Manusia jatuh cinta cara romantis sejak permulaan masa. Puisi cinta Dante bahkan melampaui muatan erotisnya, ia menuju ekstase mistik. Tentang sensasi yang terserap sepenuhnya oleh sepasang mata, lalu membawanya ke paradiso.
Dalam Commedia, Dante Alighieri menarik dorongan erotis-spritualnya ke tingkat yang lain. Ia memperluas cinta itu dari hanya untuk Beatrice menuju seluruh kosmos. Kembara mistisnya mendekati kisah perjalanan Nabi Muhammad dalam Isra' Mi'raj.
Semua bermula dari gejolak mistikus dalam Islam. Sang sufi Ibnu Arabi tak dapat dibantah telah mampu menekan naluri erotisme di Barat menuju pemusatan akal. Dalam The Interprestation of Longing, Ibnu Arabi menggeser cinta seksual ke dalam pengertian cinta ilahiah.
Pewaris cara ini seperti Aquinas dan Bacon, seperti ditulis Jonathan Black, telah mencapai puncaknya. Summa Theologica dari Aquinas tak hanya dua juta kata-kata silogisme yang dipadatkan, tapi adalah sebuah kemampuan pemusatan akal tanpa henti yang akan sulit ditandingi oleh para filsuf teologis abad ini.
Lalu cinta apa yang sudah kita sampaikan kepada Tuhan? Di luar cara sufisme hanya ada pedagang yang membeli surga dengan trik pemasaran pahala, dan para budak yang terbirit-birit karena takut siksa neraka.
Kita tak sampai kepada cinta sejati itu, ketika kita hanya menghitung pahala untuk ditukar istana surga dan berimajinasi tentang bidadari yang bertelekan di atas dipan. Dan ketika kita merasa terpaksa menjadi penyembah, karena bergidik atas rencana-rencana siksa.
Para pemuka agama lebih tepat menjadi juru kampanye Tuhan agar tetap memilih-Nya. Memberi hidangan batin tentang sungai-sungai dan buahan Firdaus, dengan pelbagai metode pengumpulan pahala.
Di lain waktu mengancam pendosa dan pemilih tuhan lain tentang panas dan pedihnya lembah neraka. Akhirnya kita tak sampai, hanya seorang penghitung dosa dan pahala serta anggota tetap partai Tuhan.
Mereka tidak mengajarkan cinta sejati, tapi tentang memilih dan membela Tuhan. Mentransformasikan Tuhan ke dalam cara kolosal, ingatan kolektif imajinatif jalan pedang, mengecilkan Tuhan sebagai pemarah dari atas langit, kolektor ibadah, Tuhan puak, Tuhan klan, Tuhan yang berlindung di balik pembelaan. Di luar sejarah kembara para pemikul Tuhan, dianggap sebagai urusan malaikat penjaga neraka.
Agama menjadi kumpulan kompetisi dan selebrasi, tentang siapa yang paling megah di hadapan-Nya. Agama menjadi pilihan profesi dan pemuas narsisme para penghapal ayat yang dikelilingi umat.
Mereka memantulkan wajah kerumunan yang rindu kisah lanjutan, patahan-patahan humoris, bahkan pengulangan-pengulangan yang dimodifikasi.
Kita pada akhirnya hanyalah pemikul nampan yang berisi tumpukan pahala untuk ditukar tiket ke surga. Ada pula yang terjebak ke dalam nikmat ibadah, sebatas pengulangan ritus pemuas jiwa, bukan manifestasi cinta sebagai makhluk.
Andai Tuhan tidak menciptakan surga, masihkah kita menyembahnya? Bila tak ada neraka, kita mungkin adalah penjahat tulen yang tak lagi berpura-pura manis di hadapan-Nya.
Kita berlutut bermalam-malam di belakang altar imajinatif, bukan untuk bercumbu dengan-Nya, merasakan nikmat cinta-Nya, tapi hanya demi meminta-Nya menyelesaikan kesulitan duniawai belaka.
Mendikte Tuhan untuk mengubah takdir kita. Berdoa dengan kata seru, kalimat perintah, nasehat, dan ancaman. Tuhan jika tak Engkau kabulkan doa kami, maka....!
Bait cinta Jalaluddin Rumi telah habis sepenuhnya untuk Tuhan, tanpa bertanya apa yang akan diberikan Tuhan sebagai upah.
Pun juga Kahlil Gibran, sayap-sayap cintanya merangkul kepedihan, tanpa menagih balasan dan belas kasihan. Cinta benar-benar untuk cinta, bukan tentang apa hasil akhir dari prosesnya.
Kita telah lama memalingkan wajah dari cinta paling sejati. Kita hanya pendamba dan pemuja. Bila gagal menyinta dan saling memiliki sebagai sepasang, kita mengobati batin dengan berlagak masuk ke barisan para pecinta sejati cara profane, bahkan cinta cara Dante.
Cinta itu kekuatan. Cinta itu The Power, kata Rhonda Byrne. Bahkan Rhonda yang sohor lewat The Secret, meminjam energi cinta untuk tujuan kelimpahan. Cinta bersifat magnetis, energi, frekwensi dan getaran yang dipancarkan ke sepenuh kosmos. Alangkah dahsyatnya, jika itu diberikan sepenuh-penuhnya untuk Tuhan. ~MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H