Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dalam Etiket Pompeii, Mampukah Kita Berbeda?

12 Februari 2022   09:33 Diperbarui: 12 Februari 2022   17:52 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dinding penduduk Pompeii, salah satu kota paling maksiat di Roma kuno terlukis diktum yang menjelaskan etiket makan yang benar.

Grafiti itu berbunyi: Lindungi istri tetanggamu dari pandangan mesum dan sanjungan yang melirik, dan biarkan kesopanan berdiam di mulutmu. Bersikaplah ramah dan hindari perkelahian yang menjijikkan jika kamu bisa. Jika tidak, biarkan langkahmu membawamu kembali ke rumahmu sendiri.

Sejarah seakan mengunci Pompeii dengan nada minor, kota yang dikutuk dan terkubur dalam abu vulkanik gunung Vesuvius selama 1500 tahun. Prediket sebagai kota bergelimang dosa dikaitkan dengan kemarahan Tuhan untuk membenamkan kota ini pada tahun 79 Masehi.

Pompeii di masa lalu seperti dilahirkan kembali dalam bentuk Las Vegas. Konon Pompeii adalah kota tempat berhimpun para pendosa yang disiram anggur dunia, birahi yang menggelagak, dan tempat berternak uang serta hadiah-hadiah untuk betina dari kasta budak setiba di rumah.

Ditemukan pita emas bertuliskan "dominus ancillae suae", yang berarti "dari tuan ke budak". Ini disebut-sebut sebagai hadiah dari majikan untuk menunjukkan penghargaan atas hubungan intim dari seorang budak.

Bukti-bukti aktivitas seksual sebelum Pompeii disapu gas dan abu vulkanik dalam hanya 15 menit, terlihat dari aneka pose jasad membatu serta tinggalan artefak yang bercerita banyak.

Meski demikian adanya, etiket tetap menjadi penting di sana. Sebagai sebuah sistem kesopanan unik dari entitas tertentu. Jika ditempatkan pada dunia profesi, etiket menjadi sistem norma dan nilai yang kemudian terangkum sebagai kode etik.

Kini bahkan tengah dirumuskan kode etik terhadap teknologi komputasi, robot-robot otomasi dan perangkat-perangkat berbasis AI.

Etiket pada masyarakat Pompeii terbaca absurd ketika menjaga kesopanan bagi isteri tetangga tampak lebih mulia dari pada tidak meniduri budak wanita.

Terkadang orang membenturkan etiket dan etika dalam satu wadah. Etika bersifat abstrak, absolut, memuat nilai-nilai universal, dogmatik, dan filosofis. Sedangkan etiket mengacu pada ruang dan waktu serta kohesi sosial. Etiket adalah terjemahan dari etika secara kondisional.

Etiket pada masyarakat Pompeii terbaca absurd ketika menjaga kesopanan bagi isteri tetangga tampak lebih mulia dari pada tidak meniduri budak wanita.

Dalam utilitarianisme sistem moral pada etiket dapat melemahkan nilai moral holistik pada etika, ketika membunuh satu orang dapat dibenarkan demi menyelamatkan nyawa sepuluh orang misalnya.

Jika keduanya terpisah, maka pembunuhan dalam bentuk tunggalnya adalah pelanggaran berat terhadap moral. Seperti dibela Kant dalam standar moral murni.

Sayangnya Kant terbentur pada fenomena lanjutan ketika masalah dunia semakin kompleks. Kant tidak memberi mekanisme untuk menyelesaikan konflik kebenaran. Kita kemudian melihat dualitas antara etika terapan dengan etika teoretis.

Ahli etika teoritis lebih tertarik untuk memperdebatkan sifat teori etika dan validitas penalaran mereka, sementara pakar etika terapan lebih peduli dengan penerapan teori etika pada masalah-masalah etika yang muncul dalam keseharian.

Sejauh mana kemudian kita dapat bertahan pada kebenaran etika. Apakah kita akan memasuki arus kerumunan atau bertahan pada prinsip kebenaran yang kita miliki?

Bila dilakukan eksprimen seperti pernah dilakukan psikolog Solomon Asch. Katakanlah tentang warna hijau. Sejauh mana kita dapat mempertahankan hijau adalah hijau.

Dalam sebuah eksprimen subjek memasuki ruangan bersama sekelompok orang yang sengaja dihadirkan sebagai pengecoh. Ketika dua orang diminta tampil (salah satunya adalah aktor) untuk memilih warna yang tepat, mereka disuruh memilih kartu berwarna hijau dari sejumlah kartu dengan warna berbeda.

Subjek tentu saja memilih kartu berwarna hijau, namun peserta di sebelahnya memilih warnah merah. Seluruh peserta lainnya diminta untuk memilih jawaban mana yang benar. Mereka sesuai skenario sepakat kartu merah adalah pilihan yang tepat (bias etik).

Subjek yang tidak menyadari konspirasi ini pasti akan kebingungan dan mulai meragukan kemampuan mata mereka sendiri. Dalam beberapa eksprimen serupa 75 % subyek akan takluk di bawah pandangan kelompok, meski mulanya mereka yakin itu salah.

Bayangkan bila kita adalah penduduk Pompeii 2000 tahun silam, sejauh mana kita dapat bertahan untuk tidak bertabiat seperti mereka? ~MNT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun