Ketika calon pemimpin sedang genit-genitnya, mereka akan menjawab semua pertanyaan dengan retorika penuh, alih-alih seperti Henry Ford. Publik juga tidak tahu seorang pemimpin seharusnya apa, mengajukan pertanyaan teknis dan jamak ingin melihat gerak mekanis pemimpinnya, supaya kelihatan bekerja.
Tulisan ini tidak mendorong seorang pemimpin harus bertipe laissez-faire, yang acuh prosedur, otopilot atau mengandalkan cetak biru. Atau pemimpin platonik yang bertengger di awang-awang idealisme.
Tapi kita bisa membedakan antara misalnya efisiensi untuk manajemen dan efektivitas untuk kepemimpinan. Manajemen berpikir taktis, tapi pemimpin berpikir strategis. Pemimpin harus mampu menggerakkan semua sistem yang ada, bukan seolah-olah menjadi bagian yang parsial dari salah satu rantai sistem.
Yang kemudian menjadi pertanyaan, ketika "Henry Ford" sedang memencet tombol, apakah mereka akan datang dengan wajah gembira atau muram. Inilah seni memimpin, keberhasilan puncaknya, ketika bawahan datang karena gerakan dari batinnya, bukan karena takut digeser atau dipecat.
Quo vadis? Kemana engkau pergi? Kami akan mengikutimu karena kami termotivasi, kami terinspirasi, kami tergerakkan. Bukan karena kami paranoid atau semata ngejar duit. Untuk pemimpin publik, kami akan mengikutimu karena suara batin kita seirama dalam gagasan besar untuk membawa negeri ini menjadi lebih baik, bukan fatamorgana, bukan semata terbius oleh pesona. ~MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H