Mereka memantulkan wajah kerumunan yang rindu kisah lanjutan, patahan-patahan humoris, bahkan pengulangan-pengulangan yang dimodifikasi.
Kita pada akhirnya hanyalah pemikul nampan yang berisi tumpukan pahala untuk ditukar tiket ke surga. Ada pula yang terjebak ke dalam nikmat ibadah, sebatas pengulangan ritus pemuas jiwa, bukan manifestasi cinta sebagai makhluk.
Andai Tuhan tidak menciptakan surga, masihkah kita menyembahnya? Bila tak ada neraka, kita mungkin adalah penjahat tulen yang tak lagi berpura-pura manis di hadapan-Nya.
Kita berlutut bermalam-malam di belakang altar imajinatif, bukan untuk bercumbu dengan-Nya, merasakan nikmat cinta-Nya, tapi hanya demi meminta-Nya menyelesaikan kesulitan duniawai belaka.
Mendikte Tuhan untuk mengubah takdir kita. Berdoa dengan kata seru, kalimat perintah, nasehat, dan ancaman. Tuhan jika tak Engkau kabulkan doa kami, maka....!
Bait cinta Jalaluddin Rumi telah habis sepenuhnya untuk Tuhan, tanpa bertanya apa yang akan diberikan Tuhan sebagai upah.
Pun juga Kahlil Gibran, sayap-sayap cintanya merangkul kepedihan, tanpa menagih balasan dan belas kasihan. Cinta benar-benar untuk cinta, bukan tentang apa hasil akhir dari prosesnya.
Kita telah lama memalingkan wajah dari cinta paling sejati. Kita hanya pendamba dan pemuja. Bila gagal menyinta dan saling memiliki sebagai sepasang, kita mengobati batin dengan berlagak masuk ke barisan para pecinta sejati cara profane, bahkan cinta cara Dante.
Cinta itu kekuatan. Cinta itu The Power, kata Rhonda Byrne. Bahkan Rhonda yang sohor lewat The Secret, meminjam energi cinta untuk tujuan kelimpahan. Cinta bersifat magnetis, energi, frekwensi dan getaran yang dipancarkan ke sepenuh kosmos. Alangkah dahsyatnya, jika itu diberikan sepenuh-penuhnya untuk Tuhan. ~MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H