Mohon tunggu...
Aly Taufiq
Aly Taufiq Mohon Tunggu... Guru - Pemuda biasa yang selalu bahagia

Pemuda biasa yang selalu bahagia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fenomena Politik Uang dan Keterlibatan Pemuda

9 Januari 2015   09:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:30 5191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

1

sumber : Indikator, 2013

Oleh sebab itu, politik uang menjadi tema yang penting untuk dibahas lebih-lebih dikaitkan dengan unsur pemuda yang menjadi tonggak utama pembangunan demokrasi di Indonesia. Tulisan ini membahas fenomena politik uang serta keterlibatan pemuda sebagai agen politik uang dalam konteks pemilihan anggota legislatif di Bojonegoro pada tahun 2014.

PEMBAHASAN

Politik uang sering disebut dengan berbagai macam istilah. Di banyak tempat di Indonesia ia dikenal dengan “serangan fajar”; di Bojonegoro disebut “uang saku berangkat ke TPS” atau “uang ganti waktu kerja”; di perkampungan di Ciputat, Tangerang Selatan, disebut dengan “gerakan jangkrik”; sementara di Papua Nugini dikenal sebagai “malam setan”, di Thailand sering disebut dengan“the night of the barking dogs” (Ika, 2013).

Money politic dalam bahasa Indonesia (1994) adalah suap. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut uang sogok. Menurut Yusril, money politic adalahmempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi (Ismawan, 1999). Secara umum money politic biasa diartikan sebagai upaya untuk memengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan money politic sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan.

Politik uang adalah suatu bentuk pemberian atau janji untuk menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pemberian bisa berupa uang maupun barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader, atau bahkan pengurus partai politik menjelang pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang atau sembako kepada masyarakat dengan tujuan menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan (Wikipedia).

Menurut Fitriyah (2013), politik uang adalah uang yang ditujukan dengan maksud-maksud tertentu, seperti untuk melindungi kepentingan bisnis dan politik tertentu. Politik uang bisa juga terjadi ketika seorang kandidat membeli dukungan partai politik tertentu atau membeli suara dari pemilih untuk memilihnya dengan iming-iming imbalan yang bersifat finansial. Politik uang bisa juga terjadi ketika pihak penyandang dana berkepentingan bisnis maupun politik tertentu.

Money politic adalah semua tindakan sengaja untuk memberi atau menjanjikan uang atau materi lainya kepada seseorang supaya ia tidak menggunakan hak pilihnya, memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu (Saifullah, 2012).

Penyebab Terjadinya Politik Uang

Beberapa ahli memberikan analisis terkait sebab-sebab terjadinya politik uang, di antaranya bisa dibaca di bawah ini:

a.Sistem Proporsional Terbuka

Oleh sebagian kalangan, sistem proporsional terbuka dianggap paling ideal sebagai wujud keterwakilan rakyat. Sistem ini bisa menciptakan kompetisi di antara sesama caleg dalam satu partai—bahkan dianggap lebih demokratis di internal partai,—mengikis sistem oligarki partai, dan bisa menghasilkan calon terpilih yang lebih bertanggung jawab kepada konstituennya. Melalui sistem ini hanya caleg yang meraih dukungan penuh dari rakyat yang bisa duduk di kursi legislatif.

Namun sistem proporsional terbuka justru tidak mendidik masyarakat karena membuka peluang terjadinya praktik money politic dan membuat biaya kampanye semakin mahal. Penerapan putusan MK tersebut menjadikan pemilu 2009 terburuk sepanjang sejarah. Sistem tersebut, menurut beberapa ahli, juga menimbulkan persaingan tak sehat (Effendy, 2012).

Pernyataan di atas sejalan dengan pandangan Muhtadi (2014). Menurutnya, desain kelembagaan yang membuat sistem proporsional terbuka yang berbasis pemilih personal dan kandidat menyebabkan maraknya politik uang (Kumoro, 2014). Persaingan antarcaleg semakin terbuka, kesempatan meraih kursi antara caleg nomor urut 1 dan nomor urut 2 sama. Karena itu, segala daya yang dimiliki caleg dikerahkan untuk memobilisasi dukungan, baik dengan pengaruh ketokohan maupun finansial.

b.Deideologisasi Politik

Thohari (2014) mengulas tentang asal muasal pergeseran politik ideologi ke politik non-ideologi yang berorientasi pemecahan masalah dan pragmatisme. Menurutnya, dulu, untuk menghindari konflik-konflik ideologi yang cenderung keras, seperti yang dominan dalam dua dasawarsa setelah kemerdekaan, diberlakukan kebijakan deideologisasi politik, terutama, antara lain, melalui asas tunggal.

Deideologisasi pada perkembangannya bersifat eksesif dan depolitisasi. Partai-partai politik dilarang menonjolkan ideologi dalam setiap kontestasi transisi kekuasaan, apalagi bersifat ideology-oriented, tetapi harus tampil dengan pendekatan program dan penyelesaian masalah. Kebijakan ini, sekilas memang berhasil. Konflik-konflik keras ideologi hampir tak pernah terjadi hingga Orde Baru tumbang. Namun pada era reformasi, tokoh-tokoh politik baru bermunculan serta berupaya menghidupkan kembali ideologi partai dari kuburnya, meski eksperimen ini gagal. Partai-partai ideoligis justru terlempar di era reformasi. Beberapa partai yang bisa bertahan adalah partai yang mengklaim dirinya terbuka, lintas ideologi, etnis, budaya, dan agama (Thohari, 2014).

Menurut Thohari (2014), pergeseran dari politik ideologi ke non-ideologi ternyata kini jadi eksesif, yaitu berkembangnya pragmatisme politik. Tidak ada lagi perjuangan ideologi dalam politik, tetapi perjuangan kepentingan. Pengertian “kepentingan” mengalami reduksi dan distorsi sedemikian rupa menjadi sekadar kepentingan materi dan uang. Inilah akar politik transaksional yang kini menyelimuti perpolitikan di Indonesia.

c.Semakin Menguatnya Mental Materialisme dan Konsumerisme.

Menurut Firmanzah (2008), politik uang terjadi karena semua elemen yang terlibat dalam urusan politik memandang penting materi. Segalanya harus dapat diuangkan dan dijadikan objek. Hal-hal yang bersifat ideologi, program kerja, nilai, dan norma politik menjadi kurang relevan. Baik pemilih maupun kontestan sama-sama menekankan aspek materi. Pemilih di Indonesia, misalnya, sangat tidak peduli dengan hal-hal yang berbau abstrak ideologis dan program kerja partai. Semangat pragmatisme membuat dunia politik semakin menjauh dari wacana ideologi. Menyadari bahwa ideologi sukar sekali dicerna dan diimplementasikan membuat politikus hanya berkutat dengan hal-hal yang bersifat riil.

Faktor lain yang mengakibatkan tumbuh suburnya politik uang, menurut Firmanzah (2008), adalah merasuknya semangat konsumerisme dalam aktivitas politik. Konsumerisme yang dimaksud adalah suatu sifat dan karakter yang menekankan aktivitas konsumsi.

Saat ini, masyarakat menilai manusia dan individu berdasarkan objek yang dikonsumsi. Semakin mahal dan gemerlap objek yang dikonsumsi, semakin tinggi nilai individu atau manusia tersebut dalam struktur dan interaksi sosial bermasyarakat. Inilah yang sekarang menghinggapi para politikus. Tekanan untuk mendapatkan objek yang bernilai tinggi membutuhkan sumber finansial yang mahal. Akibatnya, berpolitik untuk berkuasa dan mendapatkan akses sumber daya finansial tidak jarang dipraktikkan dalam dunia politik. Sementara itu, nilai dari calon atau kandidat lebih diukur dengan seberapa besar kemampuan finansial mereka. Kemampuan manajerial yang terekam dalam ‘track record’ tidak terlalu diperhatikan, sejauh si calon dan kandidat memiliki kekuatan finansial yang besar (Firmanzah, 2008)

Belakangan ini kita sering melihat calon atau kandidat “menebar pesona” dengan kelebihan harta dan uangnya. Aksi bagi-bagi uang di jalanan dalam beberapa kasus malah menjadi kebanggaan tim sukses dan calon. Justru yang tidak melakukan politik uang dianggap pelit dan tak baik hati.

d.Minimnya Komunikasi Partai Politik kepada Rakyat

Asrinaldi (2014) menengarai maraknya politik uang disebabkan pola komunikasi partai politik dengan masyarakat hanya massif pada saat menjelang pemilu saja. Setelah pemilu usai, masyarakat dibiarkan dan bahkan tidak ada komunikasi sama sekali sehingga masyarakat menjadi alergi dengan ide-ide dan gagasan serta ideologi partai politik.

Partai politik maupun kader partai selama ini tidak pernah membangun komunikasi yang intensif kepada masyarakat sehingga ketika kader politik hadir sebagai caleg, masyarakat tidak mengenal. Karena itulah, pola yang digunakan untuk mobilisasi suara adalah uang. Kondisi berbeda terjadi jika kader partai mempunyai ikatan emosional yang baik dengan masyarakat. Maka secara otomatis masyarakat akan mau memilihnya tanpa ada imbalan tertentu.

Karena tidak ada ikatan psikologis maupun ideologis dengan partai politik atau calon, relasi transaksional dengan partai politik menjadi satu-satunya pendekatan yang digunakan oleh masyarakat. Bisa jadi masyarakat berbuat demikian sebagai kompensasi dukungan yang diberikan. Jika mengharapkan kompensasi program ataupun kemanfaatan jangka panjang, masyarakat seolah lelah dengan penantian-penantian dan bosan dengan janji-janji. Apalagi janji-janji itu keluar dari seseorang yang baru ia kenal dan tak ada rasa saling percaya.

e.Politisi Selalu Menggunakan Uang untuk Memobilisasi Dukungan

Harian Kompas dalam jajak pendapatnya menyimpulkan bahwa salah satu faktor yang memengaruhi maraknya praktik politik uang adalah caleg selalu menggunakan uang untuk memobilisasi pemilih. Dalam catatan harian ini, di Palopo, Sulawesi Selatan, polisi menangkap orang membawa uang pecahan Rp10.000 dan Rp50.000 yang akan dibagi-bagikan menjelang pencoblosan. Hal serupa terjadi di Seruyan, Kalimantan Tengah. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kalimantan Tengah menyebut salah satu tim sukses caleg DPRD Seruyan ditangkap karena membagi-bagikan uang. Dari tangannya diamankan Rp1,5 juta (Yuniarto, 2014).

Berbagai praktik yang berbau politik uang ini, baik yang dilakukan langsung maupun tidak langsung, tersamar atau terang-terangan, membuat politik menjadi mahal. Biaya yang dikeluarkan seorang calon kepala daerah di Jawa, sejak berniat mencalonkan diri hingga pilkada usai, diyakini lebih dari Rp100 miliar. Padahal gaji gubernur, lengkap dengan berbagai tunjangannya, sebulan kurang dari Rp100 juta—atau hanya Rp1,2 miliar setiap tahun. Defisit “investasi” itu bisa memunculkan korupsi dalam jabatan.

f.Lemahnya Regulasi Pengelolaan Keuangan Partai Politik

Di Nigeria, sebab utama terjadinya praktik politik uang secara besar-besaran adalah karena tidak adanya undang-undang yang mengatur secara ketat tentang keuangan partai politik sehingga memungkinkan partai politik dan politisi menggunakan uang untuk memobilisasi pemilih dan meraih sebuah jabatan tertentu (Adetula et al., 2008).

Sebagian besar negara-negara Eropa telah mengambil langkah-langkah untuk mengatur partai politik dan pembiayaan kampanye dengan undang-undang tentang keterbukaan keuangan. Partai diminta untuk melaporkan sumbangan yang diterima, termasuk asal usul sumbangan, jumlah, dan pengeluaran partai. Beberapa negara telah melarang beberapa jenis sumbangan yang dianggap lebih rentan terhadap korupsi, seperti sumbangan dari perusahaan-perusahaan besar. Cara lain ditempuh dengan memperpendek masa kampanye dan memberikan subsidi untuk sosialisasi di media. Hanya dua dari 25 negara yang dinilai tidak memiliki aturan yang mengikat apa pun untuk mengatur sumbangan politik, yaitu Swedia dan Swiss (Mulcahy, 2012).

Beberapa negara Eropa, seperti Belgia, Estonia, Perancis, Hungaria, Latvia, Lithuania, Polandia, dan Portugal telah menerbitkan larangan lengkap tentang sumbangan perusahaan. Meskipun peraturan pembiayaan partai di sebagian besar negara-negara Eropa diperketat, namun tidak semua diikuti dengan penegakan hukum yang efektif. Penilaian nasional mengungkapkan bahwa hukum sering dilanggar dengan imunitas. Agar hukum menjadi efektif, penting dibentuk badan pengawas independen yang diberi wewenang melakukan pengawasan dan memberikan sanksi. Di sejumlah negara, banyak ditemukan lembaga penegak pembiayaan politik melemah. Ini khususnya menjadi masalah di Yunani dan Belanda (Mulcahy, 2012).

Sebaliknya, di Polandia, Komisi Nasional Pemilihan mengendalikan keuangan partai politik. Partai politik akan diberi sanksi berat jika tidak memenuhi kewajiban transparansi. Beberapa partai politik, termasuk Partai Petani Polandia, Partai Demokrat, Serikat Buruh, dan Sosial Demokrasi Polandia, mendapat pelajaran yang menyakitkan tentang ketidakpatuhan ini. Mereka kehilangan hak untuk menerima subsidi publik selama tiga tahun sebagai akibat dari laporan keuangan mereka ditolak (Mulcahy, 2012).

Bailey (2004) menyimpulkan bahwa keterlibatan pihak luar dalam sumbangan dana kampanye politik sangat mengkhawatirkan. Oleh sebab itu, ia pun menyarankan agar terdapat regulasi keuangan politik secara ketat karena sumbangan dari pihak lain akan sangat mampu memengaruhi kebijakan.

Di beberapa negara, termasuk Indonesia, biaya politik sangat mahal. Sebagaimana digambarkan oleh Deny (2006) dalam “Uang dan Politik”, di negara kaya seperti Amerika Serikat, seorang calon tidak dapat membiayai pengeluaran pemilu sendirian. Pemilihan kongres, gubernur, dan presiden sudah sedemikian mahal. Untuk merebut Gedung Putih, biaya yang dikeluarkan Presiden Bill Clinton dan penantangnya, Senator Robert, sebesar US$ 80 juta. Empat tahun kemudian, calon George W. Bush dan Albert Gore menghabiskan US$ 307 juta untuk kampanye pemilihan presiden. Pada tahun 2004 pengeluaran petahana Bush dan lawannya, John Kerry, dijumlahkan lebih dari US$ 550 juta. Angka terakhir ini tidak termasuk pengeluaran oleh kelompok-kelompok advokasi dan partai politik (Stratmann, 2005).

Bagusnya, Amerika Serikat memiliki mekanisme untuk meminimalisasi pengaruh uang swasta di dunia politik. Federal Election Campaign Act of 1974 hanya membolehkan sumbangan pihak swasta kepada politisi dalam jumlah yang sangat kecil. Sumbangan perorangan kepada seorang politikus hanya boleh paling banyak US$ 1.000 (atau sama dengan Rp2,3 juta berdasarkan nilai tukar 1996). Jika menyumbang ke banyak politikus, total sumbangannya tidak boleh lebih dari US$ 25.000 (Rp57,5 juta) dalam satu masa pemilihan. Adapun sumbangan perusahaan kepada seorang kandidat dibatasi US$ 5.000 (Rp11,5 juta) (Fitriyah, 2013).

Di Indonesia, pengaturan tentang dana kampanye tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang juga memuat tentang pembatasan sumbangan dana pemilu. Namun, menurut Badoh (2010), pengaturannya tidak jelas dan mudah sekali disalahgunakan. Lemahnya regulasi ini ikut menyumbang potensi masuknya dana ilegal kepada calon dan terjadinya politik uang dalam pilkada.

Identifikasi Badoh (2010) atas lemahnya regulasi pemilukada, baik soal pengaturan dana kampanye maupun pengaturan politik uang, yang nyata-nyata gagal membentengi pemilukada dari praktik politik uang, dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 2.1 Analisis Regulasi Dana Pemilu

Prinsip-prinsip pengaturan dana politik

Pengaturan

Permasalahan

Sumber dana

Pasal 83 UU 32/2004

Pasal 83 UU 12/2008

Pasal 65 PP 6/2005

Tidak disebutkan sumbangan dari parpol sebagai badan hukum atau perseorangan

Batasan jumlah sumbangan

Pasal 83 UU 32/2004

Pasal 83 UU 12/2008

Pasal 65 PP 6/2005

 Tidak ada batasan jumlah sumbangan dari pasangan calon (paslon)

 Tidak ada batasan sumbangan dalam bentuk bukan cash (in kind) yang diterima/disetujui oleh paslon

 Tidak ada batasan jumlah sumbangan dari parpol pendukung

 Tidak ada ketentuan rinci mengenai apakah sebuah konglomerasi dapat menyumbang lewat induk perusahaan dan anak-anak perusahaan

 Tidak ada ketentuan soal utang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun