Apakah kita pernah berdoa kepada Tuhan untuk mengubah dua ditambah dua menjadi bukan empat? Sekuat apapun kita berdoa, atau beribadah ribuan tahun seperti Azazil, Tuhan telah mengunci angka empat untuk dua ditambah dua. Pergilah mencapai angkat empat dengan cara lain, misalnya satu ditambah tiga, atau nol koma tujuh ditambah tiga koma tiga, tapi jangan minta diubah hasilnya.
Tuhan menciptakan kehendak bebas untuk proses dan determinasi untuk hasil. Sedangkan manusia dikutuk untuk bebas. Kebebasan akan mengirim kita ke neraka atau surga. Lalu hati ini gelisah, bukankah Tuhan omnipotent, Tuhan maha kuasa sekadar mengubah dua ditambah dua menjadi tujuh, misalnya.
Tapi tidak, Tuhan menciptakan jagat raya dengan cara matematika. Tuhan menyusun batu bata alam semesta dengan logika. Bila kita ingin menguasai suatu bangsa, kuasai bahasanya, tapi bila kita ingin bercakap-cakap dengan alam semesta, pahami bahasanya. Apa bahasa alam semesta? Metematika!. "Mathematics is the language with wich God created the universe," kata Galileo.Â
Dalam al Qamar (49), Tuhan telah mengikat imaji liar kita _karena tak punya akses ke teleskop Hubble atau mikroskop elektron_  tentang semesta. "Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (matematika)". Lalu dalam  al Furqon (2), kata Tuhan "Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya (geometri) dengan serapi-rapinya".Â
Ada sekian lusin pertanyaan tentang Tuhan. Misalnya soal kehendak bebas dan determinasi. Dalam Islam, Tuhan punya buku besar bernama Lauhul Mahfudz, sebuah kitab yang terpelihara, memuat seluruh catatan takdir dan kejadian di alam semesta. Lalu kita berlagak mengatur Tuhan dengan doa. Kita bahkan merayu Tuhan dengan sederet kalimat perintah.
Kita mendikte bahkan mengancam Tuhan, " ya Allah jika tidak Engkau kabulkan doa kami, maka.......". Bahkan kita merasa lebih tahu dari Tuhan, "ya Allah ketahuilah bahwa....."
Apakah Tuhan akan mengubah bukunya? Apakah Tuhan tunduk kepada perintah? Seluruh ruang dan waktu berada dalam konstanta dengan hubungan yang sangat rapat di setiap detilnya. Doa yang kita panjatkan hanyalah bagian dari skenerio Tuhan. Karena begitu Tuhan menulis ulang atau menyunting Lauhul Mahfudz akibat terkabulnya sebait doa, maka tatanan jagat raya akan berubah.
Ini dapat disimulasikan dalam fiksi ilmiah, tentang seorang pengendara mesin waktu yang kembali ke masa lalu untuk membuat sedikit perubahan, tapi memberi dampak besar terhadap masa depan. Percakapan tentang Tuhan, adalah dialektika, dan ini selalu berpeluang untuk disanggah. Terutama dalam pengabaian terhadap ayat-ayat tentang doa.
Dari perspektif Lauhul Mahfudz, Tuhan dipastikan telah mengunci angka empat. Kita bisa mendatangi angkat empat dengan jalan matematika apapun, selain dua ditambah dua. Tapi apapun bahasa matematika yang ingin kita tempuh untuk sampai ke angka empat, Tuhan telah menulisnya. Kita benar - benar dalam kendali Tuhan. "Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui oleh-Nya"__ al-An'am (59).
Ini yang kemudian melahirkan teori determinisme. Ia menyatakan, bahwa masa lalu, masa kini, dan depan merupakan suatu talian yang tiada putus dan tidak ada satu kondisi pun yang dapat dielakkan. Determinisme menyebut kehendak bebas adalah ilusi, serta menolak semua gagasan tentang kemungkinan dan keacakan. Determinisme di tingkat paling pasrah adalah fatalisme, suatu kondisi tanpa daya untuk lepas dari ikatan takdir.
Bila kehendak bebas adalah ilusi, apakah ilusi bisa dihukum atau dipuji? Dalam ritual syahdu untuk mencapai surga Tuhan, kita meletakkan pertanyaan ini ke tempat yang sangat jauh, agar kita tidak lagi mendengarnya. Atau kita bahkan tidak tahu ada pertanyaan seperti ini.
Surga dibuat dari asap hati yang terbakar habis. Dan orang yang diberkahi oleh Tuhan adalah orang yang hatinya telah terbakar habis, kata Jalaluddin Rumi. Dan kita telah hidup dalam zona nyaman peribadahan. Menyumbat telinga kita dari selusin pertanyaan tentang Tuhan yang kita sembah. Asyik masyuk dalam keriangan kata-kata tentang janji dan ancaman. Tentang dosa dan pahala.
Determinisme yang dianggap lebih kuno oleh kehendak bebas, mendapat sautan di dunia ultra modern. Adalah Nick Bostrom dari Universitas Oxford, Inggris, pada 2003 silam dengan berani menyimpulkan bahwa kehidupan yang kita jalani adalah sejenis simulasi komputer yang dijalankan seseorang atau sekelompok dengan kekuatan komputer super canggih.
Ilmuan lainnya Rich Terrile membenarkan dakwaan ini. Dapat dibuktikan, karena dalam beberapa dekade ke depan manusia bisa jadi entitas artifisial yang hidup dalam dunia simulasi seperti gim komputer. Ketika kesadaran berhasil ditanamkan kepada benda atau sistem, maka kita tidak lagi berbeda.
Bahkan, manusia terkaya di muka bumi, pendiri dan Kepala Eksekutif Space X, Elon Musk menimpali, manusia sebenarnya terjebak dalam eksistensi seperti film Matrix. Menurutnya, manusia merupakan bagian dari simulasi peradaban yang kuat. Manusia di bawah kendali dan pengamatan entitas yang lebih tinggi.
Menimbang alam semesta telah berusia 14 miliar tahun, Musk meyakini, ada cukup waktu bagi peradaban lain muncul sebelum manusia hadir di Bumi kurang dari 10 ribu tahun lalu.
Sebagai umat beragama, kita akan langsung memotong pembicaraan, bahwa entitas atau zat yang tertinggi itu adalah Tuhan dengan buku besar yang telah ditulis-Nya, bukan programer alien yang menunggangi UFO. ~MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H