014). Temuan final pemantauan politik uang pemilu legislatif 2014. 12 Mei 2014. http//antikorupsi.orgsitesantikorupsi.orgfilesdocPublikasiTemuan%20Final%20Pemantauan%20Politik%20Uang%20Pemilu%20Legislatif%202014%20ICW.pdf

Ismawan, Indra. (1999). Money politics: Pengaruh uang dalam pemilu. Yogyakarta: Media Presindo.

Jajeli, Rois. (2013). Biaya pemilihan gubernur jatim hampir 800 milyar. 8 Juli 2014. http://news.detik.com/surabaya/read/2013/05/08/153345/2241234/466/biaya-pemilihan-gubernur-jatim-hampir-rp-800-miliar

Joniansyah. (2012). Biaya pemilihan bupati tangerang rp 60 milyar. 8 Juli 2014. http://www.tempo.co/read/news/2012/07/13/064416749/Biaya-Pemilihan-Bupati-Tangerang-Rp-60-Miliar

Kawiyan. (2010). Begitu mahalnya menjadi bupati. 8 Juli 2014. http://nasional.inilah.com/read/detail/490041/begitu-mahalnya-menjadi-bupati

Kemendagri. (2013). Daerah otonom (provinsi, kabupaten, dan kota) di indonesia per desember 2013. 8 Juli 2014. http://otda.kemendagri.go.id/images/file/data2014/file_konten/jumlah_daerah_otonom_ri.pdf

Kumoro, Heru Sri. (26 April 2014). Uang, anomali pemilihan umum kita. 27 April 2014. http://nasional.kompas.com/read/komentar/2014/04/26/1638430/Uang.Anomali.Pemilihan.Umum.Kita

Prayitno, Adi. (8 April 2014). Menyoal money politics. 28 April 2014. http://pemilu.sindonews.com/read/2014/04/07/114/851657/menyoal-money-politics

Puji, Siwi Tri, B. (16 November 2010). Ketua KNPI Sulteng divonis setahun penjara. 28 Mei 2014. http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/hukum/10/11/16/146929-ketua-knpi-sulteng-divonis-setahun-penjara.

Purniawan, Arif. (2012). Anggaran pilgub jateng disepakati rp746 m. 8 Juli 2014. http://m.sindonews.com/read/660772/28/anggaran-pilgub-jateng-disepakati-rp746-m

Radar Jatim. (2013). Biaya kampanye calon gubernur jatim mencapai angka 750 miliar. 8 Juli 2014. http://radarjatim.com/biaya-kampanye-calon-gubernur-jatim-mencapai-angka-750-miliar/

Rakyat Merdeka. (2013). Capres butuh 7 triliun rayu 70 juta pemilih. 8 Juli 2014. http://www.rmol.co/read/2013/08/19/122384/Capres-Butuh-7-Triliun-Rayu-70-Juta-Pemilih-

Sabili, Muhtadin. (28 Oktober 2011). Intrik & politik uang di kongres KNPI undang keprihatinan ketum PB Pemuda Muslimin Indonesia. 6 Juli 2014. http://politik.kompasiana.com/2011/10/28/intrik-politik-uang-di-kongres-knpi-undang-keprihatinan-ketum-pb-pemuda-muslimin-indonesia-407471.html

Saifullah, Muhammad. (18 Januari 2012). Money politics (politik uang) dalam kacamata Islam. 19 Juni 2014. http://onniesandi.wordpress.com/2012/01/18/money-politics-politik-uang-dalam-kacamata-islam/

Satyagraha. (2013). Rp 16 triliun, biaya pemilu 2014. 8 Juli 2014. http://www.antaranews.com/berita/363483/rp16-triliun-biaya-pemilu-2014

Solicha, Zumrotun. (2014). Pengamat: Politik Uang Bayangi Pemilu 2014. 8 Juli 2014. http://antarajatim.com/lihat/berita/129565/pengamat-politik-uang-bayangi-pemilu-2014

Susilo, Nina, & Hernowo, M. (17 Juli 2008). Politik uang dan demokrasi kita. 10 November 2013. http://nasional.kompas.com/read/2008/07/17/0042470/politik.uang.dan.demokrasi.kita

Zey. (27 november 2013). Aksi borong OKP buktikan pragmatisme pemuda. 28 Mei 2014. http://mediabanten.com/content/aksi-borong-okp-buktikan-pragmatisme-pemuda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun