Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagaimana Masa Depan Otak Manusia?

4 Mei 2020   12:24 Diperbarui: 4 Mei 2020   16:46 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: cdn.mindful.org

Menurut ahli otak, leluhur primitif kita hanya menggunakan fungsi dasar otak mereka untuk agresi, membesarkan anak, rasa takut, seks, dan berkelompok. Selanjutnya otak manusia adalah keajaiban.

Bila dinyatakan dalam bit, informasi dalam otak manusia setara dengan 20 juta buku, sama dengan jumlah buku dalam perpustakaan-perpustakaan terbesar di dunia. Pada fase revolusi kognitif, otak manusia melakukan fungsi-fungsi yang lebih tinggi, membaca, menulis dan berbicara.

Charles Sherrington membayangkan bila otak manusia sedang terjaga, korteks otak besar kita akan menyerupai pedang berkilauan yang terdiri atas titik-titik berkelap-kelip secara berirama dengan serentetan bola api yang bergegas ke sana kemari. 

Ini seolah - olah Galaksi Bima Sakti yang masuk dalam tarian kosmik. Korteks pun segera menjadi perkakas tenun ajaib tempat jutaan pintalan yang berkelap-kelip.

Begitu pula ketika kita tertidur, otak tetap berdegup, dengan urusan kehidupan yang rumit, mimpi dan pemecahan masalah ada di sana dalam ratusan impuls eletrokimia. Kata Carl Sagan, terdapat banyak lembah dalam pegunungan akal, dan kelokan-kelokan. Neurokimia sangatlah sibuk, lebih mengagumkan dari sirkuit apapun buatan manusia.

Otak kita membangun arsitektur kesadaran yang elegan. Kesadaran kita adalah titik permulaan perjalanan kosmik manusia, ia adalah pembeda spesies kita dan letak kemanusiaan kita. 

Sampai belakangan ini, secara mengejutkan ketika misalnya futurologist dunia, Ian Pearson, memprediksi bahwa kesadaran manusia nantinya bisa disalin di memori eksternal.

Melalui tulisannya yang diekspose pada 15 Juli 2018 dengan judul When Your Electronically Immortal, Will You Still Own Your Own Mind?, Pearson menjelaskan bagaimana kesadaran manusia bisa terhubung dengan teknologi eksternal. Hingga futurolog lain membayangkan, suatu hari kelak manusia dapat menyaksikan pemakaman dirinya sendiri dengan tubuh baru.

Ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki sifat dasar untuk menghabisi historia agama dan dogma. Di sini kita perlu bertahan pada kesadaran akal untuk menghambat kelancangan teknologi yang terus berusaha mengutak-atik domain transedental kita.

Awalnya karena lelah berpikir dan mengingat-ingat, manusia mulai menempatkan ingatan di luar dirinya. Kitalah satu-satunya spesies di dunia ini yang menyimpan memori di luar otak dan gen. 

Kita meletakkannya di atas batu prasasti, di kulit pohon dan hewan, di kertas paphyrus, tablet tanah liat, dan pada akhirnya tumpukan buku di  perpustakaan yang ruang penyimpanannya selalu lebih kecil dari kapasitas otak kita.

Peletakan memori ini kita kenal dengan istilah menulis. Penemuan tulisan dan kerja menulis adalah konstalasi kosmos yang menghubungkan antarzaman, memutuskan belenggu antargaris waktu dan setiap zona disatukan dengan acak.

Sejak awal milenium 2000 kita telah melompat ke dunia digital dalam keterhubungan tanpa batas. Dunia virtual adalah dunia kita abad ini. Dunia ketika buku-buku tercetak bersaing dengan buku-buku digital yang mampu memutuskan jarak tempuh. 

Namun buku-buku tercetak tetaplah keagungan peradaban akal, seperti Eropa yang tetap mempertahankan bangunan-bangunan tua era Victoria dan Tudor.

Menjadi pertanyaan, apakah cara pandang milenial akan tetap sama. Mereka berada di estafet terakhir ketakjuban abad ini, suatu revolusi gegas yang melejit dalam hitungan hari. Urusan-urasan fisik mulai ditinggalkan, mereka menetap lebih lama di ruang maya.

Peletakan memori kepada medium lainnya seperti buku, dan kini perpustakaan digital yang maha luas telah usai dilakukan. Satu lagi, kita tidak hanya meletakkan, tapi membiarkan proses berpikir berada di luar otak. Taruhlah teknologi usang pertama yang kita kenal adalah mesin hitung atau kalkulator.

Kini dengan cepat kita mengenal kecerdasan buatan, otomasi dan robotika. Mereka melakukan pekerjaan jauh lebih baik dari pada manusia. Ancaman akan datang dari kecerdasan buatan atau artifisial yang kita sebut AI (Artificial Intelegence). Mereka mampu berpikir seperti otak kita, dan mampu memanggil memori dalam kecepatan kilat. Kita akan semakin jauh tertinggal, bila kemudian kapitalisme masa depan makin mengabaikan humanisme.

Satu-satunya yang tidak dimiliki AI saat ini adalah kesadaran. Ia adalah Pedang Berkilauan kita, tarian kosmik kita, dan sejarah kemanusiaan kita nan elegan. Kesadaran adalah karunia Tuhan yang harus kita indahkan untuk mempertahankan eksistensi kita di bumi. Tentunya dengan dampingan iman. ~MNT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun