Nietzsche mematahkan Kant karena masih bermain di wilayah dogmatik, dan selalu tergoda pada angan-angan metafisis. Kant masih bermimpi tentang idealisasi moral yang tidak holistik. Kita butuh pemikir lain di atas Nietzsche untuk mendukung Kant.
Dalam arus lini masa pikiran, dogma selalu tersudut. Dulu semua penyakit dan fenomena alam dikaitkan dengan supranatural. Tidak menutup kemungkinan dogma dan metafisika terus disikut dan menyempit, sampai yang tersisa bagi kaum dogmatik adalah dogma tentang keesaan Tuhan dan wilayah transendetal yang mencakupinya.
Ilmu pengetahuan selalu punya sifat menyingkirkan Tuhan, tak terhitung berapa banyak saintis, ketika telah sampai di pucuk keilmuannya, mereka menjadi ateis, paling tidak agnostik: Stephen Hawking, Sigmund Freud, Thomas Alva Edison, Alan Turing, Karl Marx, Charles Darwin, serta Albert Einstein yang mengaku agnostik.
Nietzsche juga berbicara tentang Nihilisme. Selain tentang hidup tanpa tujuan, Nihilisme di sini juga dipahami sebagai 'kedatangan kekal yang sama -atau dalam terminologi Nietzsche: 'die Ewige Wiederkehr des Gleichen'- yang merupakan siklus berulang-ulang dalam kehidupan nirmakna, seperti datang dan perginya kegembiraan, duka, harapan, kenikmatan, kesakitan, kekhilafan, dan seterusnya.
Pada prinsipnya manusia membutuhkan pegangan dan pegangan terkuat adalah Tuhan. Tapi Nietzsche telah membunuhnya dalam alegori orang gila. Sehingga manusia tak lagi punya pegangan, ini yang menjadi pintu masuk nihilisme.
Nietzsche mengaku sebagai murid kebenaran, dan memang sulit disangkal dalam pikiran bebas manusia. Hanya dogmalah yang bisa mengucilkannya, tapi kebenaran tidak. Kebenaran di sini adalah kebenaran dalam perspektif filsafat eksistensial, sampai Tuhan harus campur tangan: Nietzsche berakhir sebagai pria patah hati dan gila. ~MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H