"Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan sikap suatu Negara dalam merespon fenomena tersebut. Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke manca negara, sedemikian rupa sehingga rakyat harus “membeli jam kerja” bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu “VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru”".
Pidato BJ Habibie pada peringatan hari kelahiran Pancasila, 1 Juni 2011 di Gedung MPR, benar-benar menyedot perhatian publik. Pernyataannya bahwa ekonomi Indonesia dijajah oleh VOC gaya baru, diamini oleh publik. Hasil jejak pendapat di www.detiknews.com menyebutkan bahwa 87 persen publik setuju dengan pernyataan mantan presiden ke-3 Indonesia ini, sedangan 13 persen tak setuju.
Banyak kekayaan Indonesia yang dikuasai oleh negara asing. Pengelolaan sumberdaya alam, minyak bumi, tambang, industri dan lain sebagainya, dikuasai melalui penanaman modal asing di dalam negeri. Kontrak-kontrak eksploitasi minyak bumi misalnya, terang-terang merugikan ekonomi nasional. Bagi hasil yang tak seimbang antara yang diberikan pada negara dan dibawa oleh perusahaan asing, terasa jomplang.
Kritik BJ Habibie ini sangat relevan, untuk mendorong kemauan dan keberanian pemerintah dalam melakukan negosiasi ulang terhadap beberapa proyek pengelolaan sumberdaya alam yang dikuasai oleh perusahan asing. Globalisasi tak bermakna menghalalkan neokolonialisme ekonomi kembali. Perdagangan bebas dan kerjasama ekonomi lainnya, untuk meningkatkan daya saing ekonomi nasional. Mau tidak mau, bangsa ini harus mandiri secara ekonomi dengan mengembangkan investasi dalam negeri, melindungi produk dalam negeri, dan membebaskan diri dari hutang luar negeri.
Bangsa ini belum menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang signifikan. Dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi di kisaran 6,5 persen, dan pemusatan perkembangan ekonomi di Jakarta dan sekitarnya, bangsa ini belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Cita-cita Indonesia menjadi "macan Asia" masih jauh. Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Vietnam yang lebih berpeluang menjadi yang terdepan di kawasan Asia ini.
Indonesia sebenarnya, memiliki potensi yang jauh lebih besar dari negara-negara tersebut. Yang jadi soal, bangsa ini tak punya keberanian yang cukup untuk mengelola kekayaan alamnya sendiri, gagal memaksimalkan sumber daya manusia sendiri, bergantung pada asing, dan terlilit oleh korupsi yang memiskinkan bangsa ini. Benar-benar disayangkan, negeri yang kaya raya tak mampu diolah dengan baik demi kesejahteran dan kemakmuran bersama.
Andai bangsa ini berada di tangan-tangan yang bertanggungjawab, kesejahteraan dan kemakmuran bersama tidaklah terlalu sulit. Bangsa ini memiliki luas wilayah 5.200.000 KM2. Penduduk berjumlah 220 juta jiwa. Pemerintah demokratis terbesar di dunia. Dan, sejarah masa lalu yang gemilang di bawa Kerajaan Sriwijaya dan Mojopahit, dan seterusnya. Potensi-potensi tersebut, tinggallah potensi bila yang mendapatkan mandat rakyat secara langsung tak pernah serius untuk membangun ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan dan gotong royong.
Amanah konstitusi ini gagal diartikulasi dalam kebijakan ekonomi yang pro rakyat. kiblat ekonomi nasional tetap sistem kapitalisme yang merupakan bentuk lain dari neokolonialisme. Asing bisa menguasai dan mengeruk keuntungan dari dalam atas nama liberalisasi dan privatisasi. Pemerintah haram memberikan proteksi terhadap kekuatan ekonomi nasional. Koperasi dan UKM hanya gincu pemanis dari sistem konglomerasi nasional dan internasional. Kekuatan ekonomi ini yang menguasai lebih dari 94 persen kegiatan ekonomi nasional.
Walaupun secara anatomik, pelaku ekonomi nasional terdiri dari 3 kekuatan. Sejatinya, sektor pemerintah dan sektor swastalah yang dominan menjadi lokomotif ekonomi nasional. Kecilnya sumbangsih koperasi dan UKM tak lepas dari kurangnya daya dukungan kebijakan dan anggaran terhadap sektor yang mesti jadi sokoguru ekonomi nasional ini. Kesadaran berkoperasi masyarakat yang rendah, dan penyalahgunaan kekuasaan pengurus koperasi dan penyelewengan dana yang memperparah kondisi koperasi. Sektor ini hanya menyumbangkan 6 persen bagi pergerakan roda ekonomi nasional.
Ketimpangan sektoral pelaku ekonomi ini dipengaruhi oleh hegemoni sistem ekonomi kapitalisme yang merajai dunia. Ekonomi dunia dikendalikan oleh pemilik modal besar. Mereka para konglomerat yang menguasai kekayaan dunia tak kurang dari 75 persen. Selebihnya, yang 25 persen kekayaan dunia ini baru dikuasai oleh 75 persen penduduk di seluruh belahan dunia.
Gonjang-ganjing ekonomi lantaran krisis finansial global, langsung atau tak langsung akibat krisis finansial koorporasi internasional. Semua negara tanpa terkecuali terkena getahnya. Indonesia juga demikian adanya. Walaupun, gempanya tak begitu terasa di Tanah Air, bila dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia.
Yang berbeda dari Indonesia, sebaran usaha dan bisnis lebih luas di kalangan pelaku. Jumlah mereka lumayan besar mencapai 50 juta unit usaha di seluruh Indonesia. Sedang, para konglomerat jumlahnya tak lagi sebesar pada era Orde Baru dan menjadi tumpuhan ekonomi nasional dalam mengentas pengangguran, kemiskinan dan keterbelakangan. Jusuf Kalla meyakinkan, daya tahan ekonomi nasional dari terpaan krisis finansial global karena kondisi makroekonomi jauh lebih stabil, baik dan menghasilkan.
Pengusaha nasional, regional dan lokal harus diberi tempat khusus dalam menggerakkan roda ekonomi nasional. Berbagai privilage seperti pemotongan pajak, pembebasan bea masuk, paket kebijakan insentif lainnya diberikan kepada pengusaha dalam negeri, sehingga mampu bersaing dengan pengusaha luar negeri. Kebijakan ini sama-sama lazim dilakukan oleh negara manapun di dunia untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan ekonomi nasional. Amerika, China, Jepang, India dan lain sebagainya juga menerapkan kebijakan ini untuk melindungi ekonomi dalam negeri di tengah-tengah globalisasi ekonomi sekarang.
Globalisasi ekonomi benar-benar mengerikan. Pangsa pasar negara-negara berkembang dikuasai oleh produk-produk luar negeri, hatta produk kecil sekalipun. Di Indonesia misalanya, tusuk gigi yang berbahan kayu atau bambu, dikuasai produk China. Padahal, bahan mentah dari produk ini melimpah ruah di alam Indonesia. Lalu kemana pengrajin, pengusaha, dan pemerintah mendaulatkan tusuk gigi lokal dalam negeri sendiri?
Indonesia yang terkenal sebagai "negara agraris" dan 80 persen penduduknya bermatapencarian sebagai petani, juga tak mampu mendaulatkan produk-produk pertaniannya di dalam negeri sendiri. Bangsa ini ternyata pengimpor besar beras, gula, buah, daging, dan produk pangan lain, yang membuktikan kemerdekaan masih jauh dari negeri ini. Kemerdekaan masih dalam pengertian politik, sedang dalam pengertian ekonomi masih belum.
Singkat kata, kritik BJ Habibie harus ditempatkan sebagai semangat anak negeri untuk merdeka kedua kalinya. Kemerdekaan ekonomi, kedaulatan produk dalam negeri, kemandirian usaha dan modal dari dalam negeri, pengusaha yang berjiwa nasionalis sejati, pasar yang cinta produk dalam negeri, dan pemerintah yang pro sistem ekonomi demokrasi. Ini adalah garis besar meraih kembali kemerdekaan ekonomi Indonesia, dan ikhtiar untuk menentang penjajahan gaya baru dalam bidang ekonomi. Pembukaan UUD 1945 mengamanahkan, kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan penjajahan harus dihapuskan di atas dunia. Semoga!
*Moch Eksan, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Nurul Islam 2 Mangli Jember, dan Pesantren Alam Padepokan Aziziyah Sadeng Lewissadeng Bogor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H