Menyambung Deja Vu sebelumnya, isi otak manusia tidak seperti data dalam piranti lunak yang bisa disalin ke memori eksternal atau digantung di awan (cloud storage). Ketika ingatan kita error maka kita setara seonggok CPU rusak. Bahkan mungkin kita sudah dihapus dalam statistik Tuhan, seperti orang gila tidak dicatat sebagai pendosa.
Orang gila sudah wafat pada detik terakhir kesadaran normal mereka. Tuhan mencatat kehendak bebas manusia sebagai pahala dan dosa. Man are condemned to be free. Manusia dikutuk untuk bebas, kata Jean Paul Sartre.
Sartre tidak main-main soal ini. Banyak tafsir dalam mazhab eksistensialisme yang merujuk Sartre untuk menggugat esensi manusia. Saya hanya ingin mengatakan, seseorang yang sedang menghadapi vonis hakim, akan merasakan kutukan itu, sebab ia telah dibebaskan untuk berbuat kejahatan. Ia bersuka ria, ketika kebebasan itu tidak ada, misalnya Tuhan akan memelintir tangannya, ketika mulai menarik pelatuk untuk mematikan seseorang.
Friedrich Nietzsche yang dikenal sebagai "Pembunuh Tuhan" dan memakai alegori orang gila berakhir dalam sisa hidup sebagai manusia hilang akal. Ia benar-benar gila, mungkin karena Tuhan sudah bosan dengan kenakalan pikirannya. Tapi siapa yang tak kenal Nietzsche. Jejaknya begitu banyak, dielukan sebagai murid kebenaran.
Nietzsche bukan CPU rusak biasa, karena inti pikirannya telah pindah ke lembaran kertas yang sangat dikenang. Ia menulis terlalu banyak, sebagai seorang filsuf Jerman dan ahli ilmu filologi yang meneliti teks-teks kuno, filsuf, kritikus budaya, penyair dan komposer.
Manusia memiliki piranti yang bisa menyalin pikirannya ke media apapun yang ia kehendaki. Sayang bila ini tidak digunakan. Tinggalkan serpihan memori kita ke dalam tulisan, video, audio atau karya apapun sebanyak yang kita bisa, dan hindari benturan keras di kepala.
Dengan menulis, manusia tidak hanya meninggalkan jejak pikirannya tapi juga akan berbeda. Seseorang yang pernah menulis buku akan tampak lain dengan yang tidak. Seorang professor harus mampu mencipta buku, dan jurnal internasional, tapi siapapun punya hak untuk menulis. Quote Pramoedya sudah sangat mewakili: Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Tempo purba, penyair sangat disanjung, seorang penulis Latin bernama Horace naik kelas dari anak wanita budak menjadi pesohor. Amenhotep bahkan diangkat menjadi dewa Mesir, karena ia menulis.
Kasihan Socrates, ia tidak menulis apapun sampai berakhir dengan meminum racun cemara. Socrates hidup karena jejaknya disalin oleh muridnya Plato. Eksistensi Socrates bahkan diragukan, seharusnya ia yang menulis Apologia, untuk membela dirinya, bukan Plato.
Masa lalu mengirimkan kepada kita serpihan-serpihan tulisan, agar kita bisa merekonstruksi sejarah. Tapi sayang perjalanan melampaui milenium dan abad, melewati satu saringan dan disrupsi. Bahkan hadir sebagai karya tunggal seperti Tun Sri Lanang.
Tun Sri Lanang misalnya, mengirim kitab Sejarah Melayu bertitel Sulalatus Salatin tidak terlalu lama, hanya 406 tahun dari sekarang. Ia hampir seangkatan dengan William Shakespeare yang jejak kepenulisannya begitu kuat, dan membapaki novelis-novelis kelas dunia setelahnya. Mungkin renaisans tidak sampai ke kepulauan Melayu sehingga Tun Sri Lanang menjadi satu-satunya. Dianggap paling purba, ketika Shakespeare tengah memulai penulisan modern dalam kaidah Inggris.
Atau apakah seperti hari ini, dan 400 tahun akan datang puak Melayu Kepulauan Riau hanya akan mengenal Rida K Liamsi? Bukan karena ia satu-satunya, tapi siapa yang paling produktif. Yang pasti, tiap perayaan Hari Jadinya, Rida dalam usia kini sudah 77 tahun memberi hadiah besar bagi khazanah sejarah Melayu. Di sela-sela itu ada saja buku penting dan novel yang ia tulis.
Dalam beberapa tahun ini banyak orang mulai menebak, buku apa lagi yang terbit pada perayaan ulang tahun, 17 Juli? Rida adalah Tun Sri Lanang yang sangat fokus menulis historia puak Melayu, tapi sekaligus adalah Shakespeare yang melecut dan menginspirasi penulis-penulis setelahnya. Ia juga adalah Nietzsche, yang tak jemu membongkar dan menginterprestasikan manuskrip lama, demi kesempurnaan karyanya.
Bagi kami, para penulis muda di Kepulauan Riau, Rida adalah cermin tempat kami memproyeksikan diri. Buku - buku tebal yang ia terbitkan adalah cemeti, begitu ia berpacu waktu membangun tapak - tapak literasi. Dulu kala di pusat Kerajaan Melayu Pulau Penyengat terbentuk Rusdiyah Club (1890), sebuah kumpulan para penulis, simbol perlawanan intelektual terhadap kolonial, Rida seperti sedang berada dalam prosesi membangkitkan batang terendam. ~MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H