Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Neuroteologi, Ada Tuhan dalam Sistem Syaraf Manusia

18 Januari 2022   09:30 Diperbarui: 25 Februari 2022   16:56 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: world-religions.info

"Pekerjaan saya sudah selesai. Mengapa menunggu lagi?". Pria tua di atas kursi roda menulis pesan ini di atas secarik kertas, sebelum menghabisi hidupnya dengan satu tembakan.

George Eastman (12 Juli 1854 - 14 Maret 1932) bukan pria acak, ia adalah penemu Kodak dan nabi dalam dunia fotografi. Tersembunyi di balik personanya, ia punya jiwa yang rapuh.

Depresi menahun di atas kursi roda dari nyeri tak tertahankan akibat menderita penyumbatan sumsum tulang belakang, baginya adalah semacam rol film yang harus digunting. Tidak ada alasan untuk tetap ada.

Edwin Armstrong seorang insinyur listrik Amerika penemu radio FM menjatuhkan tubuhnya dari lantai 13 sebuah apartemen di tahun 1954 dalam usia 63 tahun. Ia dituduh memusuhi radio AM, dan berpikir bahwa radio FM akan gagal selamanya. Depresi lalu bunuh diri. 

Dunia mencatat daftar pemikir hebat yang memilih mati karena depresi. Di antaranya Alan Turing, Wallace Carothers, Nicolas Leblanc, Edwin Armstrong, dan Viktor Meyer.

Alan Turing terlalu dramatis, ia makan apel sianida di puncak depresinya, sebagai pria penyuka sejenis yang dihukum kebiri kimia dan berefek pada pembesaran payudara.

Akhir yang berat dapat dianggap manusiawi. Apalagi rerata dari mereka hidup di jalan sains. Sains yang egois dan berupaya menyepak dogma dan semua sistem kepercayaan yang menghalangi jalannya.

Prof. Paul Ehrenfest seorang ilmuan agnostik gagal menjumpai Tuhan di makmal manapun, dan berpikir untuk menempuh jalan kematian bagi menyudahi eksprimen ketuhanannya. Ia tak pernah kembali.

Ada tiga simpul utama kehidupan: agama, filsafat, dan sains. Sains dapat berlari secepat The Flash tanpa melihat kiri dan kanan. Ego dan tak peduli. Tapi filsafat dapat berlaku seperti Superman, ia bahkan lebih cepat dan lebih bijak.

Filsafat ingin merangkul agama (sebut saja seperti maha dewa Odin dari Asgard) dan sains untuk berjalan seiring. Seperti Einstein bersabda, sains tanpa agama lumpuh, agama tanpa sains buta. Einstein tak terlalu didengar, apalagi dia seorang agnostik.

Amerika pernah merilis statistik, semakin tinggi jenjang pendidikan orang Amerika, mereka mengaku semakin jauh dari Tuhan. Lulusan SMA paling kuat agamanya, sementara hampir semua lulusan doktoral mengaku ateis.

Stephen Hawking menuduh agama tidak ada dan filsafat sudah mati. Sains terjebak pada kesombongan epistemik. Hume sudah memperingatkan bahwa logika induktif sebagai jalan sains tidak mutlak mewakili kebenaran. Bila Hawking gagal menemukan Tuhan hingga ke Lubang Hitam, bukan berarti Tuhan tidak ada.

Dalam Critique of Pure Reason (1781), Immanuel Kant memberikan tantangan lain: tidak mungkin manusia membedakan antara realitas (nomena) dan persepsi mereka tentang realitas (fenomena).

Stephen Hawking menuduh agama tidak ada dan filsafat sudah mati. Sains terjebak pada kesombongan epistemik. Hume sudah memperingatkan bahwa logika induktif sebagai jalan sains tidak mutlak mewakili kebenaran. Bila Hawking gagal menemukan Tuhan hingga ke Lubang Hitam, bukan berarti Tuhan tidak ada.

Sampai pada akhirnya sains menjumpai sendiri hubungan yang sulit dipisahkan antara otak dan spiritualitas. Temuan ini disebut neuroteologi.

Dalam definisi yang paling sederhana, seperti ditulis Andrew Newberg, neuroteologi mengacu pada bidang keilmuan yang berusaha memahami hubungan antara otak dengan diri religius dan spiritual manusia .

Sisi "neuro" mencakup pencitraan otak, psikologi, neurologi, kedokteran, dan bahkan antropologi. Dan sisi "teologi" mencakup teologi itu sendiri, tetapi juga berbagai aspek yang berkaitan dengan keyakinan, sikap, praktik, dan pengalaman keagamaan.

Neuroteologi juga berkisar dari mempertimbangkan konsep yang sangat esoteris termasuk pertanyaan seputar kehendak bebas, kesadaran, dan jiwa, hingga konsep yang sangat praktis.

Seperti memahami bagaimana otak berfungsi dan hubungan antara spiritualitas dengan kesehatan fisik dan mental. Topik terakhir ini mungkin disebut "neuroteologi terapan."

Bahkan bagi mereka yang tidak beragama dan sekuler, melakukan praktik seperti meditasi dan doa diklaim dapat bermanfaat untuk mengurangi stres dan kecemasan. Andai George Eastman dan Alan Turing dapat berjumpa dengan neuroteologi lebih cepat. ~MNT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun