Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kebenaran adalah Kesalahan yang Tertunda?

3 Oktober 2020   18:57 Diperbarui: 3 Oktober 2020   21:31 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menggarisbawahi Friedrich Nietzsche. Orang ini menjadi sulit dibantah secara filsafat. Sebutnya, kebenaran itu tidak ada. Anda boleh benar sampai ditemukan fakta baru. Kebenaran hanyalah kesalahan yang tertunda. Dan Nietzsche adalah orang gila yang tertunda.

Saya mencoba memahaminya begini, bila Anda bilang sedang ada di ruang X, dan faktanya Anda memang ada di sana, Anda benar. Tapi pada saat yang sama, kucing di balik tembok mengatakan Anda tidak di sana. Karena ada tembok, kucing tidak melihat fakta itu. Anda benar, sampai Anda bergeser ke ruangan lain, dan pada detik yang sama, kucing itu menjadi benar: Anda tidak ada di sana.

Bila Anda bertahan, Anda memang di sana pada jam dan menit sekian, Anda mungkin benar dalam perspektif materialisme. Lalu siapa yang bisa membuktikan Anda ada di sana. Anda sendiri? Jangan-jangan Anda sedang berhalusinasi.

Oya, jangan terlalu menempelkan kebenaran pada materialisme atau kenampakan fisik, karena materialisme adalah pintu masuk ateisme. Paragraf ini adalah semacam simulasi pikiran, apakah saya sedang menyatakan kesalahan yang tertunda, atau kebenaran yang bertahan lebih lama. Paling tidak saya mencoba keluar dari pikiran Nietzsche yang sejak pertama menggasak spritualisme.

Kebenaran dalam filsafat adalah kebenaran definitif, dan kebenaran kata Nietzsche dibicarakan dalam bingkai perspektif. Tidak ada kebenaran absolut, kecuali bila kita memasuki wilayah dogma. Karenanya selain di titik didih pada proses "membunuh tuhan" dalam Die Frohlice Wissenschaft,  Nietzsche adalah teror bagi kaum dogmatik.

Skeptis terhadap kebenaran adalah kunci tertumbuhnya kesadaran baru. Berabad-abad manusia bertahan dalam kebenaran dogma geosentris bahwa bumi adalah pusat semesta. Sampai Copernicus dan Galileo mengibarkan mataharilah pusat tata surya.

Heliosentris dalam persfektif Barat dibapaki oleh Copernicus, biarpun astronom Islam Ibn Al-Syatir adalah pelopornya. Jauh, jauh sekali ke belakang, pada 300 SM, Erathosthenes dari Alexandria sudah mengkonfirmasi, bahwa bumi ini bulat, tapi siapa yang peduli.

Di sini Nietzsche ingin bilang bahwa pengetahuan manusia tidak pernah absolut, sehingga manusia tidak butuh mengoleksi pengetahuan seperti barang antik. Pengetahuan hanyalah tafsir terhadap realitas, dan bukan realitas itu sendiri.

David Hume lebih kejam lagi, pengetahuan itu katanya bahkan tidak pernah ada. Yang indrawi bagi nabi empirisme John Locke sebagai pengetahuan yang valid, dicoret oleh Hume. Pengetahuan bagi Hume adalah kumpulan citra atau kesan. Seperti film animasi, kita melihat objek hidup dan bergerak, padahal hanyalah susunan gambar mati yang sangat rapat.

Pemikir dunia punya raksasa bernama Immanuel Kant yang mampu memadukan dua arus besar filsafat yakni empirisme dan rasionalisme, antara logika induktif dan deduktif sekaligus. Namun pikirannya dibantai oleh Nietzsche secara belum terbantahkan.

Nietzsche mematahkan Kant karena masih bermain di wilayah dogmatik, dan selalu tergoda pada angan-angan metafisis. Kant masih bermimpi tentang idealisasi moral yang tidak holistik. Kita butuh pemikir lain di atas Nietzsche untuk mendukung Kant.

Dalam arus lini masa pikiran, dogma selalu tersudut. Dulu semua penyakit dan fenomena alam dikaitkan dengan supranatural. Tidak menutup kemungkinan dogma dan metafisika terus disikut dan menyempit, sampai yang tersisa bagi kaum dogmatik adalah dogma tentang keesaan Tuhan dan wilayah transendetal yang mencakupinya.

Ilmu pengetahuan selalu punya sifat menyingkirkan Tuhan, tak terhitung berapa banyak saintis, ketika telah sampai di pucuk keilmuannya, mereka menjadi ateis, paling tidak agnostik: Stephen Hawking, Sigmund Freud, Thomas Alva Edison, Alan Turing, Karl Marx, Charles Darwin, serta Albert Einstein yang mengaku agnostik.

Nietzsche juga berbicara tentang Nihilisme. Selain tentang hidup tanpa tujuan, Nihilisme di sini juga dipahami sebagai 'kedatangan kekal yang sama -atau dalam terminologi Nietzsche: 'die Ewige Wiederkehr des Gleichen'- yang merupakan siklus berulang-ulang dalam kehidupan nirmakna, seperti datang dan perginya kegembiraan, duka, harapan, kenikmatan, kesakitan, kekhilafan, dan seterusnya.

Pada prinsipnya manusia membutuhkan pegangan dan pegangan terkuat adalah Tuhan. Tapi Nietzsche telah membunuhnya dalam alegori orang gila. Sehingga manusia tak lagi punya pegangan, ini yang menjadi pintu masuk nihilisme.

Nietzsche mengaku sebagai murid kebenaran, dan memang sulit disangkal dalam pikiran bebas manusia. Hanya dogmalah yang bisa mengucilkannya, tapi kebenaran tidak. Kebenaran di sini adalah kebenaran dalam perspektif filsafat eksistensial, sampai Tuhan harus campur tangan: Nietzsche berakhir sebagai pria patah hati dan gila. ~MNT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun