Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Musim Pilkada, Quo Vadis?

25 Juli 2020   11:53 Diperbarui: 12 Agustus 2020   03:34 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan ajukan pertanyaan yang salah kepada calon pemimpin Anda. Satu petikan elaboratif dari Henry Ford saya bunyikan seperti ini: saya mungkin orang bodoh tapi dengan hanya memencet satu tombol, saya bisa mendatangkan sejumlah orang untuk menjawab seluruh pertanyaan yang Anda ajukan.

Kepemimpinan melampaui manajemen. Pemimpin tidak melakukan hal yang teknis dan taktis, tapi gol-gol yang strategis. Pemimpin bukan ensiklopedia atau pelaksana teknis dengan gestur pekerja. Publik, konstituen, bahkan media massa sebaiknya berhenti mengajukan ekspektasi bias, di luar domain seorang pemimpin.

Management is doing things right, leadership is doing the right things, kata Peter Drucker. Manajemen perlu memastikan dirinya bekerja dengan benar, tapi pemimpin melakukan hal yang diyakini benar. Yang perlu dikejar dari seorang pemimpin adalah visinya. Seorang pemimpin adalah visioner, bukan pelaksana. Cermati lema "leadership",  ada kata leader dan ship.

Ilustrasi: freepik.com
Ilustrasi: freepik.com
Tanyakan kepada sang nakhoda, mau berlabuh di mana kapal ini? Bukan cara kerja sistem navigasi, mualim, masinis apalagi koki. Kerja-kerja manajerial seperti meningkatkan kinerja operasional, memaksimalkan PAD, efisiensi anggaran, mengatasi banjir, macet, listrik padam, atau siswa gagal masuk sekolah, itu sudah ada yang mengurus. Tugas pemimpin adalah memencet tombol seperti Henry Ford, dan tetap fokus pada gambaran besar.

Leadership berada di dalam zona penetapan skala prioritas, pengalokasian SDM dan fiskal untuk memenuhi dan menuju visi lembaga. Juga visi dirinya saat kampanye. Menjadi seorang pemimpin bukan hanya tentang menjalankan prosedur. Kepemimpinan jauh lebih dalam dari manajemen.

Peter Drucker adalah bapak manajemen modern yang meletakkan tiang penunjuk penting, yang dikutip secara lengkap dalam The Essential Drucker (Taylor & Francis Ltd, 2000). Yen Makabenta, seorang analis dalam tulisannya di The Manila Times bahkan menyebut, ahli teori manajemen dan guru kepemimpinan lainnya telah dengan sia-sia mencoba menciptakan kutipan mereka sendiri pada sains dan seni organisasi terkemuka.

Drucker mengajarkan bahwa dalam beberapa tahun, para pemimpin kehilangan pandangan tentang misi dan peran penting mereka dan menjadi lebih fokus pada metode atau efisiensi, daripada tetap fokus pada tujuan utama.

Pemimpin sejati harus menunjukkan bahwa dia adalah orang yang harus tetap fokus pada tujuan. Pemimpin melakukan visi sementara manajemen melaksanakan proses.

Seorang pemimpin dengan maknanya adalah orang yang pergi pertama dan memimpin dengan contoh, sehingga orang lain akan termotivasi untuk mengikutinya. "Dalam hal itu, untuk menjadi seorang pemimpin yang hebat, Anda harus menyadari hal-hal yang benar untuk dilakukan, daripada prosedur dan proses," tulis Yen.

Doing things right pada dasarnya bukanlah cara terbaik untuk melakukan sesuatu karena seseorang hanya akan mengikuti prosedur, sementara doing the right things umumnya bertujuan mengidentifikasi dan memodifikasi efisiensi dan efektivitas lembaga.

Dalam dilema demokrasi elektoral kita, calon pemimpin terjun ke publik dengan serangkaian janji, tersering melupakan substansi dan kadang berlagak seperti segala tahu.

Ketika calon pemimpin sedang genit-genitnya, mereka akan menjawab semua pertanyaan dengan retorika penuh, alih-alih seperti Henry Ford. Publik juga tidak tahu seorang pemimpin seharusnya apa, mengajukan pertanyaan teknis dan jamak ingin melihat gerak mekanis pemimpinnya, supaya kelihatan bekerja.

Tulisan ini tidak mendorong seorang pemimpin harus bertipe laissez-faire, yang acuh prosedur, otopilot atau mengandalkan cetak biru. Atau pemimpin platonik yang bertengger di awang-awang idealisme.

Tapi kita bisa membedakan antara misalnya efisiensi untuk manajemen dan efektivitas untuk kepemimpinan. Manajemen berpikir taktis, tapi pemimpin berpikir strategis. Pemimpin harus mampu menggerakkan semua sistem yang ada, bukan seolah-olah menjadi bagian yang parsial dari salah satu rantai sistem.

Yang kemudian menjadi pertanyaan, ketika "Henry Ford" sedang memencet tombol, apakah mereka akan datang dengan wajah gembira atau muram. Inilah seni memimpin, keberhasilan puncaknya, ketika bawahan datang karena gerakan dari batinnya, bukan karena takut digeser atau dipecat.

Quo vadis? Kemana engkau pergi? Kami akan mengikutimu karena kami termotivasi, kami terinspirasi, kami tergerakkan. Bukan karena kami paranoid atau semata ngejar duit. Untuk pemimpin publik, kami akan mengikutimu karena suara batin kita seirama dalam gagasan besar untuk membawa negeri ini menjadi lebih baik, bukan fatamorgana, bukan semata terbius oleh pesona. ~MNT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun