Menurut ahli otak, leluhur primitif kita hanya menggunakan fungsi dasar otak mereka untuk agresi, membesarkan anak, rasa takut, seks, dan berkelompok. Selanjutnya otak manusia adalah keajaiban.
Bila dinyatakan dalam bit, informasi dalam otak manusia setara dengan 20 juta buku, sama dengan jumlah buku dalam perpustakaan-perpustakaan terbesar di dunia. Pada fase revolusi kognitif, otak manusia melakukan fungsi-fungsi yang lebih tinggi, membaca, menulis dan berbicara.
Charles Sherrington membayangkan bila otak manusia sedang terjaga, korteks otak besar kita akan menyerupai pedang berkilauan yang terdiri atas titik-titik berkelap-kelip secara berirama dengan serentetan bola api yang bergegas ke sana kemari.Â
Ini seolah - olah Galaksi Bima Sakti yang masuk dalam tarian kosmik. Korteks pun segera menjadi perkakas tenun ajaib tempat jutaan pintalan yang berkelap-kelip.
Begitu pula ketika kita tertidur, otak tetap berdegup, dengan urusan kehidupan yang rumit, mimpi dan pemecahan masalah ada di sana dalam ratusan impuls eletrokimia. Kata Carl Sagan, terdapat banyak lembah dalam pegunungan akal, dan kelokan-kelokan. Neurokimia sangatlah sibuk, lebih mengagumkan dari sirkuit apapun buatan manusia.
Otak kita membangun arsitektur kesadaran yang elegan. Kesadaran kita adalah titik permulaan perjalanan kosmik manusia, ia adalah pembeda spesies kita dan letak kemanusiaan kita.Â
Sampai belakangan ini, secara mengejutkan ketika misalnya futurologist dunia, Ian Pearson, memprediksi bahwa kesadaran manusia nantinya bisa disalin di memori eksternal.
Melalui tulisannya yang diekspose pada 15 Juli 2018 dengan judul When Your Electronically Immortal, Will You Still Own Your Own Mind?, Pearson menjelaskan bagaimana kesadaran manusia bisa terhubung dengan teknologi eksternal. Hingga futurolog lain membayangkan, suatu hari kelak manusia dapat menyaksikan pemakaman dirinya sendiri dengan tubuh baru.
Ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki sifat dasar untuk menghabisi historia agama dan dogma. Di sini kita perlu bertahan pada kesadaran akal untuk menghambat kelancangan teknologi yang terus berusaha mengutak-atik domain transedental kita.
Awalnya karena lelah berpikir dan mengingat-ingat, manusia mulai menempatkan ingatan di luar dirinya. Kitalah satu-satunya spesies di dunia ini yang menyimpan memori di luar otak dan gen.Â