Mohon tunggu...
Mobit Putro W.
Mobit Putro W. Mohon Tunggu... Dosen - Bergelut dengan bahasa

Hidup itu bukti sebuah kematian....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Secuil Cerita Tentang Susahnya Menemukan Pejabat Sekaliber Dr. Adyatma, MPH (Bagian 1)

25 Juni 2012   07:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:33 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai upaya mencari pembelajaran kita bersama, nampaknya kita perlu untuk menengok karakter tokoh pendahulu. Bukan untuk berbalik mengangisi sejarah, namun sejaran adalah sesuatu yang terjadi sebelum hari ini dan layak untuk dijadikan cermin dan batu pijakan untuk melangkah ke depan.

Saat Indonesia tidak mampu menciptakan tokoh panutan, serring kita merasa rindu ketika kita mendengar tokoh tertentu yang berjuang tanpa pamrih dan mampu membangun ikon peradaban pada jamannya. Sehingga kita rindu dan benar-benar tidak bisa menemukan sosok sosok yang berkarakter dan layak menjadi panutan bersama.

Kemarin ketika sedang beristirahat dari kegiatan pembelajaran, saya ngobrol ngalor ngidul dengan seorang pembelajar sejati. Bapak yang satu ini memang luar biasa, karena dalam usianya yang tidak muda lagi (62 tahun) semangat belajarnya begitu menggelora. Tidak saja hanya mendengarkan materi yang dibahas, tetapi beliau begitu berupaya keras untuk meresapi dan tentu mempraktekkan sesuatu yang dipelajari.

Besar di salah satu departemen, sejak tahun 1975, beliau benar-benar mengikuti kondisi pada bidang yang ditekuninya, kesehatan khususnya malaria. Sehingga ketika berbicara tentang vector malaria, beliau tahu betul A-Z. termasuk daerah-daerahyang potensial berkembangnya malaria itu.

Dalam obrolan santai itu tentu banyak yang terungkap tentang pribadi Pak Adyatma, sebagai petinggi Departemen Kesehatan kala itu. Pejabat Menteri Kesehatan tahun pada tahun 1988-1993 itu benar-benar sosok yang patut ditauladani oleh pejabat atau kita semua.

Ada beberapa poin penting yang bisa saya tulis di sini (secara bersambung) untuk menjadikan pelajaran bagi kita semua, dan mungkin para pejabat yang saat ini lebih mengukur kesuksesannya dari pencapaian harta dan kekayaan. Dalam kebanyakan benak kita, mungkin sinyalemen ini benar adanya. Bahwa seorang pejabat itu harus memiliki rumah yang besar yang jumlahnya tidak hanya satu, namun dua, tiga, empat atau lima, dan seterusnya.

Pun seorang pejabat apalagi seorang dirjen, misalnya harus memiliki banyak mobil mewah yang menjadi symbol kesuksesannya dalam menjalankan tugas. Kehidupan menjadi lebih praktis, dan ukurannya hanya benda-benda seperti itu.

Factor kesederhanaan Adyatma ketika itu sekali lagi layak untuk terus dikembangkan di era “hedonism” saat ini. Beliau adalah sosok yang jujur dan hingga saat ini tidak ada yang mampu menggantikan, utamanya di Departemen Kesehatan sendiri.

Anda bisa bayangkan betapa sederhananya beliau. Ketika menjabat sebagai dirjen, beliau belum memiliki rumah, sehingga ketika masa pension harus mengajukan meminjam rumah dinas yang selama ini didiami, di kawasan Rumah Sakit Persahabatan ketika itu. Permohonan meminjam itu dikarenakan karena anaknya agar menyelesaikan pendidikannya di Jakarta sehingga dekat dengan kampus.

Pensiun dininya itupun juga atas dasar penyakit yang dideritanya ketika itu, agar perannya tidak merugikan Negara, sehingga harus mengundurkan diri karena merasa tidak maksimal dalam bekerja. Mungkin beliau ketika itu berpikir untuk apa saya menjalankan tugas dengan kesehatan yang tidak maksimal. Dengan kata lain mungkin istilah sekarang makan gaji buta.

Setelah beberapa saat mundur, kemudian diketahui bahwa rumah dinas itu masih ditempati anak beliau, petugas ketika itu berang. Sehingga harus berbuat agar rumah itu dapat dimanfaatkan oleh yang berhak. Akhirnya pejabat ketika itu berkirim surat "protes" kepada Menteri yang sedang menjabat.

Karena itu masa pergantian mentri, dengan sendirinya surat itu belum dibaca oleh pejabat yang bersangkutan, namun sempat tertahan karena proses pergantian pejabat. Karena prestasi dan ketauladanannya, Adyatma yang ketika itu tidak menjabat sebagai pejabat Negara sedang bepergian ke luar negeri.

Ketika pulang ke tanah air, terjadilah pergantian sejumlah menteri dari Kabinet Pembangunan IV kepada Kabinet Pembangunan V. Presiden Suharto ketika itu menunjuk Adyatma, MPH sebagai menteri yang baru dan menggantikan Dr. Soewardjono Surjaningrat sebagai Menteri Kesehatan kala itu untuk masa jabatan tahun 1988 hingg 1993.

Saat itu menteri Kesehatan sudah dijabat oleh Adyatma, sehingga segala kebijakan dan surat-surat penting yang ditujukan kepada Menteri sebelumnya akan melewati Adyatma. Pun demikian, surat yang ketika itu dikirimkan oleh Dirjen kepada Menteri Kesehatan yang memprotes rumah yang dipinjam oleh Adyatma selama belum memiliki rumah. Dan baru ketika menjadi menterilah, beliau diberi rumah oleh pemerintah.

Surat itu akhirnya sampai di meja sang Menteri. Sebagai menteri, Adyatma sendirilah membaca surat yang ditulis anak buahnya untuk memprotes kejelasan rumah dinas tersebut. Mungkin kita bisa membayangkan kejadian ketika itu. Bagaimana reaksi sang Menteri dan pengirim surat. Tetapi karena kebijakan Adyatma, kejadian itu tidak terendus oleh banyak pihak sehingga tidak terjadi hal-hal yang dikhawatirkan.

Pertanyaannya masihkah kita mendengar para pejabat kita, yang seperti beliau?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun