Mohon tunggu...
Mobit Putro W.
Mobit Putro W. Mohon Tunggu... Dosen - Bergelut dengan bahasa

Hidup itu bukti sebuah kematian....

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pemicu Terorisme Itu ......

28 September 2011   03:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:33 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Sebagai warga negara yang baik dan rindu akan ketenangan kita bosan mendengar aksi-aksi yang tidak manusiawi. Aksi-aksi tidak manusiawi itu dapat dilakukan oleh siapa saja yang menghendaki kehidupan ini kacau balau. Tidak hanya aksi-aksi teroris yang terkait dengan pengemboman yang sedang terjadi baru-baru ini. Namun banyak sekali aksi-aksi tidak manusiawi lain yang begitu merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.

Aksi terorisme menjadi bahasan hangat karena memang bersentuhan dengan ranah psikologis sosial, menyangkut agama tertentu. Stigma terorisme, khususnya di Indonesia, menjadi langganan agama tertentu, kelompok tertentu, atau tokoh tertentu.

Pelurusan stigma itu harusnya menjadi pekerjaan rumah media, yang selalu lebay dan bombastis ketika memberitakan terorisme. Berita demi berita dibuat terkadang dengan dibumbui opini-opini pembuat berita yang terkadang tidak sehat dan tidak adil dalam pemberitaan.

Saya setuju, kalau salah satu Kompasianer bisa memposisikan diri sebagai pengayom. Pengayom dalam arti mampu memberikan keterangan atau pendapatnya yang objektif dalam memandang permasalahan. Dan tentunya untuk bersikap seperti itu sangat tidak mudah, tergantung pengalaman dan kedewasaan yang bersangkutan dalam menghadapai masalah.

Aktifitas teror di negeri ini sebetulnya tidak hanya tindakan yang dilakukan oleh aksi peledakan bom. Aksi-aksi lain yang juga terus harus diwaspadai misalnya korupsi, kekerasan terhadap sebuah profesi, pemerkosaan (baik fisik maupun opini), pelecehan-pelecehan seksual, dan apa saja yang membuat hidup ini tidak tentram.

Namun sayangnya, sekali lagi peran media yang berlebihan dalam pemberitaan, kadang membuat situasi negeri ini semakin runyam. Tidak hanya yang objektif saja yang disampaikan, terkadang mereka juga menjadi sangat subyektif sehingga menjadi teroris-teroris terlindungi terhadap masyarakat karena pemberitaannya.

Karena dengan tindakan penyiaran yang membabi buta itu, masyarakat menjadi resah, galau, kacau, tidak nyaman dan malah terpojok. Sehingga model pemberitaan seperti itu akan menjadi teror yang mengerikan bagi masyarakat.

Terkait dengan terorisme yang sementara ini dialamatkan pada agama tertentu, itupun sejatinya juga teror kepada para penganutnya, sehingga mereka tidak nyaman hidup di negeri ini. Hanya ulah perorangan tetapi banyak yang menggeneralisir hingga seakan-akan semua penganutnya seperti itu. Dalam hal ini sekali lagi terjadi ketidak adilan.

Dilihat dari perspektif kriminalisme, tindakan Ahmad Yosepa, terduga pengebom di Keponten Solo, tidak ada bedanya dengan Breivik di Norvegia yang mengebom kantor Perdana Mentri Norwegia dan memberondong sekumpulan pemuda yang sedang menggelar perkemahan.

Selain Breivik, ada juga Timothy Mcveigh, pelaku peledakan bom di Oklohama, Amerika Serikat pada tahun 1995, seorang veteran Amerika yang menjadi penganut sekte Kristen Sempalan pimpinan David Koresh hingga menewaskan 165 orang.

Kemudian munculah Yasuo Hayashi, penganut aliran Aum Shinrikyo yang menebar gas sarin hingga menewaskan 12 orang dan melukai 6000 orang.

Aksi-akse demikian tidak bias dikatakan secara dini, bahwa mereka bergerak diperintah oleh agamnya, tetapi lebih sebagai self radicalization. Menurut Kepala Center of Excellence for National Security, Bilver Singh, self radicalization sebagai pemicu terorisme baru. (Republika, 28/09/11)

Mereka adalah pelaku teror terhadap masyarakat. Mereka berlatar belakang berbeda-beda dan dari Negara yang berbeda-beda pula. Tetapi mereka bergerak untuk membuat kekacauan di dalam masyarakat, demi hanya melampiaskan keinginan pribadi.

Teror yang terus berkembang adalah rintisan Barat yang kurang menghargai perbedaan pendapat. Mereka berpikir sekehendaknya, seakan mereka adalah negara-negara yang paling baik dan humanis. Sehingga siapapun yang berbeda pendapat dengan mereka sering mereka cap orang radikal.

Jadi radikalisme itu muncul dari persepsi Barat dan terus dibangun dan dikembangkan oleh mereka, dimana orang-orang yang berbeda pendapat dengan barat, bisa dikategorikan orang-orang radikal.

Barat sungguh tidak adil. Betapa tidak, kejahatan perang yang dilakukan terhadap Iraq beberapa tahun lalu, aksi-aksi biadab yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina, bahkan pencaplokan Palestina oleh Israel, tidak ada yang menyebutnya sebuah radikalisme dan terorisme. Sungguh naïf..

Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun